Putri tunggal seorang ayah, direnggut nyawanya oleh tangan pembunuh.
Si pembunuh itu melarikan diri, namun tak lama kemudian ia jatuh ke dalam jerat hukum.
Namun tatkala pintu penjara terbuka dan si pembunuh dibebaskan, sang ayah melacak jejaknya dengan tekad api yang membara. Dengan pisau yang berkilau dingin, ia mengakhiri nyawa pembunuh itu, tepat seperti cara putrinya dulu dibunuh.
Setelah terperangkap dalam genggaman hukum, sang ayah berseru dengan suara yang bergema penuh luka:
「Aku hidup hanya untuk membunuh bajingan itu.」
Terbelenggu oleh kesedihan dan kehampaan yang pekat akibat kehilangan satu-satunya putri, ia pernah mencoba melepaskan diri dari dunia ini berkali-kali.
Namun setiap kali niat itu datang, bayangan pembunuh itu muncul, menggenggam jiwanya, melarangnya pergi.
Karena mati dalam kondisi seperti itu, di saat dendam masih menyala, dianggap tak pantas untuk bertemu putrinya di alam lain.
Jadi, ia memilih hidup—cukup lama untuk menuntaskan balas dendam yang membakar dadanya.
Sepuluh tahun berlalu, ia bertahan, dengan bara amarah yang tak kunjung padam.
Banyak orang berkata agar melepaskan kemarahan dan dendam itu—bahwa itu hanya akan menghancurkan jiwa sendiri.
Namun, kadang kala, amarah itu menjadi kekuatan hidup seseorang di dunia ini.
"Tarik kembali kata-katamu!!"
(T/N: gak pake 'sat', ya. Soalnya Hanon juga ga bilang 'Lucas hanyalah seorang pecundang dari masa lalu.' Wkwkwk.)
Kini, di hadapanku, berdiri gadis itu.
Beberapa saat lalu, matanya redup, tanpa cahaya harapan, tanpa nafsu hidup.
Namun kini, dalam sorot mata berkilat penuh amarah, ia menuntut balas.
"Tarik kembali apa yang kau katakan tentang Lucas."
Ruangan kelas yang semula riuh tepuk tangan menyambut siswa baru, berubah menjadi medan perang kata-kata—karena ucapan yang terlontar dari mulutku sendiri.
Pandangan para murid bergantian antara aku dan Isabel, gadis yang dengan amarah membara seperti api liar.
Tubuhnya gemetar, suaranya meninggi, ia melompat dari kursinya dan berteriak padaku.
Sunyi menyelimuti ruang itu.
Sepanjang tahun mengenal Isabel, belum pernah kulihat amarahnya sekuat ini.
Bahkan mereka yang paling dekat padanya terdiam, takut menyentuh kedalaman kemarahan itu.
"Lucas?"
Aku...
"Siapa itu?"
Aku menggeleng polos, pura-pura tak tahu,
Langkah yang telah dirancang untuk menyulut bara kemarahannya.
"Pemimpin yang baru saja kau hina!"
Giginya gemeretak, kata-katanya disampaikan dengan penuh kebencian.
"Pemimpin regu itu adalah teman masa kecilku, Lucas."
Itulah seluruh rahasia yang dia berikan—murah hati namun penuh teguran.
Mungkin, jika aku merendahkan diri dan meminta maaf, ia akan mempertimbangkan untuk melupakan ini.
Matanya memancarkan tuntutan penyesalan.
"Oh."
Aku mengeluarkan seruan kecil, pura-pura baru sadar akan kesalahanku.
Para siswa mulai lega, mengira aku akan merunduk dan mengaku salah.
"Tidak."
Dan kemudian, aku menebar bom lagi.
"Kau!"
"Isabel, cukup. Dan kau, Hannon."
Saat Isabel melompat ke arahku dengan amarah yang membara, Profesor Vega melangkah maju, seperti penyeimbang di tengah badai.
Dengan helaan napas berat, ia berdiri di antara kami dan menunjuk ke kursi kosong.
"Hannon, jangan bikin masalah begitu tiba. Duduklah."
"Ya, Bu."
Aku segera menurut dan menaiki tangga menuju salah satu kursi yang kosong.
Meski duduk, tatapan Isabel tetap membara seperti api neraka.
