Chapter 2

Satu Hari Sebelum Misi P e m b u n u h a n

"Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, transplantasi ginjal harus segera dilakukan. Kondisi ginjal ibu Anda semakin buruk, dan ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawanya."

Erina menunduk, dengan suara lirih "Saya tahu, Dok. Tapi tolong beri saya sedikit waktu lagi. Saya masih berusaha mencari uangnya ... "

Dokter menghela napas panjang.

"Nona Erina, ini sudah ketiga kalinya saya mendesak Anda. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Setiap jam yang berlalu memperbesar risikonya. Biaya ini harus segera dibayar jika Anda ingin operasi dilakukan."

Dokumen dengan angka yang sama kembali disodorkan: 300 juta.

Erina menatap angka itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia tahu dokter tidak salah, tapi bagaimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Dengan tangan gemetar, ia mengembalikan dokumen itu tanpa berkata apa-apa.

Erina dengan suara pelan, hampir berbisik "Saya ... saya akan mencoba mencari uangnya secepat mungkin."

Tangisnya pecah, meskipun ia berusaha menahannya agar ibunya tidak mendengar. Namun, di tengah tangisnya, ia teringat sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang.

Ayyana.

Tawaran Ayyana kembali terngiang di kepalanya.

"Aku ada pekerjaan untuk kamu, besok malam akan ada pesta pertunangan bosku di kapal pesiar. Hadiahnya ... Lumayan bisa ngecover biaya transplantasi ginjal buat ibu kamu Erina. Terima ya."

Erina memejamkan mata. "Gapapa Erina, cuma jadi pelayanan kok" 

Ia memandang ibunya lagi, melihat wajah pucat yang begitu ia cintai. Hatinya terasa semakin berat, tapi ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk ragu.

Erina berbisik pada ibunya. "Ibu akan sembuh" 

Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponselnya dan membuka kontak Ayyana.

 

*

Hari H Misi P embunuhan

Di atas kapal pesiar mewah yang berlabuh di tengah laut. Lampu-lampu berkilauan menerangi malam, memantulkan cahaya ke air laut yang tenang.

Musik klasik mengalun lembut dari speaker tersembunyi, menyempurnakan suasana elegan pesta pertunangan seorang pejabat ternama.

Di dek utama, meja-meja panjang dihiasi taplak putih bersih dengan aksen emas, di atasnya terdapat beragam hidangan: lobster panggang, sushi segar, steak premium, hingga kue-kue kecil berlapis krim dan cokelat yang tertata rapi seperti karya seni.

Anggur terbaik dituangkan dari botol-botol kristal ke dalam gelas tamu yang berdatangan dengan pakaian formal nan glamor.

Erina, mengenakan seragam pelayan hitam putih sederhana, berdiri di sisi dek, mengamati tamu yang berbincang dan tertawa.

Jantungnya berdebar kencang, bukan karena kemewahan ini, tetapi karena misi yang sebentar lagi dimulai.

Ia tidak tahu kalau ternyata misinya adalah menghabisi nyawa. Pantas saja hadiahnya sebesar itu karena ini menyangkut nyawa seseorang. 

Tiba-tiba, suara berat seorang manajer pelayan memanggil semua staf. Membuyarkan lamunan Erina. 

"Semua pelayan, berkumpul di ruang rapat segera. Jangan ada yang tertinggal."

Erina mengikuti rombongan pelayan lainnya menuju ruangan tertutup di bagian dalam kapal.

Di dalam ruangan itu, suasananya berubah menjadi serius.

Cahaya remang-remang dari lampu di langit-langit membuat atmosfer semakin mencekam.

Di meja tengah, ada dokumen dan sebuah foto besar yang diletakkan dengan sengaja.

"Dengarkan baik-baik. Malam ini, tugas kita bukan hanya mela yani tamu, tetapi juga menjalankan misi yang sangat penting.

Target kita adalah Arvin Eadric Arseno, CEO dari Success Brain Company. Pria ini akan hadir di pesta ini."

Ia mengangkat foto cetakan wajah Arvin di tengah barisan para pelayan.

"Dia biasanya memakai jas hitam dengan dasi biru. Tugas kalian adalah memastikan dia memakan hidangan tertentu yang sudah disiapkan khusus untuknya.

Hidangan itu akan terlihat biasa, tapi cukup dengan satu gigitan, semuanya selesai." imbuhnya sekali lagi Erina meneln ludah.

Tubuhnya kaku mendengar penjelasan itu.

"Dibu nuh? alasannya apa ya Tuan?" celetuk Erina. 

