BAB 2: Malam Panjang Dimulai

Deru napas panik dan isak tangis tertahan memenuhi kamar tidur utama yang remang di lantai dua rumah Bima. Mereka berempat – Bima, Citra, Ibu Bima, dan adiknya Rani – baru saja berhasil mencapai lantai atas beberapa detik sebelum makhluk cacing raksasa itu menerobos masuk melalui jendela ruang makan di lantai bawah. Bima dengan cepat menutup pintu ganda kayu jati kamar utama dan memutar kuncinya, lalu dengan bantuan ibunya yang gemetar, mendorong lemari pakaian besar untuk membarikade pintu.

Suara dari lantai bawah terdengar mengerikan. Bunyi pecahan kaca diikuti suara gesekan berat di lantai, lalu suara benda-benda yang ditabrak atau dihancurkan. Makhluk itu bergerak di dalam rumah mereka.

"Dia… dia di dalam rumah," bisik Ibu Bima ngeri, memeluk Rani erat-erat di tepi tempat tidur besar. Rani menyembunyikan wajahnya, tubuhnya bergetar hebat.

Citra bersandar lemas di dinding dekat jendela bertirai tebal, matanya terbelalak kosong, masih shock. Bima berdiri tegang di dekat pintu yang dibarikade, mencengkeram tongkat baseball aluminium erat-erat, telinganya awas mendengarkan.

"Pintunya kokoh, lemari ini berat," kata Bima, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Dia tidak akan bisa masuk."

Tapi suara dari bawah terdengar begitu kuat dan brutal. Bunyi kayu retak – mungkin meja atau kursi yang dihancurkan. Lalu hening sesaat. Keheningan yang jauh lebih menakutkan.

"Dia berhenti?" bisik Rani penuh harap.

Belum sempat Bima menjawab, mereka mendengar suara baru. Suara gesekan berat dan basah di… anak tangga kayu. Diikuti bunyi 'duk… duk… duk…' pelan tapi mantap. Makhluk itu naik ke lantai dua.

Keputusasaan melanda mereka. Rani kembali terisak. Ibu Bima mulai berdoa pelan dengan bibir gemetar. Citra menutup matanya rapat-rapat. Bima mencengkeram tongkat baseballnya lebih erat, posisinya siaga menghadap pintu.

Suara gesekan itu mencapai puncak tangga, lalu bergerak pelan di lorong lantai dua. Semakin dekat… semakin dekat… lalu berhenti tepat di luar pintu kamar utama tempat mereka bersembunyi. Keheningan total yang mematikan. Mereka semua menahan napas.

*DHUG!*

Benturan pertama menghantam pintu. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat lemari pakaian bergetar sedikit.

*DHUG! DHUG!*

Benturan kedua dan ketiga lebih kuat. Terdengar bunyi kertak dari kayu pintu. Makhluk itu tahu mereka ada di dalam, dan ia mulai mencoba mendobrak masuk.

"Bima…" panggil ibunya lirih, penuh ketakutan.

Bima tidak menjawab. Matanya terpaku pada pintu yang dibarikade, pada lemari yang bergetar. Ia memeriksa jendela sekali lagi – terkunci, tapi tampak begitu rapuh. Melompat? Terlalu tinggi. Melawan? Dengan tongkat baseball melawan monster itu? Sia-sia. Mereka terperangkap.

*DHUARR!*

Benturan kali ini jauh lebih keras. Engsel pintu berderak keras. Retakan mulai terlihat di panel kayu jati pintu di balik celah lemari. Barikade mereka tidak akan bertahan lama. Teror sesungguhnya baru saja akan dimulai di dalam benteng terakhir mereka.

Arya turun dari kamarnya dengan langkah berat, lilin di tangannya gemetar. Pemandangan cacing raksasa yang merayap keluar dari tanah di taman seberang jalan masih terbayang jelas, membuat perutnya mual. Ia bergabung dengan kedua orang tuanya di meja makan yang diterangi dua lilin lain. Nasi, telur dadar, dan tumis sayur tersaji di piring, namun tampak sama sekali tidak mengundang selera.

"Kenapa pucat sekali, Nak?" tanya ibunya cemas, mengamati wajah Arya dari seberang meja. "Kamu sakit?"

Arya menggeleng pelan. Ia duduk, tapi tidak menyentuh makanannya. Ia harus memberitahu mereka.

"Bu… Yah…" suaranya pelan dan serak. "Di luar… di taman seberang… aku melihat sesuatu."

