Tempat yang indah bukan berarti aman

[Sore hari – Hutan yang Asing]

Arkan masih duduk di bawah pohon besar, punggungnya bersandar pada batang kayu yang dingin. Keringat menetes dari dagunya, wajahnya kusut, pakaian compang-camping. Nafasnya berat, tapi matanya menatap langit jingga yang perlahan berubah warna. Di sela kelelahan dan keputusasaan, ia menemukan jeda—momen tenang untuk merenung.

Arkan (bingung, pelan):

“Apa aku lagi… di dunia lain?” bisiknya samar, nyaris tak terdengar.

Tapi otaknya langsung menolak ide itu. Ia menggeleng keras, mencoba mencari penjelasan logis yang lebih masuk akal… walau semakin lama semuanya justru terasa makin gila.

Arkan (menyangkal):

“Nggak. Nggak mungkin, Ini pasti ilusi... atau taman nasional yang aneh? Teknologi VR canggih? Kayak di anime-anime gitu?”

Ia mencubit lengannya sendiri—nyeri. Bukan mimpi.

Arkan (berusaha tetap rasional):

“Atau mungkin aku lagi koma dan di rumah sakit… dan ini semua cuma mimpi?”

Namun logikanya mulai rapuh. Udara yang ia hirup terlalu nyata—segar dan dingin, bercampur aroma tanah lembap dan bunga liar. Tubuhnya juga terasa letih, dan kini perutnya mulai perih karena lapar.

Arkan (lemas, menyangkal dengan keraguan):

“Dunia lain tuh… cuma ada di anime atau novel. Nggak nyata” ucapnya, mencoba bertahan dengan narasi familiar. Tangannya mengibas-ngibas di depan wajah, seolah menepis kenyataan yang menatapnya lurus-lurus.

Dalam penyangkalan itu, ia tak sadar langit di atasnya perlahan berubah warna dari jingga menjadi biru tua, lalu ungu kehitaman.

Gelap turun, tapi tak membawa kegelapan total.

Bunga-bunga di sekelilingnya mulai bersinar—kelopaknya menyala lembut dalam gelap. Biru muda, hijau zamrud, ungu keperakan. Cahaya mereka seperti mimpi, tapi rasanya… hangat, tenang.

Arkan hanya berdiri mematung, kagum.

Arkan (terpana):

“Indah banget… hutan ini beneran mirip dunia fantasi,” bisiknya terpukau memandang sekitar. Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, ia merasa damai. Jiwanya yang lelah diberi waktu bernapas.

Namun ketenangan itu tak bertahan lama.

Ghhrrrr…

Ada suara samar yang muncul muncul—geraman rendah dari balik semak. Seketika naluri bertahan hidupnya langsung menendang masuk.

Arkan menoleh cepat. Matanya menyapu sekeliling—hanya semak, pohon, dan bayangan.

Ghhrrr…

Suara lain. Dari arah berbeda. Lalu satu lagi, dan satu lagi.

Suara geraman aneh itu mengelilinginya.

Tubuhnya mulai gemetar. Keringat dingin merayap di leher. Detak jantungnya berdentum di telinga.

Arkan (panik, dalam hati):

“suara apa itu!? Binatang buas? Serigala?” Tangannya reflek menutup mulut sendiri. Napasnya tertahan.

Ia tidak tahu dari mana suara itu datang, atau makhluk apa yang mengintainya. Tapi satu hal pasti—ia tidak sendirian di hutan ini.

Dan saat itulah...

Dari balik bayangan pepohonan, muncul sosok.

Satu… dua… lima… delapan!

Makhluk-makhluk itu melompat keluar serempak—membelah semak, menyentak ke tanah. Mereka menyerupai serigala, tapi lebih besar dan jauh lebih mengerikan. Mata mereka menyala merah menyala, gigi mencuat keluar dari mulut berbusa, bulu kusut mereka menggigilkan tulang. Tapi yang paling mengganggu…

Mereka ditunggangi.

Makhluk kecil, setinggi anak balita, berkulit hijau gelap, telinga runcing dan tubuh kurus kering seperti tulang hidup. Mereka tertawa cekikikan sambil mengangkat tombak mungil yang tampak terbuat dari tulang. Gigi mereka runcing. Mata mereka… penuh kesenangan.

Perburuan dimulai.

Arkan (panik, berteriak):

A-APAAN TUH!?

Matanya membelalak, darahnya membeku seketika. Tapi tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya, makhluk-makhluk itu menerjangnya.

Tanpa menunggu, Arkan langsung berbalik dan lari sekencang-kencangnya. Kakinya menghantam tanah penuh akar, dedaunan beterbangan. Nafasnya memburu, mulutnya kering, dan di belakangnya—

Deg! Deg! Deg! Deg!

