11. Kesenjangan Hubungan

Mika melangkah menuju ruang makan dengan wajah malu-malu. Ia mengenakan gaun biru muda yang panjangnya di bawah lutut, bermotif bunga, dan berlengan panjang. Rambutnya tergerai. Riasannya tipis karena ia tidak terlalu pandai berdandan.

Sesampainya di ruang makan, rupanya hanya ada Leo. Mika pun duduk di salah satu kursi.

"Sebentar, ya. Kita tunggu Sandi," kata Leo.

Mika menunduk, sesekali mencuri pandang ke arah Leo. Leo masih mengenakan celana olahraga yang dipadukan kaus oblong. Kaus itu tidak menghalangi bentuk otot lengan Leo yang tampak jelas dari luar.

Umur empat puluh, tapi masih seganteng ini. Letak aki-akinya ada di mana coba? batin Mika.

Bu ART datang mendekat. "Tuan Sandi enggak mau turun, Pak. Katanya, mau makan di luar saja."

"Oh, baiklah. Kalau gitu, kami makan duluan," sahut Leo.

Hore! Yes! batin Mika malah kegirangan. Mika menarik tangannya yang mengepal di bawah meja. Aku makan berduaan sama Leo!

"Maaf, ya. Sandi memang begitu orangnya. Dia agak cuek ke sekitar. Tapi, dia anaknya baik, kok," kata Leo membela sang putra.

Baik dari mana? Anakmu adalah orang yang paling menyebalkan di dunia! batin Mika sebal.

"Enggak papa kok, Om. Nanti aku samperin dia," jawab Mika dengan penuh soft spoken. Ia benar-benar menjaga image.

Mereka memulai makan dengan tenang. Sampai datanglah Sandi yang hendak mengambil air minum di sana.

"Kamu kok ada di sini?" tanya Sandi. Ia terperanjat.

Sandi urung mengambil air minum. Ia mendekati Mika lalu menoleh bergantian ke Leo dan Mika. "Kenapa kalian berduaan di sini? Apa jangan-jangan ..., kamu gundik orang itu, ya?" Telunjuknya mengarah ke Leo.

"Jaga ucapanmu Sandi! Dia itu temanmu! Mana mungkin aku melakukan hubungan macam-macam dengannya!" tegas Leo.

Seketika Mika merasa lesu. Ia seperti ditolak sebelum mengungkapkan perasaannya.

"Yaaa mana aku tahu? Wanita ini selalu memakai celana jeans dan kaus pendek. Tiba-tiba dia pakai gaun dan berdandan seperti ini!" Kini, Sandi mengarahkan telunjuknya ke Mika.

Mika menyipitkan mata sembari melirik ke arah Sandi. "Kenapa? Memangnya aku enggak boleh jadi cantik?"

"Sebenarnya kamu tuh sudah cantik. Tapi, pakai gaun begini dan dandan, jadi kelihatan aneh!"

Seketika rasa percaya diri Mika runtuh. "Apa seburuk itu?" Ia panik.

Sandi menganggukkan kepala. "Parah. Sebaiknya kamu enggak usah pakai gaun-gaun seperti ini lagi."

Kepala Leo bergeleng-geleng. Ia pusing karena perilaku Sandi.

"Sandi. Itu gaun yang diberikan Bu Mayang untuk pakaian ganti temanmu." Leo menyebut nama ART itu. "Dia kemarin malam kemari untuk mencarimu. Tapi, karena kamu enggak pulang-pulang, dia ketiduran di rumah ini."

"Apa?" Sandi terperanjat.

"Dan Mika ..., kamu enggak usah dengerin omongan Sandi. Kamu cantik, kok. Cantik banget malahan. Sandi cuma usil," Leo menambahkan.

Pipi Mika bersemu merah. Kata cantik yang keluar dari mulut Leo terdengar secandu itu.

Tiba-tiba Sandi memegang kedua pipi Mika lalu menarik sehingga memandang ke arahnya.

"Kenapa kamu mencariku ke sini? Dan kenapa enggak mengabariku?" tanya Sandi.

Mati aku! batin Mika. Ia kebingungan. Bodohnya Mika, sepanjang malam malah sibuk makan dan tidur. Ia bahkan tidak memikirkan alibi datang kemari.

"Kalau kamu mengabariku, aku pasti langsung pulang kemarin," Sandi menambahkan.

"Sebenarnya aku sudah meminta Bu Mayang untuk menghubungi mu. Tapi, ternyata dia lupa," sahut Leo.