Ayahnya yang sedang mencoba memeriksa koneksi telepon rumah yang mati, menoleh. Ibunya menatap penuh perhatian.

"Ada apa, Arya?" tanya ayahnya.

Arya menarik napas dalam. "Ada makhluk… seperti cacing tapi raksasa sekali. Panjangnya mungkin tiga meter, warnanya putih pucat. Keluar dari dalam tanah. Ada beberapa ekor."

Ibunya menutup mulut, matanya membelalak ngeri. Ayahnya mengerutkan kening, tampak skeptis.

"Cacing raksasa?" ulang ayahnya. "Kamu yakin, Nak? Bukan ular besar atau hanya bayangan?"

"Aku yakin sekali, Yah! Aku lihat jelas!" desak Arya. "Makhluk itu nyata! Tanah di taman itu bergerak-gerak sebelumnya!"

Melihat kesungguhan dan ketakutan di mata putranya, keraguan di wajah ayahnya memudar, digantikan kekhawatiran serius. Ibunya mulai terisak pelan.

"Lalu… apa makhluk itu masih di sana?" tanya ibunya gemetar.

"Aku tidak tahu, Bu. Aku langsung tutup tirai," jawab Arya. "Tapi ini pasti ada hubungannya dengan listrik padam dan semua sirene ini."

Saat mereka terdiam dalam ketakutan, terdengar suara garukan pelan di kaca jendela ruang makan yang menghadap ke taman samping rumah. *Skree… skree…* Mereka bertiga sontak menoleh ke arah jendela yang tertutup tirai itu. Suara itu terdengar lagi, lebih jelas, seperti kuku yang menggores kaca. Lalu suara gesekan basah, seolah sesuatu yang berlendir menempel dan bergerak di balik tirai.

"Dia… dia ada di dekat sini!" bisik ibu Arya panik.

Ayah Arya memberi isyarat diam, matanya terpaku pada jendela. Setelah beberapa saat yang menegangkan, suara gesekan itu berhenti, lalu terdengar suara seperti langkah berat menyeret menjauh di taman samping, menuju ke arah jalan depan.

"Dia lewat," bisik ayah Arya lega, tapi wajahnya masih tegang. "Kita tidak aman bahkan di dalam rumah."

Arya merasa putus asa. Komunikasi mati total. Mereka terisolasi. Bagaimana keadaan Rina? Doni? Bima dan Citra? Apakah mereka juga diserang? Ia teringat sesuatu.

"Yah! Walkie-talkie!" serunya pelan. "Di gudang belakang! Mungkin itu masih bisa berfungsi?"

Ayahnya tampak berpikir. "Benar juga. Itu radio dua arah frekuensi VHF, mungkin tidak terpengaruh gangguan sinyal seluler. Tapi baterainya mungkin sudah habis."

"Kita harus coba, Yah!" desak Arya. "Itu satu-satunya harapan kita bicara dengan orang lain, mungkin tetangga atau siapapun!"

Pergi ke gudang belakang berarti harus keluar rumah, meskipun hanya ke halaman belakang yang gelap dan mungkin juga sudah disusupi makhluk itu. Risiko besar. Tapi harapan sekecil apapun untuk berkomunikasi terasa sepadan.

"Baiklah," putus ayahnya setelah menimbang-nimbang. "Ayah akan ambil. Kamu dan Ibu tunggu di sini, kunci pintu."

"Aku ikut, Yah!" kata Arya cepat.

Ayahnya ragu, tapi melihat tekad di mata Arya, ia akhirnya mengangguk. "Oke. Tapi tetap waspada. Ambil senter besar itu."

Ayah dan anak itu bersiap menghadapi kegelapan dan bahaya di halaman belakang rumah mereka sendiri, demi secercah harapan komunikasi.

Di ruang tengah rumah Rina yang terang benderang oleh listrik yang secara anomali masih menyala, suasana justru terasa jauh lebih mencekam daripada kegelapan total. Terang itu hanya menyoroti betapa terisolasinya mereka. Rina dan ibunya berdiri mematung di antara sofa dan meja kopi, terjebak di antara dua sumber teror. Dari arah belakang, dari pintu dapur yang dibarikade lemari bufet, masih terdengar suara garukan keras dan dalam pada kayu, sesekali diselingi benturan tumpul yang membuat bufet bergeser sedikit. Dari arah depan, suara gesekan halus namun persisten terdengar dari bawah pintu utama, seolah sesuatu yang kecil dan liat sedang mencoba memaksa masuk melalui celah sempit.

