Wanita yang tengah menikmati koktail sendirian, di depan meja bar itu, mungkin tidak menyadari bahwa selisih tujuh kursi di samping kanan ada seorang pria yang juga duduk sembari menyesap bir dari gelas yang dingin.
Pria itu begitu tenang. Berbanding terbalik dari keramaian di sekitar. Sebenarnya ia tidak cocok dengan suasana ini. Ia hanya datang memenuhi undangan rekan bisnis. Ia berpikir akan pulang setelah sejam di sini.
Sorot tajam dari kedua mata di balik topeng berwarna perak, sesekali melirik ke samping. Pandangannya tertarik pada seorang wanita yang tampak tak nyaman di dalam keramaian ini. Ia menelisik setiap gerakan wanita itu. Kadang menarik turun ujung bawah gaun pendeknya, kadang juga menarik naik ujung atas gaunnya. Berusaha menutupi bagian paha dan dada yang mulai tersingkap.
Perhatian pria itu beralih saat seorang rekan bisnis tiba-tiba duduk di kursi samping. Ia merasa kecewa singkat. Kemudian ia mengangkat gelas yang tergenggam tangannya yang kokoh. Ia menyesap untuk membuyarkan rasa penasaran itu.
"Hai, Leo! Kupikir kamu berbohong soal kedatanganmu kemari," sambut Bima, sembari menepuk punggung pria yang ia sebut Leo.
"Aku hanya meluangkan sedikit waktu," sahut Leo.
"Kamu biasanya benci keramaian. Sekarang bagaimana?" tanya Bima. Ia menyenggol bahu kekar Leo dengan lengannya. "Keramaian itu sangat menyenangkan, kan? Ada banyak wanita seksi dan kamu hanya perlu memilih." Ia mengerlingkan sebelah mata.
Leo menghela napas. Kepalanya bergeleng-geleng pelan. Ia menyesap birnya lagi. Kemudian berkata, "Aku akan pulang setelah ini."
Raut Bima berubah kecewa. "Kita memang enggak sefrekuensi kalau soal wanita," ujarnya.
Leo bangun. Ia merapikan tuksedo hitam elegan yang membalut tubuh kekarnya. Kemudian ia menoleh ke Bima. "Kamu bisa fokus cari wanita sebanyak-banyaknya malam ini. Dan aku akan fokus menumpuk uangku," katanya. Ia pun pamit pulang.
Langkah Leo terhenti ketika pandangannya menangkap sosok wanita yang ia perhatikan sebelumnya.Raut di wajah wanita itu menggambarkan ketakutan. Wanita itu tampak tak nyaman dengan seorang pria di sebelahnya.
Sebenarnya Leo enggan terlibat dengan orang asing, apalagi wanita. Namun, pikirannya terusik. Ia tidak nyaman mengetahui pelecehan di tempat umum.
"Ini bukan untuk orang lain. Tapi, ini untukku. Agar aku bisa tidur tenang malam ini," gumam Leo, membujuk dirinya sendiri.
Langkah Leo berbelok, memasuki keramaian, lalu terhenti di depan wanita itu. Wanita itu tampak terkejut dengan kehadiran Leo tiba-tiba.
Leo melepaskan jas hitam yang membalut tubuhnya. Kemudian ia memasangkan jas itu ke pundak si wanita, untuk menutupi bagian tubuh yang terbuka. Tangan kekarnya melingkari pinggul wanita itu. Memberikan dorongan sedikit agar lebih dekat dengannya.
Dengan gayanya yang cool, Leo berkata, "Dia milikku malam ini." Kemudian sorot matanya menjadi tajam, seolah mengintimidasi. Ia menambahkan, "Jangan mengusik apa yang menjadi milikku."
"Aku enggak tahu. Kupikir dia sendirian tadi," ujar pria mesum itu. Kemudian ia pergi dengan diliputi rasa kesal.
Leo menoleh ke samping. Pandangannya menabrak tatapan wanita yang terpaku ke arahnya. Sejenak mereka terbawa suasana.
Leo cepat sadar. Ia melepaskan pelukannya. Kemudian ia melangkah pergi untuk keluar dari keramaian itu.
Entah kenapa, Leo merasa kesal malam ini. Ia berjalan di pesisir pantai untuk menenangkan pikiran. Di pesisir pantai tak terlalu ramai. Karena semua orang telah menjadi bagian dari keramaian pesta itu.
