Setelah kejadian serangan bandit, Guru Chen semakin memperketat pelatihan mereka. Dia tahu bahwa dunia luar semakin berbahaya, terutama dengan munculnya kelompok bandit yang mencurigakan itu. Tianho dan Li Feng kini berlatih dengan lebih serius, memadukan kekuatan dan kelenturan dalam teknik mereka.
Pada suatu pagi yang berkabut, Guru Chen mengajak keduanya menuju sebuah lembah terpencil. Tempat itu penuh dengan batu besar yang berserakan dan energi aneh yang terasa berat. Di tengah lembah, terdapat sebuah altar kuno yang tertutup lumut.
"Inilah Lembah Jiwa Bergolak," kata Guru Chen dengan suara berat. "Dulu tempat ini digunakan para kultivator untuk menguji ketangguhan jiwa mereka. Kalian berdua akan masuk dan menghadapi ilusi yang diciptakan oleh energi jiwa di sana. Jika tidak cukup kuat, kalian bisa tersesat selamanya."
Tianho dan Li Feng saling pandang, lalu mengangguk mantap. Tanpa ragu, mereka melangkah menuju altar. Begitu sampai di tengah altar, kabut tebal menyelimuti mereka. Dunia di sekitar berubah, dan Tianho mendapati dirinya berada di desa lamanya. Suara tawa dan kehangatan keluarganya terdengar jelas. Namun, ada sesuatu yang aneh—semua orang menatapnya dengan mata kosong, seakan-akan mereka bukan manusia.
"Tianho, kenapa kau meninggalkan kami?" suara ibunya menggema, namun wajahnya berubah menjadi menyeramkan. Tianho mundur selangkah, merasa takut dan bingung.
Di sisi lain, Li Feng terjebak dalam ilusi serupa—dia melihat adik perempuannya yang terbaring sakit, memohon bantuannya. Rasa bersalah melingkupi hatinya, membuatnya merasa tak berguna.
Namun, Tianho mulai menyadari bahwa ini hanyalah ilusi. Mengingat ajaran Guru Chen, ia memusatkan pikirannya, menguatkan tekadnya. "Aku meninggalkan desa untuk menjadi kuat! Aku tidak boleh terjebak masa lalu!" teriaknya dengan lantang. Seketika, bayangan itu memudar, dan ia kembali ke altar.
Sementara itu, Li Feng masih terjebak dalam perasaan bersalahnya. Namun, ketika teringat kata-kata Tianho tentang kekuatan hati, ia menggertakkan gigi dan berteriak, "Aku akan menjadi kuat untuk melindungi!" Ilusi itu hancur, dan Li Feng pun kembali.
Guru Chen menatap mereka dengan puas. "Ujian ini bukan tentang kekuatan fisik, tapi ketangguhan jiwa. Kalian berhasil melaluinya. Dunia ini penuh dengan cobaan yang menggoyahkan hati. Jika jiwa kalian tidak kuat, kalian akan hancur sebelum mencapai puncak."
Tianho dan Li Feng mengangguk. Mereka menyadari bahwa meskipun kekuatan fisik penting, kekuatan mental juga sangat diperlukan. Setelah ujian itu, mereka berlatih dengan lebih tekun, mencoba memahami keseimbangan antara hati dan tenaga.
Beberapa hari kemudian, seorang utusan dari Kota Bulan Perak datang dengan membawa kabar buruk. Bandit yang menyerang Li Feng sebelumnya ternyata bagian dari kelompok besar bernama Gerombolan Iblis Darah. Mereka merajalela, menjarah desa dan kota kecil. Utusan itu meminta bantuan pada Guru Chen, yang merupakan salah satu kultivator kuat di wilayah itu.
Guru Chen menyuruh Tianho dan Li Feng bersiap. "Ini mungkin akan menjadi pertempuran besar pertama kalian. Ingat, jangan gegabah. Lawan dengan kepala dingin dan jangan biarkan emosi menguasai kalian."
Ketika mereka tiba di Kota Bulan Perak, situasi sudah kacau. Bandit-bandit itu menyerang tanpa ampun. Guru Chen langsung terjun ke medan perang, menghancurkan barisan bandit dengan serangan energi tajam. Tianho dan Li Feng bekerja sama melawan para bandit kecil, menjaga para penduduk agar tetap aman.
Namun, dari kejauhan, seorang pria bertubuh besar dengan tato ular di wajahnya muncul. Dia adalah pemimpin Gerombolan Iblis Darah, dikenal dengan julukan Raja Ular. Melihat Guru Chen, dia tertawa sinis.
"Guru Chen, akhirnya kau muncul! Aku sudah menunggu kesempatan ini!" teriak Raja Ular, melepaskan gelombang energi beracun ke arah mereka.
Guru Chen menangkis serangan itu dengan mudah. "Kau pikir bisa mengalahkanku hanya dengan racun busuk itu? Kau terlalu sombong!" Dengan gerakan cepat, Guru Chen melancarkan Teknik Telapak Angin Murni, menghancurkan beberapa bandit sekaligus.
Namun, Raja Ular tidak gentar. Dia memanggil tiga pembantunya, masing-masing berada di tahap Akhir Penguatan Qi. Melihat mereka mendekat, Tianho dan Li Feng memutuskan membantu Guru Chen. Dengan teknik yang telah mereka pelajari, mereka melawan para pembantu Raja Ular dengan penuh semangat.
Li Feng menggunakan teknik Angin Cepat untuk mengelak dari serangan, sementara Tianho dengan tenang memanfaatkan Teknik Liku Air, mengalirkan energi Qi dengan fleksibel. Setelah pertempuran sengit, mereka berhasil mengalahkan ketiga pembantu tersebut.
Melihat anak buahnya tumbang, Raja Ular mengamuk. Racun hijau menyelimuti tubuhnya, membentuk perisai berbisa. Guru Chen tidak mau membuang waktu. Dengan satu serangan mematikan, dia menghantamkan Teknik Telapak Angin Murni langsung ke dada Raja Ular, menghancurkan perisai itu dan membuat pria besar itu terjungkal.
Setelah pertempuran usai, para penduduk Kota Bulan Perak berterima kasih kepada Guru Chen dan murid-muridnya. Guru Chen hanya tersenyum tipis. "Kekuatan sejati bukan untuk menindas, tapi untuk melindungi," katanya pada Tianho dan Li Feng.
Tianho merasa lebih yakin dengan jalan yang ia pilih. Dengan pengalaman pertama dalam pertempuran besar ini, dia menyadari bahwa jalan menuju puncak kekuatan tidak hanya penuh tantangan, tapi juga tanggung jawab. Bersama Li Feng, dia bertekad melanjutkan perjalanan, mencari kekuatan yang lebih besar dan memahami arti sebenarnya dari kekuatan yang sejati.