Mengikuti Jejak Melodi Purba

Dengan hati-hati, Kai mendekati altar batu tempat seruling bambu purba itu terletak. Cahaya redup yang menembus celah-celah reruntuhan kuil menerangi ukiran-ukiran kuno yang menghiasi permukaannya.

"Ini dia,” gumam Kai lirih, matanya terpaku pada seruling itu.

Seruling itu tampak sederhana, namun ketika Kai mengulurkan tangan untuk mengambilnya, ia merasakan getaran halus yang mengalir dari bambu itu, seolah menyimpan energi yang tertidur lama.

"Hangat... seperti ada energi kehidupan di dalamnya,” pikir Kai.

Saat jari-jari Kai menyentuh seruling, melodi lembut yang mereka dengar sebelumnya kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan dekat. Suaranya memiliki kualitas yang menghipnotis, perpaduan antara tiupan angin di antara bambu dan nyanyian yang melankolis.

Luka, yang berdiri di belakang Kai, merasakan bulu kuduknya berdiri.

"Suara itu...” bisiknya tercekat, "dari mana asalnya? Terdengar lebih dekat dari sebelumnya."

Kai menggelengkan kepala, matanya terpaku pada seruling di tangannya.

"Aku tidak tahu, Luka. Tapi aku merasakannya... resonansi yang aneh antara aku dan alat musik ini. Seolah ada ikatan yang terjalin melampaui waktu."

Melodi itu semakin menguat, dan perlahan, di tengah reruntuhan kuil, muncul sebuah siluet. Sosok itu samar-samar, hampir menyatu dengan kabut tipis yang berputar-putar lembut di tengah reruntuhan kuil, seolah ia terbuat dari udara yang memadat.

Namun, perlahan, garis-garis anggun mulai terbentuk, mengambil wujud seorang wanita muda. Meskipun transparan, cahaya senja keemasan yang menerpa celah reruntuhan tampak menembus sosok itu, memberikan sedikit kilauan perak di sekelilingnya.

Wajahnya tampak tenang, namun diliputi oleh kesedihan yang mendalam, tercermin dari alisnya yang sedikit bertaut dan sudut bibirnya yang sedikit menurun.

Matanya, meskipun samar, memancarkan tatapan yang penuh kerinduan, seolah mencari sesuatu atau seseorang yang telah lama hilang. Ada jejak kelelahan abadi di sekitar matanya, seperti seseorang yang telah lama menanggung beban yang berat.

Ia mengenakan pakaian kuno yang terbuat dari serat alami, warnanya memudar seperti lukisan lama yang terpapar waktu.

Kain itu tampak sederhana namun memiliki detail sulaman halus di bagian leher dan lengan, menggambarkan motif-motif tumbuhan air dan spiral yang sama dengan ukiran di kuil.

Pakaian itu tampak melayang lembut di sekeliling tubuhnya, tidak terpengaruh oleh gravitasi duniawi.

Rambutnya yang panjang, sehitam malam tanpa bintang, terurai bebas di sekelilingnya, bergerak lembut seolah tertiup angin yang hanya bisa dirasakan olehnya.

Helai-helainya tampak berkilauan samar, seperti benang-benang obsidian yang menangkap cahaya. Di beberapa bagian, rambutnya tampak menyatu dengan kabut di sekitarnya, menambah kesan misterius dan tidak nyata.

Di tangannya, ia memegang seruling bambu yang identik dengan yang kini berada di tangan Kai, namun seruling di tangannya memancarkan cahaya biru kehijauan yang lembut, kontras dengan rambutnya yang hitam.

Jari-jarinya yang panjang dan kurus memeluk seruling dengan kelembutan yang penuh kasih, seolah itu adalah bagian tak terpisahkan dari dirinya.

Aura di sekitar sosok itu terasa lembut dan menenangkan, namun juga menyimpan kesedihan yang mendalam dan rasa kehilangan yang tak terucapkan. Ada rasa kebijaksanaan kuno yang terpancar darinya.

Meskipun tidak berbicara, kehadirannya terasa begitu kuat, menyampaikan cerita yang lebih dalam daripada kata-kata. Melodi yang mengalir dari serulingnya terasa seperti sebuah cerita, sebuah ratapan yang mendalam tentang masa lalu pulau bambu ini.

"Siapa dia?" bisik Luka lagi, suaranya bergetar. "Roh? Penjaga kuil?"