Mika menganggukkan kepala. "Benar. Aku mendengar papamu menyuruh Bu ART itu untuk menghubungimu. Makanya, aku menunggumu sampai ketiduran."

"Memangnya untuk apa kamu mencariku?" tanya Sandi.

"Sandi. Bisakah kita bicara nanti saja? Aku belum selesai makan." Mika menunjuk sendok dan garpu dengan arah bola matanya.

Sandi tersadar kalau ia mengacaukan acara makan pagi itu. "Oh, iya." Ia berjalan memutari kursi Mika lalu menarik kursi di samping Mika. Ia turut duduk. "Kalau begitu, aku akan ikut makan."

Sandi membalikkan piring di depannya. Ia mengambil nasi dan beberapa lauk.

Leo tersenyum. Ia senang melihat Sandi makan dengan lahap. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa duduk di depan satu meja bersama sang putra.

-oOo-

"Biar aku antar kalian ke kampus," tawar Leo.

Sandi dan Mika tengah bersiap pergi bersama.

"Boleh, Om!" jawab Mika antusias. Ia tersenyum lebar.

Akhirnya, bisa berlama-lama bareng Leo! batinnya.

"Enggak usah. Aku akan naik motor sama Mika," tolak Sandi ketus.

Mika langsung berdengus sebal. Ia melemparkan lirikan tajam ke Sandi sedangkan bibirnya menjadi manyun.

"Bukannya lebih nyaman naik mobil?" tanya Leo.

"Takutnya macet di jalan. Kalau naik motor kan anti macet," dalih Sandi.

Sandi enggak peka banget, sih! Aku kan maunya semobil sama Leo! batin Mika merengek.

"Baiklah, kalau begitu. Kalian hati-hati di jalan," kata Leo.

"Siap, Om," sahut Mika. Sedangkan Sandi tidak memberikan jawaban.

Wajah Sandi amat dingin. Ia melangkah menuju garasi. Mika mengikuti.

"Kenapa kamu menolak ajakan papamu? Jalan di pagi hari kan enggak terlalu macet," protes Mika.

"Aku enggak akan pernah mau berada dalam satu ruangan dengan orang itu!" tegas Sandi.

Dahi Mika berkerut. "Jangan menyebut dia dengan kata 'orang itu'. Dia itu papamu," tegurnya.

Sandi berdengus sinis. "Kenapa aku harus menyebutnya papa? Dia memang ayahku. Tapi, aku enggak pernah benar-benar dapat peran itu dari dia!"

"Bukannya dia yang memberikanmu segalanya? Termasuk hidup yang nyaman tanpa memikirkan keuangan?"

"Kamu tuh enggak tahu apa-apa. Enggak usah ikut campur sama hubunganku dengan orang itu!"

Mika pun diam. Ia menyadari kesalahannya. Apalagi, Sandi tampak tidak nyaman dengan obrolan ini.

"Tunggu di sini. Aku mau mengeluarkan motorku dulu," pamit Sandi.

Mika menganggukkan kepala.

Ada masalah apa Sandi sama papanya? Kenapa aku melihat sepertinya mereka memiliki lukanya masing-masing? Luka yang enggak bisa dibaca satu sama lain.

Mika jadi teringat dengan obrolannya bersama Leo di malam akhir tahun.

"Kamu kok enggak percaya cinta, sih? Seharusnya di usiamu sekarang, kamu sudah menemukan banyak cinta," tanya Mika.

"Aku hanya bertemu satu cinta dan dia yang membuktikan kalau cinta itu sekadar kata, yang enggak bisa dipegang dan enggak bisa dibuktikan. Sekadar bualan," jawab Leo. Sorot matanya redup seolah menyembunyikan luka di balik keangkuhan.

Sandi mengeluarkan motor sport dari garasi. Mika pun menaiki bagian belakang. Motor pun melaju.

Di tengah perjalanan, Mika teringat sesuatu, ia pun bertanya, "Memangnya penampilanku seburuk itu, ya?"

"Kenapa?" tanya Sandi.

"Enggak lucu kalau aku ditertawakan mahasiswa lain," jawab Mika. Ia mengerucut sebal.

Sandi malah tertawa.

"Tuh, kan. Aku diketawain!" protes Mika.

"Enggak, kok. Kamu enggak buruk. Malahan kamu cantik banget," jawab Sandi setelah tawanya mereda.

Mika tidak percaya. "Terus, kenapa kamu tadi ngejek aku di depan papamu?"

"Hanya ..., aku cemburu. Karena yang pertama melihat kamu dandan cantik bukan aku."

-oOo-