Wajahnya merah, ekspresinya mengerikan dengan emosi yang tak terkontrol.
'Menakutkan.'
Jujur, amarahnya sungguh menakutkan.
Jarang sekali aku menjadi sasaran kemarahan sepenuh ini.
Lagipula, Isabel adalah heroine utama yang kusayangi.
Ya, Isabel adalah protagonis dalam kisah ini.
Tentu saja, aku tak mungkin membencinya.
Jadi ketika dia membenciku, sakitnya bukan main—bahkan untukku.
Namun, untuk sekarang, ini perlu.
Jika jalan cerita ini berjalan seperti yang kutahu dalam akhir terburuk—
Jika dia memilih untuk mengakhiri hidupnya, dunia ini benar-benar akan runtuh.
'Tetaplah kuat, aku.'
Semua yang kulakukan hanyalah bertahan hidup di dunia ini, melampaui takdir buruk.
Saat aku memantapkan diri, tiba-tiba mataku tertarik oleh sosok lain.
Seorang wanita berambut hitam legam, yang penampilannya mencerminkan diriku sendiri.
Keindahan yang memikat, seperti bidadari yang mampu menghipnotis dengan sekilas tatapan.
Matanya yang tajam menatap ke atas, hidung yang anggun, bibir halus—
Sosok yang memancarkan aura anggun, seperti kucing bangsawan yang penuh misteri.
Penjahat terakhir.
Putri Ketiga, Iris Hysirion.
Ia menatapku dengan intens.
'Apakah aku menarik terlalu banyak perhatian?'
Menyadari rahasia kelam yang tersembunyi di balik wajah Iris, aku segera mengalihkan pandangan.
Dalam permainan ini, ia bisa dianggap sebagai bos terakhir.
'Terlalu dini untuk berurusan dengannya.'
Saat aku menghindari tatapannya, Iris juga memalingkan kepala.
Pasti ia hanya sekadar penasaran pada tingkahku yang tak terduga.
Sepertinya aku belum benar-benar menarik minatnya—belum.
Namun tatapan Isabel tetap tak bergeser sedikit pun.
'Ini membuatku gugup.'
Aku bertanya-tanya—apakah aku benar-benar bisa menapaki jalan yang benar ke depan?
Ini permulaan yang menakjubkan, tidak bisa disangkal.
***
Dunia Akademi Pemburu Dungeon Iblis terhampar luas, terbagi dalam enam akademi.
Enam benteng pengetahuan yang memiliki satu tujuan luhur:
Mencetak pahlawan yang sanggup mengekang ancaman gelap yang tersembunyi di labirin bawah tanah—
Raja Iblis.
'Alasan mereka mendidik para siswa begitu sederhana.'
Tak seorang pun yang telah berusia lebih dari sembilan belas tahun bisa turun ke labirin itu.
Kutukan Raja Iblis, sang master labirin, menutup gerbang bagi orang yang telah melewati batas umur itu.
'Jika diperhatikan, Raja Iblis ini adalah makhluk yang picik, membidik para pemuda sebagai mangsa.'
Namun, di balik aturan ini tersimpan kebijaksanaan yang dalam.
Raja Iblis memancarkan kekuatan hingga jauh ke luar segel labirin untuk menciptakan makhluk-makhluknya yang disebut Apostel.
Saat pertama kali lahir, para Apostel sangat rapuh dan lemah.
Namun dalam lingkungan labirin yang penuh kegelapan, mereka terus berkembang, bertransformasi menjadi makhluk yang semakin kuat.
Setelah mereka mencapai puncak kekuatan dan dapat meninggalkan gua,
mereka berubah menjadi monster yang cukup perkasa untuk menaklukkan pahlawan-pahlawan dunia.
Dibutuhkan tepat dua puluh tahun untuk sebuah Apostel mencapai kedewasaan penuh.
Apostel adalah makhluk yang rakus akan kekuasaan.
Setelah dewasa, mereka diusir dari gua oleh aturan dungeon, agar tak menetap terlalu lama mengejar kekuatan sang Raja Iblis.
Hal ini membuat mereka putus asa, berjuang memecahkan segel Raja Iblis demi kelangsungan hidupnya.
Aturan yang sama berlaku bagi manusia.