Kai tidak menjawab. Ia merasa terpanggil untuk mendengarkan "cerita" yang disampaikan melalui melodi itu. Ia merasakan kesedihan wanita itu atas hilangnya harmoni alam, atas perpisahan dengan sesuatu yang berharga.

Ia juga merasakan adanya harapan yang terpancar dari tatapannya, seolah ia melihat potensi dalam diri Kai untuk memulihkan keseimbangan yang hilang.

"Dia... dia seperti roh penjaga seruling ini,” kata Kai akhirnya, suaranya pelan.

"Aku merasakan kesedihan dan harapan darinya," batin Kai, matanya terpaku pada sosok itu.

Perlahan, melodi itu mereda, dan sosok wanita itu menjadi semakin pudar. Sebelum menghilang sepenuhnya, ia mengarahkan pandangannya ke arah seruling di tangan Kai, lalu ke arah luar reruntuhan, seolah menuntunnya menuju sesuatu.

Ketika sosok itu menghilang, keheningan kembali memenuhi reruntuhan kuil. Kai menggenggam erat seruling bambu purba itu.

Ia merasa bahwa wanita itu adalah penjaga seruling ini, atau mungkin roh dari masa lalu pulau ini yang terikat dengan artefak suci tersebut. Melodinya bukan hanya suara, tetapi juga petunjuk, sebuah pesan yang harus ia pahami.

" Aku rasa... ia ingin kita menggunakan seruling ini untuk tujuan yang benar." Kata Kai sambil menatap Luka.

Luka masih tampak ketakutan namun juga penasaran. "Apa maksudnya? Bagaimana cara kita menggunakan seruling ini? Apakah ini kuncinya?"

Kai menatap seruling di tangannya. Ia merasakan getaran halus yang terus mengalir darinya. Ia teringat akan "Nyanyian Harmoni" yang diceritakan oleh para tetua di pulau Luka.

Apakah melodi yang dimainkan oleh roh wanita itu adalah bagian dari nyanyian tersebut?

"Mungkin... mungkin ini adalah bagiannya,” pikir Kai.

"Kita harus mencari tahu,” kata Kai dengan penuh tekad.

"Kita harus menemukan bagian-bagian lain dari 'Nyanyian Harmoni' yang hilang dan mempelajari cara menggunakan seruling ini. Roh itu... ia seperti menuntun kita."

Kai mengalihkan pandangannya dan melihat ke arah dimana roh wanita itu terakhir memandang, itu adalah arah di luar reruntuhan kuil.

Hutan bambu di luar tampak berbeda sekarang, tidak lagi terasa mengancam, tetapi lebih seperti jalur yang menanti untuk dijelajahi.

Mereka telah mendapatkan artefak pertama. Perjalanan mereka untuk mengumpulkan kembali bagian-bagian dari "Nyanyian Harmoni" yang hilang dan menenangkan Sang Penjaga baru saja dimulai, dipandu oleh melodi dari masa lalu dan harapan dari seorang penjaga yang tak terlihat.

"Ayo Luka, kita harus pergi." Kata kai.

Ia menggenggam erat seruling bambu purba, yang kini terasa lebih hangat di tangannya, seolah roh itu telah meninggalkan sebagian energinya di sana.

"Dia ingin kita pergi ke sana,” Kai berkata sambil menunjuk ke arah hutan bambu.

Bersama Luka, Kai keluar dari reruntuhan kuil dan kembali memasuki hutan bambu yang berbisik. Kali ini, suara gemerisik daun bambu tidak lagi terasa mengancam, tetapi lebih seperti panduan yang lembut.

Kai mencoba memfokuskan pendengarannya, mencari jejak melodi yang mereka dengar sebelumnya.

"Aku bisa merasakannya... samar-samar di sana,” gumam Kai.

Perlahan, samar-samar, Kai mulai merasakan resonansi melodi itu di tempat-tempat tertentu di dalam hutan. Ia merasa tertarik ke arah rumpun bambu yang lebih tua dan lebih tinggi, yang batangnya ditutupi oleh lumut tebal dan ukiran-ukiran aneh.

"Ke sana, Luka. Aku yakin,” kata Kai menunjuk.

Di salah satu batang bambu raksasa, Kai menemukan sebuah ukiran simbol yang sama dengan yang ia lihat di altar kuil. Simbol itu berbentuk lingkaran yang di dalamnya terdapat gambar spiral yang rumit.