—jejak cakar dan tawa menggila makin dekat.

Arkan (teriak panik ketakutan):

AHH!! MAKHLUK APA ITU WOI!!” Suara teriakannya bercampur dengan derap kaki liar yang menyusul di belakangnya. Ia menoleh untuk melihat mahkluk-mahkluk yang mengejarnya lebih jelas—dan itu kesalahan besar.

Mata merah itu semakin dekat.

Serigala-serigala buas itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya mangsa di dunia ini. Bercampur dengan tertawaan mahkluk yang menunggangi serigala itu.

Kekekekeehhh!!

Suara mereka melengking seperti logam digesek—menusuk telinga dan membuat bulu kuduk berdiri.

Arkan hampir tersandung akar besar yang menjulur di tanah, tapi tubuhnya reflek menahan jatuh. Kakinya berdenyut, paru-parunya terbakar. Namun ia tidak berhenti.

Arkan (teriak dalam hati):

AKU GAK MAU MATI!! GAK MAU!! ” berlomba dengan mahkluk-mahkluk yang mengejarnya dan rasa lelah yang juga turut mengejarnya, ia masih berlari dengan niat untuk bertahan hidup apapun yang terjadi.

Arkan (panik sambil terus berlari):

“Aku harus keluar dari hutan ini! Harus—” perkataannha terputus setelah ia melihat sebuah jalan setapak kecil, setengah tersembunyi di balik semak dan pepohonan.

Arkan (teriak lega):

Jalan! Jalan setapak!” teriaknya dengan lega bercampur senang, matanya seketika tertuju kepada jalan itu yang menjadi satu-satunya harapan.

Tanpa pikir panjang, ia membelok dan mengikuti jalan sempit itu. Jalan tanah itu tampak seperti buatan manusia—atau sesuatu yang cerdas. Jalan itu sedikit menurun, diapit oleh pohon-pohon tinggi, dan terus mengarah ke tempat yang belum ia tahu.

Tentunya. Makhluk-makhluk itu masih mengejar. Suara geraman dan tawa aneh mereka masih menggema di belakang, semakin lama semakin dekat.

Arkan hanya bisa berlari berharap di ujung jalan itu, ada keselamatan—atau seseorang—yang bisa menyelamatkannya.

Arkan terus berlari sekuat tenaga. Nafasnya sudah memburu, dadanya terasa seperti terbakar, dan kakinya mulai gemetar hebat. Namun rasa takut mengalahkan semua kelelahan itu—adrenalin memaksanya tetap bergerak meski tubuhnya hampir menyerah.

Arkan (terengah):

"Hah... hah... Aku sudah gak kuat lagi—tapi mereka masih ngejar!" pikirnya, sambil menoleh sesekali ke belakang.

Makhluk-makhluk itu masih saja mengejarnya—makhluk hijau kecil penunggang serigala buas, dengan mata menyala liar dalam kegelapan hutan. Derap kaki serigala dan pekikan mereka menambah horor dalam setiap langkah.

Lalu... dari kejauhan, cahaya samar terlihat.

Arkan (berharap, senang):

"Itu dia! Itu dia! Jalan keluar dari tempat sialan ini!" teriaknya penuh harap, meski suaranya serak dan tubuhnya kelelahan p.

Ia mengerahkan sisa tenaganya untuk berlari lebih cepat. Pohon-pohon mulai menipis, cahaya semakin jelas, dan akhirnya—ia menerobos keluar dari hutan dan langsung jatuh tersungkur di rerumputan.

Arkan (jatuh tersungkur):

“Aduh!” Gemetar, Arkan membalikkan badan dan menatap ke arah kegelapan hutan, ia mengira semuanya akan berakhir, setelah usahanya yang mati-matian untuk bertahan hidup, kini ia sekali lagi akan merasakan kematian. Pikirnya putus asa.

Namun yang terjadi malah sebaliknya.

Makhluk-makhluk itu berhenti tepat di tepi hutan. Mereka menatap Arkan dari balik bayangan pepohonan. Sejenak mereka berteriak dengan bahasa yang tak dimengerti, lalu satu per satu mundur, masuk kembali ke dalam hutan seolah terhalang sesuatu yang tak terlihat.

Arkan hanya bisa menatap dengan mata terbuka lebar, masih belum bisa memahami situasi. Ia tidak tahu kenapa mereka tidak bisa keluar dari hutan... atau kenapa mereka berhenti.

Tubuhnya akhirnya jatuh terbaring, membiarkan rasa lelah yang sedari tadi ia rasakan dan ia tahan.