"Jangan tanyakan apa motif dari rencana pembu nuhan ini. Tugas kita hanya menjalankan misi. Dan kalau misi ini berhasil, imbalan lima puluh juta mutlak akan kalian dapatkan tanpa ada yang kurang sedikitpun."

Para pelayan diberi waktu satu per satu untuk mengenali ciri-ciri fisik dari Arvin. Tak terkecuali Erina.

Wajah yang tegas dan simetris

Rahang Arvin berbentuk persegi tegas dengan garis dagu yang tajam, memberikan kesan maskulin yang kuat.

Tulang pipinya tinggi, membuat struktur wajahnya terlihat seperti diukir dengan sempurna.

Dengan tinggi 190 cm dan tu buh atletis, Arvin selalu tampak gagah dan menginti midasi.

Bahunya lebar dengan otot yang terbentuk sempurna, menandakan disiplin dan dedikasinya dalam menjaga penampilan.

Erina sampai tak berkedip dibuat bungkam oleh ketampanan Arvin. Bahkan bisik-bisik dari pelayan lainnya sudah terdengar di sekitarnya.

"Ya ampun gantengnya! Sayang banget ga sih malam ini dia harus mati?"

"Astaga, kenapa harus dibu nuh sih, kan lumayan buat memperbaiki keturunanku,"

"Aku baru ini lihat cowo seganteng, ini!"

"Dari fotonya aja ganteng, gimana dengan aslinya, ya?"

"Alamak ganteng banget Oey!" kali ini Erina yang mengakuinya. 

Manajer melanjutkan. "Pelayan A akan menyajikan hidangan itu ke mejanya.

Pelayan B dan C harus mengawasi tamu di sekitar agar tidak mencurigai apa pun.

Jika ada gangguan, kita harus cepat bertindak tanpa meninggalkan jejak. Fokus kita adalah menyelesaikan misi tanpa perhatian tamu lain."

Erina mengangguk penuh syukur karena dia berada di kelompok C, jadi ia tidak usah repot-repot mengantarkan hidangan makanan bera cun kepada Tuan Arvin. 

Kepala Erina mulai berputar. Ia memandangi foto Arvin dengan perasaan bercampur aduk. Sejak awal, ia ragu dengan misi ini.

Namun, ketika melihat wajah Arvin yang tampak jauh berbeda dari pria biasa, hatinya semakin goyah.

"Dia juga manusia ... masa setega ini aku ngebu nuh orang? Tapi ... Aku butuh uang. Gimana ini?" 

Lama mempertimbangkan sebuah keputusan. Ia berpikir, menimbang, sambil mondar-mandir. 

"Ini gila sih, kalau sampai Tuan Arvin mati. Ujung-ujungnya juga pasti keluarganya ngelibatin polisi. Oh My God! Aku ga mau ikut terlibat. Aku ga mau dipenjara. Ihh ngeri! Tuan Arvin harus hidup. Harus!" 

Erina menyusun rencana saat ia keluar dari ruangan. Ketika makanan khusus untuk Arvin diantar ke dapur untuk disajikan, ia bergegas ke dek utama dan mencari targetnya.

Arvin sedang duduk di salah satu meja, tampak sibuk berbicara dengan tamu lain. Erina memantau dari jarak yang lumayan jauh dan membatin. 

"Itu pasti tuan Arvin, anjiiirr ganteng banget! muka sekinclong itu bakal jadi mayat? Astaga"

Erina mengambil napas dalam, mencoba memasang wajah ceria, lalu mendekatinya sambil membawa nampan berisi gelas kosong.

Erina sengaja tersenyum konyol. "Ah, maaf, Tuan Arvin, saya rasa saya ... eh ..."

PRANG!

Ia tiba-tiba "menjatuhkan" gelas-gelas kosong di dekat meja Arvin, menimbulkan suara keras. Bahkan nyaris menimpa kaki Arvin.

"Maaf Tuan, saya tidak sengaja menjatuhkannya."

Tamu-tamu di sekitar menoleh, termasuk Arvin, yang menatapnya dengan kening berkerut.

Arvin kesal. "Apa yang kau lakukan? Apa kau pelayan baru di sini?"

Erina tersipu, berpura-pura salah tingkah. "Maaf, Tuan! Saya benar-benar ceroboh.

Saya hanya ingin memastikan semuanya sempurna untuk Anda. Oh, jangan-jangan ini membuat Anda kesal?!"

Ia segera mengambil kain dan "sibuk" membersihkan meja Arvin, meski sebenarnya tidak ada noda di sana.

Ia terus bergerak, mencoba mengalihkan perhatian Arvin agar tidak menyadari makanan yang akan dihidangkan padanya.