"Dia tidak berhenti, Rin," bisik ibu Rina, matanya melompat-lompat antara pintu depan dan arah dapur. "Bagaimana ini?"

Rina menggigit bibirnya, otaknya berpacu mencari solusi yang tidak ada. Pisau dapur di tangannya terasa dingin dan tidak berguna.

"Kita harus ke atas?" usulnya ragu. "Mungkin lebih aman di kamar?"

"Bagaimana kalau dia mengikuti kita naik?" tanya ibunya lagi, membayangkan skenario terburuk.

Rina memberanikan diri mendekati pintu depan lagi, mencoba mengintip dari bawah. Cahaya dari ruang tengah cukup untuk melihat gerakan cepat beberapa benda hitam panjang dan tipis seperti kaki kelabang atau antena serangga raksasa yang terus menerus mencoba masuk lewat celah bawah pintu. Refleks, Rina menghentakkan kakinya keras di dekat celah itu. Gerakan itu berhenti sesaat, lalu dimulai lagi dengan lebih panik. Ia bergidik jijik.

Di saat yang sama, dari arah belakang terdengar bunyi 'KRAK!' keras. Salah satu panel kayu di pintu belakang tampak retak akibat tekanan atau garukan dari luar. Lemari bufet yang menahannya bergeser beberapa senti lagi.

"Pintunya mau jebol!" pekik ibu Rina panik.

"Kita tidak punya pilihan, Bu! Ke atas sekarang!" teriak Rina, menarik lengan ibunya menuju tangga. Barikade darurat dari kursi dan meja kopi yang mereka buat tadi tampak sangat menyedihkan sekarang.

Saat mereka baru mencapai beberapa anak tangga pertama, terdengar suara benturan keras dari luar jendela ruang tamu yang menghadap ke jalan. *PRAANG!* Kaca jendela itu tidak pecah, tapi jelas ada sesuatu yang menabraknya dengan keras dari luar. Rina dan ibunya menjerit, mempercepat langkah mereka menaiki tangga.

Mereka sampai di lantai dua yang hanya diterangi lampu tidur redup dari kamar Rina. Mereka cepat-cepat masuk ke kamar Rina, kamar yang paling jauh dari tangga, lalu mengunci pintunya. Tidak ada perabotan berat di kamar Rina yang bisa digunakan untuk barikade tambahan selain meja belajar kecil.

Mereka bersandar di pintu yang tertutup, mendengarkan dengan napas tertahan. Suara benturan di pintu belakang lantai bawah masih terdengar, begitu juga suara gesekan di pintu depan. Kini ditambah suara baru: suara garukan di jendela ruang tamu yang tadi ditabrak. Seolah makhluk-makhluk itu kini menyerang dari tiga sisi sekaligus.

Tiba-tiba, terdengar suara teriakan melengking dari rumah tetangga sebelah kanan mereka, diikuti suara kaca pecah yang sangat keras, lalu hening. Rina dan ibunya saling pandang dengan mata terbelalak ngeri. Apapun yang terjadi di luar sana, itu menyebar dari rumah ke rumah.

Rina merasa mual dan pusing mendadak. Kepalanya terasa berat. Mungkin hanya karena stres dan kurang tidur, pikirnya. Tapi ia melirik ibunya yang juga tampak sangat pucat dan memegangi kepalanya. Firasat buruk yang baru merayapinya: apakah ini hanya teror fisik, atau ada sesuatu yang lain yang mempengaruhi mereka? Sesuatu yang mungkin sudah masuk, bukan hanya ke dalam rumah, tapi ke dalam diri mereka?

Suara benturan di pintu belakang lantai bawah berhenti. Namun keheningan itu segera digantikan oleh suara gesekan berat yang kini terdengar di… dinding ruang tamu, seolah makhluk itu kini mencoba merobek dinding untuk masuk. Rumah mereka tidak lagi aman. Benteng mereka sedang runtuh dari berbagai sisi.

Doni menahan napas, mengarahkan cahaya senter dari ponsel ayahnya lurus ke arah kisi-kisi ventilasi udara di langit-langit dapur. Debu halus masih berjatuhan dari sela-selanya, dan suara gesekan halus dari baliknya kini terdengar lebih jelas, lebih dekat. Seperti ada sesuatu yang kering dan bersisik merayap pelan di dalam saluran udara sempit itu. Ayah Doni berdiri kaku di sampingnya, wajahnya pucat pasi menatap ventilasi itu, lalu pada lendir hitam kehijauan yang masih sedikit menggenang di lubang wastafel.