Bajunya basah oleh keringat, napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Rasa takut, panik, dingin, dan lelah bercampur jadi satu. Matanya mulai terasa berat. Dunia di sekelilingnya berputar pelan, seperti kehilangan fokus.

Arkan (terengah kebingungan):

“hidup... aku masih, hidup. Apa-apaan tempat ini!” akhirnya dia bisa kembali beristirahat setelah semua hal yang telah terjadi.

Tubuhnya menyerah. Tak kuasa menahan gempuran emosi dan kelelahan, Arkan pun terlelap di pinggiran hutan yang asing, di dunia yang baru...

[Pagi hari, pinggiran hutan]

Matahari pun terbit, sinar matahari pagi menembus kelopak matanya yang berat. Burung-burung berkicau aneh—nada yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Arkan membuka matanya perlahan, mendapati langit biru cerah menggantikan gelapnya malam sebelumnya.

Ia terbaring di rerumputan, desir angin meniup tubuh rebahnya yang masih terasa berat dan nyeri dari pelarian kemarin, Rambut panjangnya terurai tak beraturan.

Arkan (ragu dan tidak percaya):

"Aku beneran masih hidup...? Atau ini... masih mimpi?" Ia menanyakan kepastian Untuk beberapa detik, ia hanya menatap langit kosong, mencoba mencerna semuanya.

Namun, kilatan bayangan makhluk-makhluk dari semalam menghantam ingatannya. Jantungnya langsung berdegup cepat.

Arkan (mengingat):

"Ah—kemarin, itu semua nyata" gumamnya dengan wajah menegang.

Tapi sebelum bisa larut lebih jauh dalam keterkejutan dan kekalutan, perutnya berbunyi pelan. Lapar.

Arkan (merasa lapar, menggerutu):

"Serius? ini bukan waktu yang tepat sialan" keluhnya pelan sambil memegangi perut. Tapi dia tahu, dia harus makan—atau dia bisa beneran mati kali ini. Rasa takut digantikan oleh naluri bertahan hidup.

Dengan ragu, Arkan berdiri, matanya menatap ke arah hutan lebat tempat asal mimpi buruk semalam. Sinar pagi membuat hutan itu terlihat jauh lebih tenang dan damai. Bahkan... hampir indah.

Cahaya pagi memantul di kelopak bunga bercahaya dan embun yang menggantung di dedaunan. Tapi Arkan tahu lebih baik daripada tertipu oleh pemandangan.

Arkan (bersiap, pede):

“Gue gak bisa diem aja... mungkin ada buah atau apapun yang bisa dimakan di dalem sana...” pikirnya, lalu perlahan melangkah ke arah batas hutan, ia mengira bahwa mahkluk-mahkluk yang sebelumnya mengejarnya sudah pergi.

Baru saja kakinya hendak menyentuh rerumputan di tepi hutan, tiba-tiba—

SWOOSSH!

Sebuah tombak kecil melesat cepat dan menancap di tanah—tepat di samping kepalanya. Arkan langsung membeku. Tubuhnya kaku, matanya melebar.

Arkan (terkejut, bingung):

“...H—HAAAH!?” ia masih belum bisa merespon, kejadiannya begitu cepat.

Refleks, ia mundur beberapa langkah, menatap ke dalam bayangan pepohonan. Dan benar saja.

Mereka masih ada di sana.

Makhluk-makhluk semalam. Seperti kurcaci namun berkulit hijau menunggangi serigala. Mereka bersembunyi, tapi cukup jelas terlihat—mata merah menyala dan sosok hijau kecil itu yang menatap dengan penuh kebencian. Seakan-akan mereka tak bisa melewati batas hutan... Tapi mereka masih menunggu.

Mengintai... Mengincar.

Arkan (panik):

BRENGSEK, MASIH ADA MAKHLUK-MAKHLUK ITU COK!!” Tanpa berpikir panjang, tanpa sempat mempertanyakan logika atau rencana, ia langsung putar balik dan lari menyusuri jalan setapak yang terbentang di hadapannya.

Ia tak tahu ke mana jalan itu mengarah—desa? kota? Tapi apapun itu, masih lebih baik dari pada balik badan dan menghadapi makhluk-makhluk itu lagi.

Arkan (berteriak panik, kesal):

“Aku salah apa!? Dosa apa yang aku lakuin sampe hidupku jadi gini!?” teriaknya sambil tetap berlari, meninggalkan hutan tempat dia pertama kali datang dan mahkluk-mahkluk aneh yang hendak membunuhnya.

Dan untuk kesekian kalinya dalam waktu kurang dari 24 jam—Arkan kembali berlari menyelamatkan nyawanya, di dunia asing yang seolah ingin membunuhnya sejak detik pertama ia tiba.