"Ugh... Di mana aku?" gumam Cyren lemah.
Saat matanya terbuka, ia mendapati dirinya berada di tempat yang asing. Tanah di sekelilingnya kering, retak, dan sama sekali tidak ada kehidupan—bahkan rumput pun enggan tumbuh. Kabut berwarna merah darah menggantung di udara, pekat dan menyelimuti pandangan. Batu-batu besar menjulang seperti bukit mati, menambah kesan angker pada tempat itu.
Cyren masih berusaha mencerna apa yang terjadi, ketika tiba-tiba seekor serigala kurus melompat ke arahnya. Tidak, bukan hanya kurus—makhluk itu hanyalah tumpukan tulang, digerakkan oleh sesuatu yang tak terlihat. Tanpa peringatan, rahangnya menerkam tangan kiri Cyren.
"AAAGGHH!!! Apa-apaan ini?!" teriaknya, matanya membelalak penuh rasa sakit dan panik.
Ia memukul kepala serigala itu dengan tangan kosong, berkali-kali, tapi makhluk itu tetap menggigit erat. Rasa sakit membakar lengannya, darah mengucur deras. Ketakutan mencengkeramnya, tapi nalurinya memaksanya bertahan. Di tanah, ia melihat sebuah batu sebesar kepalan tangan. Dengan putus asa, ia meraihnya dan menghantamkan ke tengkorak serigala itu.
Satu pukulan. Dua. Dan pada pukulan ketiga, kekuatan aneh mengalir melalui tubuhnya—mana. Tanpa disadari, serangannya menjadi jauh lebih kuat. Tulang kepala makhluk itu retak dan pecah, hingga akhirnya ambruk tak bergerak.
Cyren terhuyung dan terjatuh, nafasnya terengah-engah. Darah masih menetes dari lukanya. Nafasnya berat dan tubuhnya gemetar hebat.
"Aku... harus menutup lukanya..." desisnya dengan suara parau.
Ia merobek ujung bajunya dan melilitkan kain itu ke luka di tangan kiri, mengencangkannya sekadar untuk menghentikan pendarahan. Setelah itu, ia mematahkan salah satu tulang serigala—tulang panjang dengan ujung runcing—untuk dijadikan senjata darurat. Dengan langkah tertatih, ia berjalan mencari tempat aman.
Namun belum jauh, sesuatu menusuk bahu kirinya dari belakang. Rasa sakit yang luar biasa menyambar tubuhnya.
"AGGHHH!! Keparat! Tangan kiriku aja belum sembuh!" jeritnya.
Ia berbalik, dan apa yang dilihatnya membuatnya terpaku. Makhluk itu berdiri tanpa suara, seperti bayangan hidup. Kulitnya tipis, transparan seperti selaput tipis lendir. Di balik kulitnya, organ dan tulang-tulangnya tampak samar-samar menyala.
"Monster macam apa ini..." bisik Cyren, ngeri.
Namun ia tak punya waktu untuk berpikir lama. Dengan gerakan cepat, ia menusukkan tulang runcing ke kepala makhluk itu.
"Mati kau, keparat!"
Tusukannya berhasil menembus, namun... dalam hitungan detik, luka itu menutup kembali, seolah tidak pernah ada. Makhluk itu menyerang balik, tapi kali ini Cyren berhasil menangkisnya.
"Dia bisa regenerasi... Gimana cara ngalahin ini...?" pikirnya panik. Matanya menelusuri tubuh makhluk itu, dan saat melihat bagian dada, ia menemukan sebuah bola kecil berkilau di antara tulang rusuknya.
"Itu... core! Inti mananya!" ingat Cyren. Ia pernah membaca di buku lama bahwa beberapa monster memiliki inti mana—dan jika inti itu dihancurkan, makhluk itu akan lenyap.
Tanpa ragu, ia maju, menghindari serangan demi serangan, mendekat ke sasaran. Tapi tepat saat jaraknya tinggal beberapa langkah, tubuhnya ambruk ke tanah.
"Sial... tubuh ini... gerak dong!" erangnya, giginya terkatup.
Tubuhnya lemah. Penyakit dan kekurangan energi membuatnya tak bisa berdiri. Namun sesuatu di dalam dirinya merespon. Mana yang tersisa mengalir liar ke tangan dan kakinya, menyokong tubuhnya yang hampir roboh. Ia bangkit dengan mata yang penuh tekad.
Dengan seluruh tenaga yang tersisa, ia menyerang dan menusukkan tulang ke arah inti.
Namun...
"Sial... tulangnya nggak cukup panjang!" desisnya frustasi. Inti itu masih jauh di dalam.
Monster itu menyerang balik, menghantam Cyren dan membuatnya terdorong ke belakang. Tubuhnya nyaris menyerah.
Tapi dia menolak mati di dunia ini.
Dengan napas berat, ia bangkit kembali. Kali ini, ia berlari secepat yang ia bisa dan melompat—menendang tulang runcing itu dengan seluruh tenaga yang tersisa agar terdorong masuk lebih dalam ke inti.
"Mati kau, bajingan!!"
CRAKKK!
Terdengar suara pecah, dan cahaya dari tubuh monster itu langsung padam. Makhluk itu runtuh, hancur menjadi debu hitam.
Cyren pun terjatuh dan kehilangan kesadaran.
Beberapa menit kemudian, ia sadar kembali. Tubuhnya penuh luka, tapi ia masih hidup. Ia melihat tangan monster yang baru saja dikalahkannya—jari-jarinya panjang, dengan kuku yang tajam dan keras. Tanpa ragu, ia memotong tangan itu. Siapa tahu bisa digunakan nanti.
Dengan tertatih, ia kembali berjalan, hingga akhirnya menemukan sebuah batu besar dengan celah sempit di bawahnya. Ia menyusup masuk, dan mendapati sebuah goa kecil di dalamnya. Satu ruangan saja, cukup sempit, tapi cukup aman.
Dindingnya dingin dan lembap, tapi tidak ada suara selain napasnya sendiri. Untuk pertama kalinya sejak tiba di dunia ini, ia merasa sedikit tenang.
Cyren bersandar ke dinding, matanya berat, tubuhnya lelah.
"Besok... aku harus bertahan lebih baik..." gumamnya sebelum tertidur.