Ban 1 Bab 1: Nikah Dadakan Sama Presdir? Hah, Seriusan Nih?

"Alesha, ayo turun. Bapak mau ngomong!"

Suara Mama nyaring dari bawah. Aku yang lagi rebahan di kasur, nonton kartun sambil makan ciki, langsung mengerutkan dahi.

"Lagi seru, Ma. Sebentar lagi si kucing bakal berubah jadi robot!"

"ALESHA! INI SERIUS!"

Nah lho.

Dengan berat hati, aku matikan TV dan turun sambil mulut masih ngunyah. Rambutku masih acak-acakan, baju kaus gombrong, dan kaki masih pakai kaus kaki sebelah. Penampilan khas bocil rebahan.

Di ruang tamu, duduklah orang tuaku dengan wajah super serius, dan—nah ini dia yang bikin aku langsung ingin kabur—seorang pria tua yang senyumnya kayak tahu rahasia negara, duduk sambil menatapku tajam. Di sebelahnya, berdiri cowok ganteng berjas hitam rapi. Diam. Dingin. Nunduk kayak lagi sidang skripsi.

Aku otomatis nyengir. "Eh... ada apa ya?"

Bapak langsung berdiri. "Kenalin, ini Pak Arman dan cucunya, Kenzo."

Aku melambaikan tangan ke Kenzo yang bahkan nggak noleh ke arahku. Oke, sombong dikali dua.

Pak Arman menatapku. "Langsung aja ya, Alesha. Kamu mau nikah sama cucu saya."

BRUKK.

Itu suara ciki tumpah dari tanganku.

"Hah?! Apa?!"

Mama ikut berdiri. "Nak, ini permintaan Pak Arman. Kamu tahu sendiri perusahaan keluarga kita pernah dibantu sama beliau. Sekarang, beliau ingin menjodohkan cucunya dengan kamu."

Aku masih bengong. "Tapi aku masih SMA?! Aku baru dapet nilai 45 di ulangan Matematika kemarin, Ma! Aku bahkan belum lulus-lulus amat SMP secara emosional!"

Kenzo akhirnya angkat bicara. Suaranya datar. Super datar.

"Aku juga nggak mau. Tapi Kakek maksa."

WOW. Cowok ini bener-bener nggak punya filter ya. Baru kenal udah bilang nggak mau.

Aku melotot. "Ya udah dong! Sama! Aku juga nggak mau!" Aku langsung nyalamin dia. "Senang tidak jadi menikah denganmu. Selamat tinggal, Mas Dingin."

Tapi Pak Arman malah tertawa. "Justru karena kalian sama-sama nggak mau, kalian cocok. Sama-sama keras kepala. Sama-sama polos. Sama-sama... butuh belajar dewasa."

Bapak dan Mama ikut manggut-manggut. "Lagipula ini cuma pernikahan kontrak. Dua tahun. Setelah itu kalian bisa putuskan mau lanjut atau tidak."

Aku melongo. "Loh... nikah itu kayak beli gorengan ya sekarang? Ada kontraknya?"

Kenzo memutar bola mata. "Daripada aku dijodohin sama cewek plastik yang hobinya flexing, mending kamu aja. Paling nggak... kamu asli."

Aku mendelik. "Wah, makasih ya. Itu pujian atau hinaan sih?"

Pak Arman berdiri. "Pernikahan minggu depan. Sudah disiapkan semua. Tinggal kalian tinggal serumah dan beradaptasi."

Aku nyaris pingsan.

Dan begitulah, seminggu kemudian, aku sah jadi istri orang. Tepatnya, istri dari seorang Presdir muda kaya raya, dingin, dan lebih cocok jadi karakter utama di drama Korea.

Hari pertama pindah ke rumah suami? Jangan harap romantis. Yang ada...

"Kenapa AC-nya 16 derajat?! Ini rumah atau kulkas, Mas?!"

Kenzo yang lagi duduk di meja kerja cuma jawab pendek, "Biar virus mati."

Aku meringkuk di sofa sambil pakai selimut tebal, masih pakai piyama gambar kelinci.

"Aku mati duluan nih kayaknya."

Kenzo berdiri, membuka lemari, lalu melemparkan jaket tebal ke arahku.

"Pakai itu. Jangan manja."

Aku menganga. "Aku bukan manja. Aku kedinginan, Mas! Nggak semua orang tumbuh di Kutub Utara kayak kamu."

Dia nyengir tipis—senyum pertamanya. Wah, ini kayak ngeliat pelangi di padang pasir.

"Kalau kamu bisa tahan seminggu tinggal di sini tanpa ngeluh, aku beliin kamu satu lemari ciki."

Mataku langsung berbinar. "DEAL!"

Dan sejak itu, hidupku berubah drastis.

Dari yang biasanya bangun jam 10 siang, sekarang harus bangun pagi karena Mas Dingin selalu hidup on-time. Dari yang biasanya makan mie instan, sekarang harus ikut makan makanan sehat (tapi hambar). Dari yang biasanya nonton kartun, sekarang harus nonton berita bisnis karena TV-nya udah disetting permanen.

Tapi pelan-pelan, aku mulai ngerti kenapa cowok ini dingin. Ternyata dia kerja terus dari pagi sampe malam. Nggak punya teman deket. Bahkan... nggak pernah cerita soal keluarganya.

Suatu malam, aku ngintip ke ruang kerjanya. Dia lagi duduk sendiri, lampu temaram, mukanya capek banget.

Aku masuk pelan. "Mas, udahan dulu kerjanya. Makan dulu yuk."

Dia nggak noleh. "Nanti aja."

Aku nekat narik tangannya. "Kalau kamu pingsan, terus aku jadi janda muda dong. Nggak lucu."

Dia akhirnya berdiri. Wajahnya masih datar, tapi matanya... kayak ada rasa hangat sedikit.

Kami makan malam berdua. Hening. Tapi nyaman.

Tiba-tiba dia bilang, "Hari ini... kamu nggak terlalu berisik."

Aku manyun. "Yah, berarti kamu nggak terhibur dong."

Dia nyengir lagi. "Nggak juga. Kamu lucu sih."

DEG.

Itu pertama kalinya dia bilang aku... lucu.

Alesha, si bocil, mulai ngerasa... hidup serumah sama cowok beku ini nggak seburuk itu.

Tapi ya tetap aja, tantangan berikutnya belum datang...

Dan itu bakal melibatkan... sahabatku yang suka nyeletuk, sekolah yang penuh gosip, dan... ciuman pertama yang gagal total gara-gara kucing lompat dari jendela.