"Apa itu, Don?" bisik ayahnya, suaranya serak.

"Aku tidak tahu, Yah," jawab Doni pelan, matanya tak lepas dari ventilasi. "Tapi itu bukan tikus biasa."

Tiba-tiba, kisi-kisi plastik putih itu tampak sedikit melengkung ke bawah, seolah ada beban ringan menekannya dari atas. Lalu suara gesekan itu bergerak menjauh, merambat di sepanjang langit-langit, menuju ke arah ruang tamu tempat ibu dan adiknya berada.

"Dia bergerak!" seru Doni tertahan. Ia dan ayahnya bergegas kembali ke ruang tamu. Ibunya dan Maya tampak semakin ketakutan, mendongak ke arah langit-langit.

"Suaranya… suaranya ada di atas kita!" isak Maya sambil memeluk ibunya lebih erat.

Suara gesekan itu kini terdengar jelas bergerak di atas plafon ruang tamu. Pelan, tapi terus menerus. Doni mengamati sekeliling ruangan dengan panik. Rumah mereka, tempat yang seharusnya paling aman, kini terasa seperti perangkap. Ancaman tidak hanya di luar, tapi juga di dalam dinding, di atas langit-langit. Bagaimana bisa?

Otak teknisnya mulai bekerja lagi, mencoba mencari penjelasan rasional di tengah kepanikannya. Mungkinkah makhluk itu masuk melalui saluran pembuangan air (seperti lendir di wastafel tadi) lalu merambat naik ke dalam struktur rumah? Atau mungkin ada celah lain? Retakan di pondasi? Ventilasi luar? Ia mencoba mengingat-ingat denah rumah mereka.

Ia menyapu cahaya senter ke seluruh penjuru ruangan, mencari tanda-tanda lain. Di sudut dekat rak buku, ia melihat sesuatu yang aneh. Ada lubang kecil di dinding dekat lantai, di sambungan antara dinding dan plint kayu, yang seingatnya tidak ada di sana sebelumnya. Lubang itu tidak rapi, seperti digerogoti sesuatu dari dalam. Dan di sekitarnya, ada jejak samar lendir kehijauan yang hampir kering.

"Yah, lihat ini!" panggil Doni pelan, menunjuk lubang itu.

Ayahnya mendekat dan berjongkok memeriksanya. "Bekas apa ini? Rayap?"

"Bukan, Yah. Lihat lendirnya. Sama seperti yang di wastafel," kata Doni. Sesuatu telah masuk atau keluar lewat lubang ini. Sesuatu yang kecil? Atau mungkin ini hanya jejak dari makhluk yang lebih besar?

Sementara mereka memeriksa lubang itu, suara gesekan di langit-langit berhenti tepat di atas tengah ruangan. Keheningan sesaat. Lalu terdengar bunyi 'krek' pelan dari plafon gipsum itu. Mereka semua mendongak ngeri.

Sebuah retakan halus muncul di plafon, lalu melebar sedikit. Dari celah retakan itu, sesuatu yang hitam, tipis, dan bergetar seperti antena serangga atau mungkin ujung kaki yang bersegmen muncul sesaat, bergerak-gerak seperti mencari pegangan, lalu cepat-cepat ditarik kembali ke dalam kegelapan di atas plafon.

Ibunya menjerit tertahan. Maya menangis keras. Bahkan ayah Doni pun mundur selangkah dengan wajah ngeri.

"Dia… dia ada di atas plafon!" kata ayahnya tak percaya.

Kini jelas sudah. Rumah mereka telah disusupi. Bukan hanya dikepung dari luar, tapi juga diinvasi dari dalam. Makhluk itu, atau mungkin jenis lain yang lebih kecil, bergerak bebas di dalam struktur rumah mereka. Mereka tidak lagi aman di ruangan manapun. Ketakutan Doni mencapai level baru. Teknologi lumpuh, komunikasi mati, dan kini monster merayap di dinding dan langit-langit rumahnya sendiri.

Di kamar tidur utama lantai dua rumah Bima, suara benturan di pintu yang dibarikade lemari pakaian semakin keras dan brutal. *DHUARR! DHUARR!* Setiap hantaman membuat lemari kayu jati yang berat itu bergeser sedikit demi sedikit di lantai parket. Debu berjatuhan dari langit-langit, plester di sekitar kusen pintu mulai retak. Terdengar suara kayu pintu yang mengerang dan mulai pecah.