Ketika pelayan lain datang membawa makanan beracun itu, Erina segera melangkah lebih dekat ke Arvin dan "tidak sengaja" menumpahkan air ke lantai.

"Oh, astaga! Tumpah lagi! Saya sungguh payah!"

Arvin berdiri, marah. "Hentikan ini! Kau benar-benar mengganggu!"

Namun, kemarahan Arvin justru berhasil membuatnya berdiri dan menjauh dari meja, sehingga makanan itu tidak sempat disentuh.

Erina tersenyum lega meski dimarahi. Ia berhasil menyelamatkan Arvin tanpa harus menjelaskan niatnya yang sebenarnya.

Erina membatin "Terserah dia dah mau marah atau ngira aku sinting yang penting tugasku cuma nyelamatin dia ... "

Suasana pesta tetap megah meski ketegangan menyelimuti hati Erina.

Setelah berhasil mengalihkan perhatian Arvin sebelumnya, Erina mendapati pelayan lain masih mencoba menyajikan hidangan beracun kepada pria itu.

Ia tahu bahwa dirinya harus bertindak lebih jauh untuk menggagalkan rencana ini.

Ketika seorang pelayan membawa sepiring makanan berisi ra cun ke meja Arvin, Erina bergerak cepat, sengaja menjatuhkan nampan berisi minuman yang ia bawa sehingga beberapa gelas pecah tepat di depan Arvin.

Erina berpura-pura panik lagi. "Astaga! Maaf, Tuan Arvin! Saya benar-benar ceroboh lagi!"

Arvin, yang sudah kesal sejak insiden sebelumnya, menatap Erina dengan amarah membara.

"Apa kau benar-benar pelayan atau ba dut? Kau terus membuat kekacauan di sini! Jika tidak bisa bekerja dengan benar, sebaiknya kau keluar saja dari sini!"

Para tamu mulai menoleh ke arah mereka, tertarik oleh keributan. Erina menunduk, berpura-pura merasa bersalah, tapi matanya tetap waspada melihat hidangan yang hendak disajikan kepada Arvin.

Ketika pelayan itu mencoba lagi untuk menyajikannya, Erina tiba-tiba meraih piring tersebut dengan tangan gemetar.

"Tuan Arvin, mungkin ... mungkin hidangan ini tidak cocok untuk Anda. Saya akan memastikan sesuatu yang lebih baik untuk Anda!"

Arvin mengerutkan kening, marah. "Apa maksudmu?! Beraninya kau menyentuh makananku?! Kau pikir aku ini siapa?! Pelayan renda han sepertimu tidak punya hak untuk memutuskan apa yang pantas untukku!"

Suara Arvin menggema, membuat tamu-tamu lain menatap dengan tatapan heran dan kasihan pada Erina.

Wajah Erina memerah karena malu, tapi ia tetap berusaha mempertahankan sikapnya, meski tubuhnya gemetar.

Saat Arvin hendak mengambil minuman di atas meja, seorang pelayan lain datang dan menuangkan alko hol khusus ke dalam gelasnya.

Tanpa curiga, Arvin menenggaknya sambil tertawa sinis.

"Lihat? Aku tidak butuh kau mengatur apa yang harus kumakan atau minum. Pergi dari sini sebelum aku benar-benar murka. Dasar pelayan rendahan"

Hati Erina tergo res bagaikan dis ayat belati ketika Arvin mengatainya dengan sebutan 'pelayan rendahan' ia tahu memang ia berada di kalangan rendah, tak jauh dari kata miskin.

Ya, meskipun Erina hidup dalam kemiskinan, hatinya tetap kaya dengan kebaikan.

Ia memiliki nurani yang tulus dan empati yang mendalam, itulah yang akhirnya membuatnya tidak tega menjalankan misi untuk membunuh Arvin.

Erina hanya bisa menatap tanpa daya saat Arvin menenggak minuman bera cun itu.

Beberapa detik berlalu, senyuman di wajah Arvin perlahan memudar. Ia mulai memegang kepalanya, wajahnya berubah pucat.

"Apa ... apa ini? Kepalaku ..." Arvin terbata-bata.

Ia segera bangkit dari kursinya, berjalan dengan tergesa-gesa menuju toilet, sementara tamu lain hanya menatap dengan kebingungan.

Erina, yang merasa bersalah, segera membun tutinya.

Di toilet, Arvin terjatuh di dekat wastafel, muntah dar ah dengan napas yang tersengal-sengal.

