welcome to celvarith novel
.
.
.
Happy reading
Langit Celvarith tampak gelap meski belum senja. Kabut menggulung pelan dari arah utara, seolah hendak menutupi megahnya istana Raventhal yang menjulang bisu di atas bukit.
Pangeran Kuang Yi Raventhal berdiri di balkon tertinggi, mengenakan jubah malam berwarna obsidian. Angin menerpa rambut hitam legamnya, matanya tajam menatap kejauhan. Di tangannya, selembar surat tak bersegel telah kusut oleh genggamannya.
"Pernikahan akan dilangsungkan sepekan lagi," katanya pelan, seolah mengulang kalimat yang tertulis di surat itu. Suaranya hambar dan Kering, Penuh beban yang tidak ingin ia bawa. Seorang pelayan tua melangkah ragu ke arahnya.
"Paduka... malam ini Raja menunggu Anda di ruang takhta. Seluruh dewan telah hadir"Kuang Yi tidak menoleh
"Mereka bisa menunggu. Atau bubar sekalian."
"Paduka..."
"Keluar."
Pelayan itu membungkuk buru-buru dan pergi. Suasana kembali sepi, hanya denting jarum jam tua di dinding terdengar menyayat keheningan. Kuang Yi meremas surat itu dan menghempaskannya ke udara
Pertunangan politik, takhta penuh darah, dan sihir dalam nadinya yang terus membisik. Semua ini membuatnya muak.
Dari balik tirai malam, suara lirih mulai terdengar dalam benaknya suara itu lagi.
"Kuang Yi ... lepaskan kendalimu , biarkan aku yang memimpin"
"Aku bukan boneka!" Ia menggeram. Cahaya gelap menyala sesaat dari iris matanya sebelum ia menutupnya erat-erat.
Ia tak bisa tinggal di sini lebih lama. Tidak dengan suara itu. Tidak dengan cincin pertunangan yang tak ia inginkan. Tidak dengan darah yang mulai berubah sejak malam itu di hutan Duskmoor.
Malam itu, ia berkemas diam-diam. Mengambil pakaian rakyat jelata, menyembunyikan wajahnya di balik kerudung sederhana. Ia menuruni lorong-lorong rahasia yang hanya diketahui oleh keturunan Raventhal. Lorong yang dulu ibunya sebelum mati dibakar atas tuduhan sihir tunjukkan padanya.
Sebelum pergi, ia menyelinap ke ruang ibunya. Di dalamnya, hanya tinggal debu dan botol kaca tua yang belum pecah.
Ia mengambil salah satunya parfum beraroma melati hitam. Aroma terakhir yang ibunya kenakan saat terbakar di tengah lapangan istana.
“Maaf, Ibu,” katanya lirih
“Aku harus pergi. Mungkin aku akan kembali atau tidak sama sekali.”
Langit Celvarith tak tahu malam itu kehilangan penerusnya.
Di kejauhan, ribuan lentera pasar kota Elowin mulai menyala. Di sanalah ia akan menyembunyikan namanya. Di sanalah... takdir yang berbeda akan menunggunya.
Tanpa mahkota, tanpa gelar, tanpa nama Raventhal.
tapi , mungkinkah ia benar benar bisa lari dari darhnya ?
.
.
.
Langkah-langkahnya bergema pelan di lorong bawah tanah yang lembap. Dinding batu tua penuh lumut, dan cahaya dari obor yang ia bawa menari di sela-sela retakan zaman. Lorong ini dibangun ratusan tahun lalu, konon oleh tangan bangsawan pertama Celvarith yang menyembunyikan jalur rahasia untuk kabur dari kudeta.
Ironis. Kini digunakan oleh darah keturunan terakhirnya... untuk kabur dari takhta itu sendiri.
Kuang Yi menarik napas panjang. Nafasnya berat, seolah paru-parunya menolak kehidupan istana sejak awal.
"Semakin aku hidup di sana, semakin aku merasa mati."
Ia berhenti sejenak, menatap jari-jarinya yang pucat.
"Sihir ini... darah ini, akan menghancurkan siapa pun di sekitarku."
Ia melanjutkan langkah, menolak kenangan yang menyerbu suara ayahnya yang menggelegar di ruang takhta, suara menteri-menteri menjajakan calon istri, dan yang paling membuatnya membeku. wajah gadis muda yang ditunangkan padanya. Gadis yang bahkan tak tahu apa itu cinta, hanya sekadar alat politik.
“Aku bukan barang dagang.” Kuang Yi mengepalkan tangan
Lorong berakhir di balik pohon tua yang tumbuh tak jauh dari tembok istana luar. Ia melangkah keluar, udara malam menyambutnya. Dingin menusuk, tapi ia tak peduli.
Ia berjalan. Terus berjalan. Meninggalkan segala gelar dan kehormatan yang bahkan tak pernah benar-benar ia inginkan. Di pundaknya, hanya satu tas kulit berisi dua baju lusuh, sebotol parfum peninggalan ibu, dan belati kecil peninggalan masa pelatihan militer.
Celvarith perlahan menjauh.
Beberapa jam kemudian...
Di tengah jalanan bebatuan, Kuang Yi duduk sejenak di bawah pohon pinus tinggi. Langit cerah, dan bintang-bintang terlihat jelas.