"Dia mau masuk! Dia mau masuk!" jerit Rani histeris, membenamkan wajahnya di pelukan ibunya yang hanya bisa berdoa dengan mata terpejam dan air mata mengalir deras.

Citra, yang tadinya membeku di sudut, kini tampak meraih buku sketsanya lagi, pensilnya bergerak dengan kecepatan luar biasa di atas kertas, bukan lagi menggambar apa yang ia lihat, tapi seolah menuangkan teror murni dalam garis-garis kacau di bawah cahaya lampu darurat yang berkedip.

Bima tahu mereka hanya punya beberapa detik. Lemari itu tidak akan bertahan lebih lama. Pintu itu akan jebol. Ia melirik ibu dan adiknya yang meringkuk ketakutan di tepi tempat tidur, lalu pada Citra yang tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia harus melakukan sesuatu.

"Ibu, Rani, Citra! Menjauh dari pintu! Berlindung di balik tempat tidur!" teriak Bima, suaranya serak namun tegas. Ia mengangkat tongkat baseball aluminiumnya tinggi-tinggi, kedua tangannya mencengkeram erat gagangnya yang dingin. Ia berdiri menyamping di dekat pintu, siap menyambut apapun yang akan menerobos masuk. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga menyakitkan, adrenalin membanjiri tubuhnya, mempertajam inderanya namun juga membawa rasa takut yang luar biasa.

*KRAAAKKK!*

Dengan satu benturan terakhir yang memekakkan telinga, salah satu daun pintu kayu jati itu akhirnya pecah di bagian tengahnya. Potongan kayu beterbangan ke dalam ruangan. Lemari pakaian terdorong mundur beberapa senti lagi, menciptakan celah yang cukup lebar.

Dari celah gelap itu, bagian depan makhluk cacing raksasa itu mulai memaksa masuk. Kepala bulatnya yang pucat dan berlendir muncul lebih dulu, bergerak naik turun perlahan seolah 'mencium' udara di dalam kamar. Tidak ada mata, tidak ada hidung, hanya permukaan basah yang mengerikan. Bau anyir yang sangat kuat langsung memenuhi ruangan, membuat Bima ingin muntah. Lendir kehijauan menetes dari tubuhnya ke lantai parket.

Makhluk itu mendorong lemari pakaian lebih jauh dengan kekuatan luar biasa, menciptakan ruang yang cukup bagi sebagian besar tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar. Ukurannya benar-benar mengerikan dari dekat, tubuhnya yang putih pucat dan bersegmen tampak berdenyut pelan.

Inilah saatnya. Dengan teriakan perang yang lebih mirip pekikan putus asa, Bima mengayunkan tongkat baseballnya sekuat tenaga, mengarahkannya tepat ke 'kepala' bulat makhluk itu.

*PLAKK!*

Bunyi benturan terdengar aneh, seperti memukul daging padat namun kenyal. Tongkat itu mengenai sasarannya. Kepala makhluk itu sedikit tersentak ke samping, tapi sepertinya tidak terluka parah. Tidak ada darah, hanya sedikit lendir kehijauan yang muncrat. Makhluk itu berhenti bergerak maju sesaat, seolah kaget atau bingung oleh serangan itu.

Namun, jeda itu hanya sesaat. Bagian depan makhluk itu tiba-tiba membuka, memperlihatkan bukan mulut seperti yang Bima duga, tapi lubang menganga yang dikelilingi tentakel-tentakel kecil berwarna merah muda yang berdenyut dan bergerak-gerak seperti cacing-cacing kecil. Lubang itu mengeluarkan suara desisan rendah yang basah.

Sebelum Bima sempat mengayunkan tongkatnya lagi, salah satu tentakel itu melesat keluar dengan kecepatan kilat, melilit tongkat baseball di tangan Bima. Kekuatannya luar biasa. Bima berusaha mempertahankan pegangannya, tapi tentakel itu menarik begitu kuat hingga tongkat itu terlepas dari genggamannya, terlempar ke sudut ruangan.

Bima kini tak bersenjata, berdiri berhadapan langsung dengan monster dari perut bumi itu di dalam kamarnya sendiri. Makhluk itu mulai bergerak maju lagi, lubang menganga bertentakel itu kini mengarah padanya. Di belakangnya, ia mendengar jeritan panik ibu dan adiknya. Pertarungan untuk bertahan hidup di ruang sempit itu baru saja dimulai, dan ia sudah kehilangan senjatanya.