"Apa ... Apa yang terjadi? Dadaku ... se-sak! Arrrrrggg!" Arvin lantas ambruk di dinding dekat wastafel. Tubuhnya merosot ke bawah seraya memegangi kepalanya yang semakin berdenyut seperti ditekan-tekan kuat oleh 10 jari.

Erina yang baru masuk terkejut, berlutut di dekatnya. "Tuan Arvin! Anda ... Anda kera cunan!"

Arvin tidak mampu menjawab, hanya menatap Erina dengan pandangan penuh rasa sakit. Wajah pria itu meringis berbalut merah disekujur wajah hingga turun ke lehe rnya.

Urat-urat pelipis timbul seperti akar. "Arrrrrgg, sa kit!" sambil terus memukul-mukul da da dan kepalanya secara bergantian.

Erina berusaha menangkup bahunya demi mengelus punggungnya.

Plak

Arvin menyentak tangan Erina menciptakan suara tepisan kulit.

"Kau mau apa dariku, huh? Pelayan rendahan sepertimu sangat menji jikkan.

Apa kau bisa menjamin tanganmu itu steril?"

Lagi, hati Erina tercubit, matanya sudah berkaca-kaca hampir meluruh.

Namun, ia masih bisa menahan segala hinaan yang dilontarkan padanya. Ini tidak sebanding dengan nyawa yang akan melayang sebentar lagi.

Tanpa berpikir panjang, Erina berlari ke dapur.

Ia mengingat ajaran ayahnya tentang cara meracik obat herbal, termasuk bahan-bahan darurat yang bisa digunakan sebagai penawar racun tertentu.

Di dapur, Erina dengan cepat mencari bahan-bahan seperti lemon, madu, garam, dan jahe yang tersimpan di lemari rempah-rempah.

Ia menggabungkan semuanya dalam sebuah mangkuk, mencampur dengan air hangat, dan menumbuknya hingga menjadi cairan yang cukup kental.

Erina berbicara pada dirinya sendiri, sambil gemetar.

"Ayah selalu bilang ra cun ini bisa diredakan dengan zat asam dan bahan yang menenangkan tubuh ... Semoga ini berhasil."

Erina menyeka air mata yang sempat luruh di pipinya. Masih sangat terngiang hina an itu.

Namun, dengan cepat ia kembali ke toilet, membawa ramuan tersebut di dalam sebuah cangkir kecil.

Arvin sudah hampir tak sadarkan diri menyandar tak berdaya di dinding, dengan napas yang semakin pendek.

Dengan gerakan cepat Erina berjongkok mensejajarkan tubuhnya di sebelah Arvin.

Erina berbisik panik.

"Tuan Arvin, tolong ... minum ini! Ini akan membantu Anda!"

Dengan susah payah, Erina menopang kepala Arvin dan perlahan menyuapkan ramuan itu ke bibirnya.

Namun, lagi-lagi Arvin menggeser badannya.

"Bagaimana kalau itu adalah ra cun untuk mempercepat proses kema tianku?"

"Ayolah, Tuan. Ini ramuan penawar yang susah payah saya buatkan untuk anda. Sebelum racun itu menyebar, kumohon cepatlah minum."

Arvin ragu, ia menatap Erina penuh selidik.

Arvin selama ini memang sering diteror.

Banyak yang menginginkan nya wanya ketika dinobatkan sebagai ahli waris di perusahaan ayahnya.

Tentu, kejadian seperti ini sudah sering ia alami. Sehingga wajar jika dia mencurigai seseorang yang tiba-tiba saja mendekatinya tanpa alasan yang pasti.

Namun, Erina berbeda. Gadis ini murni dan sedikitpun tidak ada raut ancaman dari gesturnya. Arvin dapat membacanya dengan baik.

Lalu akhirnya pria itu membuka mulutnya saat Erina menyuapinya dengan telaten.

Cairan itu terasa panas dan pahit, tapi Erina memaksa Arvin untuk menelannya.

Beberapa saat berlalu, dan napas Arvin mulai melambat.

Meski masih lemah, ia tidak lagi terbatuk-batuk seperti sebelumnya. Wajah pucatnya perlahan kembali mendapatkan sedikit warna.

Erina menghela napas lega, hampir menangis.

"Syukurlah ... Anda akan baik-baik saja." Erina meletakkan secangkir cairan penawar racun itu ke lantai sebelum akhirnya bergegas.

Namun, ketika hendak berdiri lengan besar Arvin mencekal pergelangan Erina.

Arvin, yang masih terlalu lemah untuk berbicara, hanya menatap Erina dengan kebingungan.

"Kenapa ... Kenapa kau menyelamatkanku?" 

"Karena T-tuan ... sangat t-tampan."

*

BERSAMBUNG