Gerbang Kesengsaraan

“Huft... huft... kenapa mereka begitu ingin membunuhku?” ucap Cyren terengah-engah, terus berlari dari kejaran para pembunuh.

“Hei, Tuan Muda Cyren, sebaiknya kau menyerah saja. Kami akan membunuhmu tanpa rasa sakit,” teriak salah satu pembunuh dari kejauhan.

“Apa otakmu sudah konslet?” balas Cyren ketus. Napasnya mulai tersengal, tubuhnya sudah hampir mencapai batas.

“Huft... huft... ayo, lari lebih cepat,” desisnya, memaksa kakinya yang mulai lemas untuk tetap bergerak.

Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat sebuah retakan kecil di udara.

“Huft... huft... bukankah itu... retakan pintu menuju dunia iblis?” pikirnya.

Ia langsung teringat pada buku yang pernah ia baca—buku tentang dunia iblis. Tertulis bahwa retakan menuju dunia iblis muncul secara acak dan biasanya berukuran kecil. Untuk memperbesarnya, harus dihancurkan menggunakan mana, dengan cara apa pun. Namun, retakan itu hanya bertahan selama empat detik setelah dihancurkan.

Tepat saat itu, sebuah anak panah menembus udara dan menancap di kaki Cyren.

“Gahh...!” jerit Cyren. Ia terjatuh, namun posisinya kini tepat di depan retakan tersebut.

Salah satu pembunuh mengumpat dengan kesal.

“Bajingan! Harusnya tadi pakai tombak, jangan sampai meleset!” katanya dengan marah sambil mencengkeram pedangnya.

Ketua para pembunuh melangkah maju, nada suaranya dingin dan penuh tekanan.

“Kau sudah cukup berlari. Ini adalah akhir dari pelarianmu.”

Ia menghunus pedangnya dan berjalan mendekati Cyren.

Cyren panik. Ia harus berpikir cepat.

“Aku tak pernah belajar menggunakan mana... Aku pikir aku tak membutuhkannya karena aku anak bangsawan. Tapi sekarang... tak ada pilihan lain.”

Ia mulai mempraktikkan apa yang pernah dibacanya.

“Langkah pertama... rasakan mana di dalam tubuhmu.”

Ia memejamkan mata, mencoba fokus. Dan perlahan, ia merasakan aliran kecil mana dari dalam perutnya.

Dengan sekuat tenaga, Cyren bangkit. Ia menyalurkan seluruh mana yang bisa ia kumpulkan ke tangannya dan menghantam retakan itu.

Crakkk!!

Retakan itu melebar, membentuk lubang besar menganga.

Cyren melompat ke dalamnya dan berteriak:

“Bye-bye keparat! Semoga kepalamu masih utuh saat kau bertemu bosmu!”

Dalam hitungan detik, retakan itu tertutup rapat, meninggalkan para pembunuh dalam kebingungan.

FLASHBACK – MASA LALU

Beberapa tahun sebelumnya, di kediaman keluarga Dravenheart, klan pendekar pedang legendaris yang dikenal di seluruh dunia karena kekuatan dan ketangguhannya. Di tempat itu, hanya orang terkuat yang boleh bertahan hidup.

Cyren adalah anak dari kepala keluarga Dravenheart. Namun, sejak lahir, ia lemah dan sering sakit-sakitan. Saat berusia lima tahun, ia mulai dijauhi oleh kakak-kakaknya karena dianggap tidak berguna. Ia menghabiskan hari-harinya di kamar karena tubuhnya tak tahan terhadap sinar matahari.

Satu-satunya yang peduli padanya adalah Serva, kakak perempuannya yang kedua. Serva sering mengunjunginya, bermain dengannya, membuatnya tertawa, dan menjadi satu-satunya alasan Cyren tetap tersenyum.

Namun, kakak tertuanya Reigar, sangat membenci Cyren. Ia menganggap Cyren sebagai aib keluarga.

“Anak lemah sepertimu tak pantas menyandang nama Dravenheart,” ucap Reigar suatu hari.

Meski dibenci, Cyren bahagia selama masih bersama Serva.

Di ulang tahunnya yang ke-14, Serva tak bisa hadir seperti biasanya karena sedang menjalankan misi dari ayah mereka. Cyren mengerti. Ia pun memutuskan tidur lebih awal. Namun, ia merasa bantalnya keras dan saat hendak memperbaikinya—

Srett!

Sebuah tombak menancap tepat di bantalnya.

“Woah... Tombak? Dari mana ini datangnya?” ucap Cyren kaget.

Dari luar, terdengar suara ribut.

“Woy bodoh! Kau membidik ke arah mana sih?!”

“Tanganku terpeleset, dasar bawel!”

Cyren akhirnya sadar—ada yang ingin membunuhnya.

Ia membuka pintu kamar dan melihat seorang pria bertopeng berdiri di hadapannya. Setelah itu, semuanya gelap.

Saat terbangun, ia berada di kereta kuda, dikelilingi hutan lebat. Tubuhnya lemah, namun pikirannya sadar.

“Aku diculik...” pikirnya. Ia sempat berpikir melarikan diri, tapi kereta melaju terlalu cepat.

Tiba-tiba, kereta berhenti.

“Hei bodoh, singkirkan pohon itu dari jalan!” bentak seseorang.

“Siapa yang kau bilang bodoh, hah?!” balas temannya sambil marah.

“Kau lah, membidik kepala bocah saja tak bisa!”

Mereka terus berdebat—sampai suara dingin dan tajam terdengar.

“Cukup.”

Semua langsung diam.

“Kalau kalian masih bertengkar, akan kuputus leher kalian satu per satu,” ucap suara itu mengancam.

Suasana menjadi sunyi. Kesempatan itu tak disia-siakan Cyren. Ia turun perlahan dari kereta dan melarikan diri ke dalam hutan.

“Aku harus lari... sekuat tenaga!”

Namun beberapa menit kemudian, ia disadari dan dikejar.

Itulah awal dari pelarian Cyren.