Abigail terbangun seketika alarmnya berbunyi pada pukul delapan. Suara itu memotong tidurnya, menariknya ke dalam keadaan terjaga.
Dia berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang masuk melalui tirai. Matanya terasa berat oleh kelelahan, dan sejenak, dia tidak ingat mengapa.
Kemudian, ingatan tentang malam tadi kembali. Nafasnya terengah-engah. Sebuah getaran menjalar di tulang punggungnya saat dia menggosok lengannya, berusaha mengusir rasa dingin mendadak yang merayap di kulitnya.
Pikiran tentang Ryan yang berada di kamarnya, duduk di tempat tidurnya, menatapnya tidur—itu membuat perutnya mual. Dia merasa sakit. Kotor. Jijik.
Haruskah dia menghadapinya? Haruskah dia menuntut tahu apa yang diinginkannya? Apa yang dipikirkannya datang ke kamarnya di saat seperti itu?
Tidak.