Di sudut paling selatan Wilayah Daisha, tersembunyi di balik kabut lembah dan gunung tua yang seakan tak pernah melihat matahari, berdirilah Desa Qinghe—sebuah tempat kecil yang nyaris terlupakan oleh sejarah dan langit.
Tak ada qi yang melimpah, tak ada guru yang agung, hanya ladang-ladang sederhana dan langit yang suram. Namun di tempat inilah, takdir seorang anak lelaki akan mulai mengukir jalannya—dari kehampaan menuju sesuatu yang bahkan para Dewa pun enggan memandang.
Di atas batu datar di tepi sungai, duduklah seorang pemuda kurus berjubah lusuh, dengan mata yang jernih namun memuat kesunyian dunia. Namanya Mo Tian—seorang anak yatim yang bahkan tak tahu bagaimana ia bisa bertahan hidup hingga usia enam belas.
Sudah tiga tahun lamanya, ia mencoba menyerap Qi Langit dan Bumi—setiap pagi sebelum embun mengering, dan setiap malam sebelum bintang redup. Namun tubuhnya tetap dingin, dagingnya kering, dan meridian dalam tubuhnya tak pernah terbuka, seolah dunia telah menolaknya sebelum ia bisa mengetuk pintu.
"Jika dunia menolakku... maka aku akan menolak takdir ini lebih keras lagi," bisiknya lirih.
Suara aliran air mengiringi napasnya yang perlahan, saat ia duduk bersila, mencoba lagi dan lagi. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena tekad yang terlalu lama ia pendam sendirian.
Namun seperti biasa, hasilnya nihil.
Qi hanya mengusap kulitnya, lalu pergi. Ia seperti tanah tandus yang ditolak hujan.
Seketika, suara langkah tua terdengar.
Dari balik bayang pohon pinus, muncullah sosok Kakek Yun, pria tua yang pernah menjadi kultivator sejati sebelum merelakan segalanya dan kembali menjadi petani.
“Matahari sudah tenggelam, bocah. Bahkan para naga pun tak berlatih tanpa harapan,” ucapnya pelan, membawa tongkat kayu yang sudah retak di ujungnya.
Mo Tian membuka matanya, menatap dengan tenang. “Jika aku berhenti sekarang... maka aku akan jadi benar-benar tak berarti.”
Kakek Yun tertawa pendek. “Kau bahkan belum bisa membuka Pintu Qi Pertama. Dan kau... ingin ke Sekte Xuanhu besok?”
Mo Tian mengangguk. "Aku tak tahu apakah mereka akan menerimaku. Tapi... setidaknya, aku akan tahu sampai di mana aku bisa jatuh."
Diam. Angin lembah membawa harum tanah lembab dan kesunyian yang tua.
Kakek Yun tak menjawab segera. Ia mengangkat kepalanya, menatap langit yang mulai dipenuhi bintang.
“Ada dunia yang lebih luas di luar sini, Mo Tian. Tapi dunia itu bukanlah tempat untuk anak-anak baik seperti dirimu.”
Mo Tian hanya menunduk. Di balik ketenangannya, hatinya menyimpan tekad yang membara. Ia tahu, di luar sana, orang-orang seperti dirinya hanya akan menjadi bahan tertawaan. Namun ia tidak peduli.
“Jika aku harus menjadi iblis untuk melawan takdir, maka biarlah aku menjadi iblis yang jujur.”
Kakek Yun memejamkan mata sejenak. Lalu, dari dalam jubahnya, ia mengeluarkan sesuatu—sebuah pecahan batu giok berwarna hitam kelam, yang terasa dingin bahkan sebelum disentuh.
“Ambil ini. Jika suatu saat kau benar-benar tidak punya jalan lagi... patahkan batu ini.”
Mo Tian menerima giok itu dengan hati-hati. Ia tak bertanya apa isinya. Ia tahu… jika seseorang seperti Kakek Yun memberinya benda seperti itu, maka masa depan yang menantinya tidaklah cerah.
Malam itu, langit tak menjawab apa pun. Tapi tekad seorang anak muda telah lahir—tekad yang bahkan para Dewa pun kelak harus akui.
Langit mungkin akan mematahkan punggungnya. Tapi selama napas masih ada… Mo Tian tidak akan menyerah.