Ketika Kai menyentuh ukiran itu, ia merasakan getaran yang sama seperti saat ia menyentuh seruling, dan sekilas, ia mendengar kembali nada awal dari melodi yang dimainkan oleh roh wanita itu.

"Ini dia!" seru Kai.

"Lihat ini, Luka! Aku yakin ini petunjuk."

Luka mendekat dan mengamati ukiran itu dengan seksama.

"Simbol ini... aku pernah melihatnya di beberapa batu tua di sekitar pantai. Para nelayan tua bilang itu adalah tanda dari 'penjaga keseimbangan'."

Mereka mulai mencari ukiran-ukiran serupa di sekitar hutan bambu. Setiap kali mereka menemukan satu, Kai akan menyentuhnya dan mencoba merasakan resonansi melodi atau mendapatkan penglihatan singkat tentang pulau itu di masa lalu.

Penglihatan-penglihatan itu samar dan tidak jelas, tetapi mereka memberikan gambaran tentang kehidupan harmonis antara manusia dan alam, serta sosok-sosok yang memainkan seruling bambu dalam ritual-ritual kuno.

"Setiap simbol membawa kita lebih dekat,” kata Kai.

Setelah mengikuti jejak simbol-simbol dan resonansi melodi, mereka tiba di sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik air terjun yang mengalir tenang di tengah hutan bambu.

Di dalam gua, mereka menemukan lukisan-lukisan dinding kuno yang menggambarkan orang-orang menari dan memainkan berbagai alat musik, termasuk seruling bambu yang serupa dengan yang kini dipegang Kai.

Di salah satu lukisan, mereka melihat sosok wanita yang mirip dengan penampakan di kuil, dikelilingi oleh hewan-hewan hutan dan memainkan serulingnya ke arah sosok naga raksasa yang tampak tenang.

Di bawah lukisan itu, mereka menemukan beberapa fragmen batu yang diukir dengan notasi-notasi musik kuno. Meskipun tidak lengkap, Kai merasakan bahwa ini adalah bagian-bagian dari "Nyanyian Harmoni" yang mereka cari.

"Ini dia," bisik Kai dengan penuh semangat.

"Ini adalah petunjuk tentang bagaimana cara memainkan seruling ini dan mungkin bagian dari ritual untuk menenangkan Sang Penjaga."

Luka mengangguk setuju. "Tapi notasi ini... kita tidak tahu bagaimana membacanya."

Kai menatap seruling di tangannya dan kemudian ke lukisan dinding. Ia merasa ada hubungan yang lebih dalam antara dirinya, seruling itu, dan roh wanita dari masa lalu. Mungkin, kunci untuk memahami notasi kuno itu terletak pada melodi yang telah ia dengar.

"Aku akan mencoba," kata Kai dengan semangat.

Ia mengangkat seruling ke bibirnya dan mencoba meniupnya. Awalnya, hanya suara angin yang keluar. Namun, ia terus mencoba, meniru nada-nada yang ia ingat dari melodi roh wanita itu.

Perlahan, dengan beberapa kali percobaan yang canggung, Kai mulai menghasilkan suara dari seruling itu. Nada-nadanya masih sederhana dan tidak beraturan, tetapi ada kemiripan dengan melodi yang mereka dengar.

Saat ia memainkan beberapa nada yang tepat, ukiran-ukiran di dinding gua tampak bergetar pelan, dan angin sejuk bertiup melalui gua, membawa aroma bunga bambu yang harum.

Mereka menyadari bahwa seruling bambu purba ini bukan hanya alat musik biasa. Ia terhubung dengan energi pulau dan roh-roh penjaganya.

Untuk memainkannya dengan benar dan menguasai "Nyanyian Harmoni", Kai harus belajar mendengarkan tidak hanya suara seruling itu sendiri, tetapi juga suara hutan bambu dan melodi dari masa lalu yang terukir dalam ingatan pulau ini.

Langkah mereka selanjutnya adalah mempelajari cara memainkan seruling ini dengan benar dan mencari petunjuk lain tentang bagian-bagian "Nyanyian Harmoni" yang hilang, mungkin tersebar di pulau-pulau lain seperti yang disebutkan oleh para tetua.

Perjalanan mereka untuk memulihkan keseimbangan alam dan menenangkan Sang Penjaga baru saja memasuki babak baru yang penuh tantangan dan harapan.