WebNovelVersalis100.00%

Cahaya yang Tersisa

Langkah kaki Raka bergema lemah di atas lantai marmer kristal. Ia masih kebingungan, bahkan udara di istana ini terasa berat—seolah tiap tarikan napas membawa beban yang bukan miliknya.

Reinhard berdiri dari takhtanya. Jubah putih dengan sulaman emas di bagian tepinya mengepak perlahan, dan setiap gerakannya seperti diiringi gelombang cahaya samar.

"Dua puluh lima," ucap Reinhard tanpa emosi

"itulah jumlah pecahan Serathiel yang tersebar setelah peristiwa Penghapusan Agung. Kau... adalah yang kesembilan."

Raka mengerutkan kening.

"Serathiel..?? Aku bahkan tidak tahu kenapa aku bisa ada di sini, apalagi soal pecahan itu."

Eirellia mendekat, wajahnya tetap tenang, tapi ada kesedihan dalam sorot matanya.

"Serathiel adalah Akasha pertama. Ia mengetahui segalanya. Ia adalah Arsip Hidup, namun para dewa menganggap pengetahuannya ancaman dan memburunya. akhirnya serathiel memecah dirinya menjadi dua puluh lima jiwa dan menghilang dari catatan dunia."

Raka terdiam.

"Dan kau bilang... aku adalah bagian dari dia?"

Reinhard mengangguk. "Pecahan ke-9: The Inversion. Pecahan yang kelahirannya ditulis untuk menentang struktur realitas yang dibentuk oleh para dewa."

"Kau dipanggil untuk mengacaukan takdir yang telah di buat oleh para dewa."

Kata-kata itu seperti guntur di dalam pikirannya. Ia bukan penyelamat. Ia bukan sang terpilih yang akan memulihkan dunia. Ia adalah gangguan. Sebuah pembelot yang ditulis dari awal untuk menolak segalanya.

"Tunggu dulu!" Ucap Raka. "Aku bahkan belum paham tempat ini. Dunia ini, kalian, para dewa... apa maksud semua ini?"

Eirellia menatapnya lembut, lalu mengulurkan tangan.

"Mari kuperlihatkan padamu. Dunia ini terdiri atas tujuh lapis realitas. Tempat ini—Heavenhold—ada di lapisan kesatu: Versalis, tepatnya di dunia sihir dan Versalis dibagi menjadi 4 dunia yaitu : dunia sihir,dunia materi,dunia dewa dan dunia iblis .Tapi ada yang lebih dalam… tempat di mana pecahan jiwa lainnya tersembunyi."

"Jadi..? Seru raka, aku disini untuk bersatu dengan para pecahan jiwa yang lain??"

Eirellia mengangguk perlahan. “Bukan hanya untuk bersatu... tapi untuk membangkitkan kembali Kesadaran Akasha. Jika dua puluh lima pecahan kembali menyatu, maka Serathiel akan terlahir kembali. Dan itu… akan menjadi akhir dari hukum para dewa.”

“Dan awal dari sesuatu yang baru,” tambah Reinhard. “Sesuatu yang tidak bisa dikendalikan—bahkan oleh kami.”

Raka menatap keduanya, perasaannya campur aduk. Ia hanyalah mahasiswa biasa, seorang anak kota yang bahkan belum pernah ikut perkelahian serius. Sekarang, ia diberitahu bahwa dirinya adalah pecahan jiwa dari makhluk yang pernah menggetarkan para dewa.

“Kalau begitu... apa yang terjadi jika aku menolak?” tanyanya pelan.

Reinhard tidak menjawab. Namun Eirellia menatapnya dalam-dalam, matanya seolah bisa melihat isi hatinya.

“Takdir bisa ditolak. Tapi jejakmu akan tetap ada. Dunia ini... akan mencari pecahanmu, entah kau ingin atau tidak.”

Hening sejenak mengisi ruangan. Lalu Eirellia kembali bersuara, lebih lembut.

“Aku tahu ini berat. Tapi kau tak sendiri, Raka. Kami akan membimbingmu. Kau tidak harus menjadi Serathiel. Cukup jadi dirimu... dan temukan bagian lain dari dirimu yang hilang.”

Raka menunduk, napasnya dalam. Dunia lamanya mungkin membosankan, tapi setidaknya ia tahu di mana ia berpijak. Sekarang, ia berdiri di antara takhta para dewa dan rahasia kosmik yang sudah dikubur oleh waktu.

Namun entah kenapa... di dasar hatinya, ada sesuatu yang menyala. Bukan keberanian, tapi rasa ingin tahu yang selama ini ia kubur. Dan itu mulai tumbuh, perlahan.

“Baiklah,” ucap Raka akhirnya. “Kalau aku memang bagian dari sesuatu yang lebih besar, setidaknya aku ingin tahu... bagian yang mana.”

Eirellia tersenyum. “Kalimat yang sangat cocok untuk seorang Inversion.”

Reinhard lalu mengangkat satu tangan. Sebuah pintu bercahaya terbuka di belakang aula, mengarah ke lorong menurun yang tampak tak berujung.

“Langkah pertamamu dimulai di bawah sini,” katanya sambil dan menunjuk sebuah desa yang ada di peta

Raka menghela napas panjang, lalu melangkah ke arah pintu itu. Ia tidak tahu apa yang menunggunya.

Tapi untuk pertama kalinya sejak lama... ia merasa hidup.