Manusia pun tak dapat turun ke dungeon setelah mencapai usia dua puluh tahun.
Seperti yang telah disebut, para Apostel berada dalam keadaan paling lemah saat lahir.
Untuk mencegah hal tersebut, dunia memilih mengirim para pemuda ke dungeon bawah tanah.
Maka, berdirilah enam akademi, benteng terakhir peradaban.
Selama tiga tahun, dari usia tujuh belas hingga sembilan belas, para siswa dilatih untuk menghadapi kegelapan.
Keluarga siswa yang berhasil dalam dungeon mendapat kehormatan tertinggi.
Kerajaan memuliakan mereka yang melahirkan pahlawan, memberikan dukungan penuh.
Tentu saja, akademi dipenuhi kaum bangsawan yang haus kehormatan.
Terpikat oleh panggilan darah dan nama keluarga, ribuan pemuda bangsawan berbondong ke akademi ini.
Demi kehormatan keluarga—
Dan demi melindungi dunia—
Mereka datang menuntut ilmu.
"Pelajaran hari ini selesai di sini."
Profesor Vega menguap panjang, kemudian berbalik hendak pergi, seperti biasa hendak mengisi hari dengan minuman.
"Oh, ingatlah, kita akan menggelar pertempuran simulasi dalam waktu dekat."
Dengan kata-kata perpisahan itu, ia meninggalkan kelas.
Thud!
Sebuah suara keras mengguncang meja-meja di bawah.
Para siswa yang sudah mengantisipasi suasana berganti, bertukar pandang waspada.
Sumber suara itu adalah Isabel Luna.
Teman masa kecil Lucas, dengan wajah yang membara penuh dendam.
Setelah pelajaran usai, ia menggenggam buku teori di pinggang, mulai melangkah—
Menuju ke arahku.
'Menakutkan.'
Haruskah aku lari?
Pikiran itu menyelinap di benakku saat aura gelap dari Isabel menghantui ruang.
Namun, aku tak mampu lari kini.
Aku harus menjadi musuh bebuyutan Isabel, setidaknya sampai saatnya aku lulus dari akademi ini.
Ia harus bertahan hidup, memegang erat benang hidupnya.
Lebih dari itu, aku hanya ingin agar Isabel tetap hidup.
Setelah mengulangi kisah Flame Butterfly berkali-kali, aku telah membangun ikatan dalam padanya.
Dia adalah heroine utama arc Flame Butterfly.
Bayangan kematiannya menusuk hingga ke relung hatiku.
"Hanon Irey."
Suara Isabel bergema menembus ruangan.
Dalam dunia ini, memanggil seseorang lengkap dengan nama depan dan belakang adalah tanda penghormatan sekaligus tantangan.
Aku meliriknya sejenak sebelum menyingkirkan kursi dan berdiri.
"Ada urusan apa denganmu?"
"Ulangi apa yang kau katakan tadi. Minta maaf karena menghina Lucas dan teman-temannya, segera."
Mata semua siswa tertuju pada kami.
Mereka yang menyaksikan kemarahan Isabel untuk pertama kali diliputi kekhawatiran.
Namun, ada pula yang bergairah ingin menyaksikan konfrontasi.
Sebuah siswa pindahan yang melemparkan bom kata-kata—
Semua ingin tahu bagaimana aku akan menjawab.
Aku menatap santai mata mereka, lalu kembali ke Isabel.
"Seperti yang sudah kukatakan."
Aku menjawab datar.
"Tidak."
Mata Isabel melebar.
Tubuhnya gemetar dalam amarah yang membara.
"Lucas dan teman-temannya mempertaruhkan nyawa melawan para Apostel! Apa yang kau katakan?"
"Aku sudah bilang. Mereka menodai nama Akademi Zerion."
"Untuk sesuatu yang sepele kau menghinanya!?"
"Sepele?"
Aku mendekat, mengerutkan alis, menekankan kata-kataku.
Mungkin terlalu keras, namun ini saatnya.
Isabel berkedip sejenak.
Tak ada beda tinggi yang berarti di antara kami, meski ia sedikit lebih tinggi.
Namun aura yang kutunjukkan membuat jarak terasa tak berarti.
Aku telah berlatih momen ini berkali-kali.
