Langkah Kei membawanya menyusuri koridor Akademi Andromeda yang ramai oleh siswa-siswi yang kini bersemangat membahas perjalanan luar angkasa.
Suara riuh rendah dan tawa bahagia mereka semakin menggarisbawahi perbedaan antara dirinya dan yang lain.
Kei menggenggam erat undangan di sakunya, kertas metalik itu terasa dingin menempel di telapak tangannya.
Ia mempercepat langkahnya, ingin segera mencapai tempat yang sunyi, tempat di mana ia bisa membenamkan diri dalam pikirannya tanpa terganggu oleh antusiasme yang tidak bisa ia bagi.
Tujuannya adalah menuju ke hanggar kecil di mana ia biasa menghabiskan waktu luangnya, mengamati pesawat-pesawat luar angkasa yang megah, sebuah ironi mengingat keputusannya untuk tidak ikut dalam perjalanan ini.
Di sana, di tengah mesin-mesin canggih dan aroma logam yang familiar, ia merasa sedikit lebih tenang, seolah beban di hatinya sedikit berkurang oleh kehadiran bisu benda-benda angkasa itu.
Sesampainya di hanggar, Kei langsung menuju ke sudut favoritnya, di mana sebuah jendela besar menampilkan pemandangan hamparan bintang yang tak berujung.
Ia mengeluarkan undangan dari sakunya, akhirnya menatapnya dengan lebih saksama.
Kilauan logamnya memantulkan cahaya redup dari dalam hanggar, menampilkan ukiran halus berbentuk rasi bintang yang familiar.
Ada secuil rasa ingin tahu yang tak bisa ia pungkiri saat menyentuh permukaannya yang dingin. Stasiun Andromeda... apa sebenarnya yang ada di sana? Namun, pikiran itu segera ia tepis lagi.
Rasa tanggung jawabnya jauh lebih besar daripada sekadar rasa ingin tahu. Ia melipat undangan itu dengan hati-hati, menyimpannya kembali ke dalam saku, seolah sedang menyimpan sebuah godaan yang harus ia lawan.
Matanya kembali menatap ke luar jendela, pada jutaan bintang yang berkelap-kelip di kegelapan.
Di tengah keindahan kosmik yang begitu luas, Kei merasa dirinya sangat kecil, namun di saat yang sama, ia juga merasa memiliki tujuan yang jelas, sebuah kompas moral yang selalu menuntunnya kembali pada kedua adik dan ibunya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat memecah kesunyian hanggar.
Kei menoleh sedikit, mendapati sosok familiar berdiri tak jauh darinya. Itu adalah Komandan Rylan, salah satu instruktur penerbangan yang paling disegani di Akademi Andromeda.
Sosoknya yang tinggi dan tegap selalu memancarkan aura otoritas dan ketenangan. Kei merasa sedikit gugup saat tatapan mata Komandan Rylan bertemu dengan matanya.
Sang komandan tidak mengatakan apa pun, hanya berjalan mendekat dengan langkah mantap. Kei menunggu dalam diam, bertanya-tanya apakah ketidakhadirannya di kelas informasi tadi sudah dilaporkan.
Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena ia tahu Komandan Rylan adalah orang yang sangat memperhatikan potensi setiap siswanya, dan Kei yakin keputusannya untuk tidak ikut pasti akan menarik perhatian sang instruktur.
Komandan Rylan akhirnya berhenti tepat di samping Kei, ikut menatap ke luar jendela pada hamparan bintang yang sama.
Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini terasa lebih berat, seolah ada pertanyaan tak terucap yang menggantung di udara.
Setelah beberapa saat yang terasa cukup panjang, Komandan Rylan akhirnya membuka suara, nadanya tenang namun penuh perhatian. "Pemandangan yang indah, bukan, Kei?" katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bintang-bintang.
"Tak terhingga... penuh potensi... sama seperti kalian, para siswa Akademi Andromeda." Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan,
"Saya mendengar tentang perjalanan ke Stasiun Andromeda. Sebuah kesempatan yang luar biasa untuk mengasah kemampuan kalian di lingkungan yang sesungguhnya." Kali ini, ia menoleh sedikit ke arah Kei, sorot matanya lembut namun menusuk.
"Saya tidak melihat namamu dalam daftar siswa yang memberikan konfirmasi keikutsertaan. Apa ada alasan tertentu, Kei?"
Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada yang tidak menghakimi, namun mengandung keingintahuan yang mendalam, seolah Komandan Rylan sudah memiliki ekspektasi tertentu terhadap Kei.
