Pelatihan pagi belum usai, namun tubuh Mo Tian sudah mencapai batasnya. Nafasnya terputus-putus, lututnya gemetar, dan darah terasa mendidih di dalam pembuluhnya. Setiap gerakan adalah siksaan, namun ia menolak untuk jatuh.
Di matanya, para murid lain seolah memiliki tubuh yang ringan, energi mereka mengalir seperti sungai kecil. Sedangkan tubuhnya sendiri… seperti pasir kering yang tak mampu menyimpan air.
Namun saat langkahnya mulai goyah, tiba-tiba...
"Luruskan punggungmu, murid rendahan!"
Suara pelatih Bai Yun membentak seperti cambuk.
Mo Tian menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Ia tidak ingin diperhatikan. Tapi setiap kelemahannya seperti mencolok di tengah kerumunan. Pelatih Bai Yun melangkah mendekat dengan tatapan tajam.
“Namamu?”
“Mo Tian.”
“Tubuhmu rapuh seperti cabang kering. Kau pikir dunia ini akan menunggumu kuat sebelum membunuhmu?”
Mo Tian hanya menunduk. Tapi di dalam kesadarannya, tubuh kedua bereaksi.
“Orang ini… memiliki darah pembantai. Tapi jiwanya kosong.”
Suara dalam kepalanya mulai memecah lapisan pemahamannya tentang dunia.
Ia melihat kilasan dari dalam tubuh pelatih Bai Yun — jalur meridian yang kaku, napas Qi yang pendek tapi padat, dan luka tersembunyi di dantian bagian bawah. Itu semua terjadi dalam sekejap, dan hanya karena tubuh keduanya mengurai semuanya bagai lukisan rusak yang diperbaiki ulang.
Mo Tian segera menyadari: tubuh keduanya tidak hanya menyerap… tapi menganalisis.
Malam hari, di Gua Batu Tua.
Langit gelap menggantung tanpa bintang. Mo Tian duduk bersila, napasnya dalam dan teratur. Ia mulai membagi kesadarannya, sesuatu yang dulu mustahil baginya — fokus pada dua titik: tubuh utama yang menyerap Qi, dan tubuh kedua yang mempelajari struktur energi dari semua yang ia rasakan hari itu.
Tubuh utama menyerap tetes demi tetes Qi, perlahan membentuk pusaran kecil di dantian. Tapi…
“Tubuh kedua mulai menumbuhkan bentuk jiwa.”
Dalam ruang kesadaran, kabut hitam perlahan membentuk wujud samar — sosok menyerupai dirinya sendiri, tapi dengan mata kosong dan aliran cahaya kelam yang mengelilinginya.
“Aku… sedang tumbuh…”
Suara itu semakin jelas, tenang, dan mendalam.
Mo Tian sadar bahwa tubuh kedua bukan sekadar 'cadangan', tapi entitas yang berkembang dengan jalannya sendiri. Sebuah keberadaan yang bisa menembus batas pemahaman manusia… terutama mengenai pencerahan.
Sementara itu, jauh di dalam Sekte Xuanhu.
Seorang lelaki tua berjubah abu-abu membuka mata dari meditasinya.
“Tanda Dao telah bergetar…”
Ia mengangkat kepalanya, menatap ke arah timur lembah, ke tempat para murid tingkat rendah dilatih.
“Seseorang telah memanggil Dao… tapi bukan dari langit. Melainkan… dari bawah tanah...”