Tunggu, tunggu--
Leo merasa ada sesuatu yang aneh. Langkahnya terhenti. Ia menoleh. Ternyata wanita itu masih di belakangnya. Wanita itu berdiri diam dengan mulut tertutup rapat.
Leo tidak mau menyimpulkan sesuatu yang belum pasti. Ia mengembalikan perhatiannya ke depan lagi. Langkahnya mulai maju.
Setelah sepuluh kali melangkah, perasaan aneh itu belum hilang. Langkah Leo terhenti lagi. Ia kembali menoleh. Ternyata wanita itu masih di belakangnya dengan jarak yang tak berubah.
Leo pun bertanya, "Kamu mengikutiku?"
Wanita itu tersenyum sembari menganggukkan kepala.
Alis Leo bertautan. Kedua matanya menyipit. Ia kembali bertanya, "Buat apa kamu mengikutiku?" Ia keheranan.
Wanita itu sedikit berlari sehingga berada tepat di depan Leo. "Aku enggak punya teman di sana," jawabnya.
"Dan aku enggak tertarik buat jadi temanmu," sahut Leo sinis.
"Aku enggak nyaman di pesta itu. Kamu kan tahu sendiri aku juga enggak aman di sana," ujar wanita itu.
"Terus, kamu merasa aman sama aku?" tanya Leo.
Wanita itu menganggukkan kepala dengan antusias.
"Hei! Kamu sadar, gak, sih? Aku pria juga! Aku punya naluri dewasa yang sama seperti para bajingan itu!" tegas Leo.
"Tapi, kamu bisa kontrol itu. Aku percaya kamu orang baik. Kamu sudah menolongku. Bahkan, kamu memperlakukanku dengan sopan." Wanita itu malah membela Leo.
Leo menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan. Kemudian ia membalikkan arahnya ke depan. Ia mulai berjalan dan berusaha untuk tidak menggubris wanita lugu itu.
Sayangnya, tidak bisa! Leo sudah menahan diri, tetapi ia tidak bisa bersikap tidak acuh pada wanita itu. Ia pun menghentikan langkah dan berbalik tiba-tiba. Karena gerakannya mendadak, wajah wanita itu menabrak dadanya.
"Oh, maaf, maaf. Aku enggak sengaja," pinta wanita itu. Kemudian mundur selangkah.
"Kamu tuh kalau enggak suka pakai pakaian terbuka gini, enggak usah maksa. Setiap wanita cantik dengan caranya masing-masing," omel Leo. Ia mengeluarkan seluruh amarah yang memenuhi dada.
Wanita itu malah tertawa sehingga Leo menjadi heran.
"Kenapa?" tanya Leo kasar.
"Tuh kan, kamu memang orang baik," jawab wanita itu.
Seketika amarah pada diri Leo lenyap. Ia merasa putus asa. Akhirnya, Leo memutuskan untuk berhenti berjalan. Ia duduk menghadap ombak kecil pantai yang menari di tengah malam.
Wanita itu ikut, ia duduk di samping Leo.
"Kenapa kamu datang ke pesta kalau kamu enggak nyaman? Bukannya lebih menyenangkan berkeliling sama pacarmu?" tanya Leo.
"Aku baru putus sama pacarku. Dia mutusin aku karena aku sibuk bekerja terus. Sebenarnya aku datang ke sini karena aku enggak punya tempat menginap malam ini. Aku tinggal bersama temanku. Tapi, dia malah membawa pacarnya ke rumah dan menyuruhku menginap di luar," jawab wanita itu.
"Mencari tempat penginapan kalau sekarang memang susah dan mahal," ujar Leo.
"Kamu sendiri kenapa enggak sama pacarmu? Malah menyendiri di tepi pantai." Wanita itu balik bertanya.
"Aku enggak punya pacar," jawab Leo.
"Lho, kenapa?" Wanita itu terkejut. Ia merasa tidak terima. "Kamu kelihatannya seperti pria yang keren. Seharusnya banyak wanita yang suka sama kamu."
"Aku enggak percaya sama cinta," ujar Leo.
"Memangnya orang pacaran butuh cinta?" tanya wanita itu.
Leo menoleh. "Maksudmu?" tanyanya.
"Kadang kita bisa juga pacaran sama orang yang sefrekuensi sama kita," jawab wanita itu.