Ia memandangnya lama, lalu berkata sendiri,
"Apakah bintang-bintang juga muak menjadi saksi penderitaan manusia?"
Angin malam berembus. Tiba-tiba, dari arah timur, muncul kereta kuda. Ia segera menarik kerudungnya, menunduk.
Kereta itu berhenti.
“Oi, kau!” suara tua berseru. Seorang pria bertubuh gemuk dengan jubah pedagang keluar
“Kau tersesat?” Kuang Yi mengangguk pelan
“Aku... hanya musafir.” pria itu memicingkan matanya dan melihat kuang yi dari atas hingga bawah
“Sendirian malam-malam begini? Gila atau bodoh?”Kuang Yi yang mendengar tersebut menahan senyum sinis
"Mungkin keduanya.” ucap kuang yi sedangkan sanh Pedagang itupun tertawa
“Naiklah kalau kau mau. Aku ke arah Elowin. Pasar rakyat paling ramai besok pagi.”
“Elowin?” Kuang Yi mengangguk pelan
“Aku ikut.”
Kereta berderit, dan perjalanan pun berlanjut. Kuang Yi memandang bayangan dirinya di kaca kusam kereta, lalu berbisik:
“Mulai malam ini... aku bukan Pangeran Kuang Yi Raventhal.”
“Kalau bukan pangeran, kau siapa?” tanya si pedagang, heran mendengar bisikannya. Kuang Yi tersenyum tipis
“Hanya seorang pria... yang ingin hidup tanpa menanggung darah siapa pun.”
Mereka melaju di jalan gelap, tanpa tahu bahwa di Elowin nanti... sebuah aroma akan mengubah segalanya.
Aroma yang membawa petaka.
Aroma dari seorang gadis bernama Maya Elvaria Veylara ,dan dari sinilah takdir yang kejam itu.
Kereta yang ia tunggani berhenti dengan perlahan di sebuah pasar kecil yang ramai. Lampu lentera berkelap-kelip, dan aroma rempah serta buah segar mengisi udara malam.
Kuang Yi turun, menghela napas dalam-dalam, mencoba merasakan kenyataan yang baru: dia benar-benar jauh dari istana yang megah, jauh dari semua aturan dan harapan yang mengekangnya.
Suara ramai pedagang dan tawa anak-anak mengisi telinganya. Ini bukan tempat yang sempurna, tapi setidaknya ia merasa bebas.
Sambil menarik kerudungnya agak ke bawah agar tak mencolok, ia berjalan menyusuri jalan batu yang dipenuhi tenda-tenda warna-warni.
Seorang wanita paruh baya dengan apron berwarna coklat memperhatikannya.
“Hai, anak muda! Dari mana kau datang? Kau tampak seperti orang kota besar yang tersesat,” katanya dengan suara ramah.
Kuang Yi tersenyum kecil, mencoba membalas dengan suara serak
“Dari jauh, Bu... Aku mencari sesuatu tentang kedamaian.” Wanita itu mengernyit, lalu tertawa kecil
“Kedamaian? Di Elowin? Hah, kau lucu. Tapi ada banyak hal yang bisa kau cari di sini, kalau kau tahu di mana mencarinya.”
Kuang Yi menatap ke sekeliling, matanya menyapu ke arah tenda yang menjual aneka rempah dan parfum. Bau harum dari beberapa botol parfum menguar halus.
Satu aroma menangkap perhatian. Lembut, menenangkan, tapi sekaligus misterius. Aroma yang mengusik sesuatu dalam dirinya yang gelap.
Saat ia mendekat ke tenda itu, seorang gadis muda sedang menyusun botol-botol kecil berisi cairan berwarna-warni.
Maya mata gadis itu yang tajam tapi hangat mengangkat kepala, memperhatikan tamu tak diundang yang menatap botol parfum di mejanya.
“Ada yang bisa aku bantu?” suara Maya halus tapi penuh percaya diri. Kuang Yi menelan ludah dan ia merasa gugup
“Aku... hanya ingin tahu, apa ini?”Maya tersenyum ramah saat kuangyi bertanya
“Ini parfum buatan keluarga. Aroma bunga malam, sangat cocok untuk menenangkan pikiran.”
Kuang Yi menghirup perlahan aroma parfum itu, merasakan getaran aneh yang sulit dijelaskan.
“Bisa jadi yang aku cari selama ini.” Maya dari tadi memperhatikan ekspresi Kuang Yi
“Kalau begitu, kau mungkin butuh lebih dari sekadar parfum. Kadang, apa yang kita cari bukan hanya ada di luar, tapi juga di dalam.”
Kuang Yi termenung, menatap mata Maya yang seolah membaca luka dalam dirinya.
Malam itu, di tengah keramaian Elowin, dua jiwa yang tak sengaja bertemu mulai menganyam benang takdir yang rumit.
Namun, di balik aroma harum dan senyum hangat, bayangan gelap masa lalu dan sihir kuno mengintai.
Dan tak satu pun dari mereka tahu... bahwa aroma itu, bukan sekadar parfum—melainkan segel kutukan yang akan membuka kembali sejarah paling kelam Raventhal.