Bab 1 : Dunia yang Menolak Tangis

“Segala sesuatu yang eksis, harus memiliki hukum.

Bila kau tidak memilikinya—kau bukan bagian dari realitas.

Kau adalah celah.”

— Tertulis dalam Lattice Codex, Pasal 0.0.1

- - - -

Langit di atas Utara Aestren tidak pernah mengizinkan hujan turun lebih dari tujuh menit. Tapi hari itu, hujan jatuh tanpa henti selama tujuh jam tujuh menit tujuh detik. Angka kutukan.

Di puncak tertinggi Kuil Ristathe, sebuah altar hitam menyala samar oleh lingkaran sihir kuno. Pendeta-pendeta berselimut jubah abu dan emas menunduk dengan wajah pucat, gemetar. Mereka merapal mantra yang sudah tidak digunakan selama tujuh abad—Mantra Penyaring Eksistensi—untuk mengidentifikasi Orderprint dari bayi yang baru lahir.

Tak satu pun simbol muncul.

Tak satu pun hukum menjawab panggilan mereka.

Bayi itu hanya menatap langit-langit seakan mencemooh dunia.

Salah satu pendeta tua, Meyvarn, mengangkat tangannya. “Ini… ini mustahil! Bahkan iblis memiliki Orderprint!” Suaranya gemetar seperti daun di ujung musim gugur.

Yang lain mundur, sebagian berdoa, sebagian mengutuk. Tak ada satu pun yang berani menyentuh bayi itu lagi.

Namun di antara mereka, berdiri seorang wanita lemah, tubuhnya penuh luka persalinan, rambutnya mencuat seperti belati gelap, mata penuh ketenangan.

Ibu sang bayi.

“Namanya…” katanya lirih, “…Reikhal.”

Langit meraung.

Dari arah barat, seberkas petir menyambar pilar utama kuil dan membelahnya menjadi dua. Batu-batu suci terlempar, dan dari retakan altar, muncul kilatan ungu yang tidak termasuk dalam spektrum warna yang dikenal dunia.

Mereka menyebut peristiwa itu kemudian sebagai "Hari Pecahnya Retakan Ketujuh".

Hari di mana sistem hukum dunia—Lattice of Law—mulai merengkah dari dalam.

---

Lima Hari Kemudian – Distrik Isolasi No.4

Reikhal kecil dibungkus dalam kain besi ringan, tidur dalam ruang di mana hukum tidak dapat menembus. Dindingnya diukir dengan Runic Null, teknik larangan tertinggi untuk mengisolasi eksistensi.

Di hadapannya, berdiri tiga dewa penjaga.

Salah satunya, Ordhelm, bertubuh seperti patung hidup, kulitnya bersinar bagai kristal retakan, matanya seperti matahari yang tak berkedip. Ia berbicara dengan suara tumpul namun mutlak.

- “Kita tidak bisa membiarkan ini tumbuh.” -

Dewa kedua, Elistra of Mercy, terlihat ragu. “Tapi… dia masih bayi. Ia belum memilih jalannya.”

Ordhelm menatap bayi Reikhal sejenak. “Ia tidak bisa memilih. Ia tidak ditulis dalam Hukum. Ia tidak termasuk dalam Lattice. Ia bukan bagian dari dunia ini.”

Dewa ketiga, Dhael, hanya diam. Tapi di matanya ada kilatan. Retakan.

---

Di dalam mimpi bayi itu…

Reikhal melihat sesuatu.

Sebuah taman yang mati. Sebatang pohon yang tumbuh terbalik. Dan suara... bukan suara manusia, bukan suara Tuhan, tapi suara kosong, yang berkata:

- “Akar tidak selalu tumbuh ke tanah. Kadang, ia tumbuh ke jurang.” -

Dan untuk pertama kalinya, bayi itu tersenyum.

---