Kei menelan ludah, berusaha mempertahankan ekspresi datarnya meskipun jantungnya sedikit berdebar di bawah tatapan Komandan Rylan. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sebuah gestur gugup yang jarang ia tunjukkan.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya menjawab dengan nada datar, mencoba menyelipkan sedikit humor yang terasa dipaksakan, "Yah, Komandan... mungkin saya alergi luar angkasa? Atau mungkin... saya lebih suka pemandangan bintang dari jendela yang aman dan nyaman ini. Lebih sedikit potensi tersesat di antara planet-planet, Anda tahu?" Ia memberikan senyum tipis yang jelas tidak tulus, berharap Komandan Rylan akan menganggapnya sebagai lelucon dan tidak bertanya lebih lanjut.
Namun, tatapan mata sang instruktur tetap tertuju padanya, tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda terhibur.
Keheningan kembali menyelimuti mereka, kali ini terasa lebih canggung dan penuh pertanyaan yang tak terucapkan. Kei bisa merasakan bahwa Komandan Rylan tidak akan semudah itu menerima jawaban basa-basinya.
Komandan Rylan menatap Kei beberapa saat tanpa berkedip, membuat Kei semakin tidak nyaman dengan "humor"-nya yang gagal total.
Akhirnya, sudut bibir sang instruktur bergerak sedikit, bukan membentuk senyuman tulus, melainkan sebuah indikasi bahwa ia sedang menahan diri untuk tidak menghela napas.
"Alergi luar angkasa, Kei? Itu alasan yang... menarik," komentarnya dengan nada datar yang justru membuat Kei merasa semakin bersalah karena mencoba bersikap tidak serius.
"Namun, saya yakin itu bukan alasan sebenarnya. Anda memiliki potensi yang luar biasa, Kei. Bakat alami dalam navigasi dan pemahaman tentang sistem bintang. Saya melihatnya dalam setiap simulasi yang Anda ikuti." Komandan Rylan mengalihkan pandangannya kembali ke jendela, namun suaranya tetap tertuju pada Kei.
"Perjalanan ke Stasiun Andromeda ini dirancang untuk menguji dan mengembangkan potensi itu lebih jauh. Ini bukan sekadar rekreasi melihat bintang."
Kemudian Komandan Rylan berbalik sepenuhnya menghadap Kei, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius namun tetap lembut.
"Saya tahu Anda memiliki tanggung jawab di rumah, Kei. Saya tidak akan berpura-pura tidak mengetahuinya. Akademi ini memperhatikan setiap siswanya. Namun, terkadang, untuk dapat membantu orang yang kita sayangi dengan lebih baik, kita perlu mengembangkan diri kita terlebih dahulu. Perjalanan ini... mungkin bisa menjadi langkah awal untuk itu. Bukan hanya untuk mengasah kemampuanmu, tapi juga untuk melihat dunia yang lebih luas, mendapatkan perspektif baru." Ia berhenti sejenak, memberikan waktu agar kata-katanya meresap.
"Pikirkanlah baik-baik, Kei. Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Dan potensi yang kamu miliki... sayang jika disia-siakan hanya karena rasa ragu atau... alasan 'alergi luar angkasa' yang tidak masuk akal itu." Ada sedikit nada menggoda di akhir kalimatnya, namun tetap terasa tulus.
Saat itu juga Komandan Rylan menepuk bahu Kei pelan sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Kei Sendirian dengan pikirannya yang kini terasa semakin berkecamuk.
Tatapan mata Kei perlahan mengikuti punggung Komandan Rylan yang menjauh, kata-kata sang instruktur masih bergema di benaknya.
Sesuatu dalam nada bicara dan perhatian tulus itu berhasil menggoyahkan pertahanannya yang semula kokoh.
Sebuah benih minat yang sempat terkubur kini kembali menyembul ke permukaan, dihangatkan oleh harapan samar akan sebuah perubahan.
Kesempatan untuk mengembangkan diri... perspektif baru... membantu orang yang kusayangi... bisik batinnya, mengulang-ulang frasa yang diucapkan Komandan Rylan.
Ia kembali menatap hamparan bintang di luar jendela, yang kini tampak tidak lagi mengancam, melainkan menyimpan janji petualangan dan pengetahuan yang tak terhingga.
Untuk pertama kalinya sejak menerima undangan itu, Kei tidak langsung menepis pikiran untuk ikut. Sebuah pertanyaan mulai berputar di benaknya, lebih lembut dan penuh harap dari sebelumnya: Mungkinkah... ini benar-benar bisa menjadi kesempatan bagiku...?