Jika aku goyah di sini, Isabel akan terjatuh.
Tak mungkin aku membiarkan semangatku padam.
"Apakah kau mengerti bagaimana reputasi Akademi Zerion dibangun?"
Aku melangkah maju lagi.
"Dunia ini terancam oleh labirin. Ancaman itu terutama menimpa rakyat biasa, bukan bangsawan."
Jika Isabel terbawa emosi, aku harus menjawab dengan alasan yang kuat.
"Aku harus lawan dia dengan argumen."
"Ketika rakyat biasa gelisah, kegelisahan itu menyebar—pertama ke bangsawan, lalu negara, hingga pondasi dunia. Tugas bangsawan adalah menjamin rakyat biasa hidup tanpa rasa takut. Enam akademi adalah simbol pencegah kegelisahan itu. Akademi Zerion adalah yang paling terhormat di antara mereka."
Dua puluh tahun terakhir, tak pernah ada siswa tahun pertama yang tewas di Akademi Zerion.
Artinya, ini adalah insiden langka dan luar biasa.
"Bukan akademi sembarangan, tapi Akademi Zerion, benteng siswa terbaik, tempat tragedi seperti ini terjadi. Apakah kau paham maknanya?"
Dungeon menjadi lebih berbahaya dari sebelumnya.
Mungkin sudah terlalu berbahaya untuk para siswa.
Dunia dalam bahaya.
Mungkin itu yang dipikirkan orang.
Sebuah hiperbola, tentu saja.
Namun benih keraguan sekecil apapun bisa membakar hati yang rapuh.
Ketidakpastian itu adalah percikan api.
Sebuah percikan kecil yang, jika jatuh di rerumputan kering, bisa membakar hutan.
Itulah sebabnya Akademi Zerion harus tetap kokoh, sempurna, dan tak tergoyahkan.
"Lucas dan teman-temannya telah melakukan kesalahan besar."
Isabel menatapku dengan kosong.
Dalam matanya terpantul kebencian yang dalam dan tak terpadamkan.
"...Seseorang telah meninggal."
Isabel menggigit bibir hingga pucat.
Air mata mulai menggenang di matanya.
"Temanku tewas."
Teman masa kecil yang tumbuh bersamanya sepanjang hidup.
Kehilangan teman itu seperti separuh dunia runtuh.
"Dan kau menyebut itu sebuah kesalahan?"
Air matanya mengalir deras.
"Aku tak bisa terima itu. Lucas tidak melakukan kesalahan. Dia bertarung dengan segenap jiwa dan berhasil menundukkan Apostel."
Saat bicara, Isabel mendekat.
Kami sedekat napas yang berhembus bersama.
"Aku akan pastikan kau mengakui Lucas dan minta maaf."
"Maaf, itu tidak akan pernah terjadi."
Dengan perbedaan pendapat yang melebar, Isabel berbalik dan meninggalkan kelas dengan kemarahan yang membara.
Setelah kepergiannya, ketegangan perlahan mencair.
"Wow, Isabel ternyata lebih mengerikan daripada yang kupikir."
"Aku tak tahu dia bisa sebegitu marahnya."
Beberapa siswa berbisik,
beberapa gadis bangkit dan mengejar Isabel.
"Isabel, tunggu kami!"
"Sampah."
"Dasar iblis."
Mereka menatapku dengan kebencian murni.
Jelas, aku telah membangkitkan kemarahan mereka.
Sepertinya mereka pergi untuk melampiaskan dendam pada diriku.
'Tidak apa. Aku sudah terbiasa dibenci.'
Tentu saja, itu dusta.
Tak ada yang benar-benar biasa dibenci.
Ini adalah batas kesabaranku.
Namun setidaknya sekarang Isabel punya alasan untuk berjuang, memaksaku meminta maaf pada Lucas.
Itu sudah cukup.
Hubunganku dengan Isabel, sementara ini, telah membaik.
Kini, waktunya melangkah ke babak berikutnya.
"Wakil Presiden Kelas Tiga, Naga Bencana."
Di semester kedua tahun kedua, ia adalah bos terakhir di babak 3, salah satu dari tiga akhir terburuk.
Akhir buruk "Naga Purba" miliknya.
Waktunya bertemu dengannya.