Chapter 16 - Mengalahkan Posisi Terbawah yang Abadi

Pertempuran Tiruan di Akademi Zeryon

Di negeri para calon ksatria muda dan penyihir berbakat, sebuah ujian ditempa dengan aturan yang kaku dan tidak mengenal belas kasih—sebuah pertempuran tiruan yang didasarkan atas peringkat para murid tahun pertama.

Di awal laga, kau akan berhadapan dengan lawan yang sepadan menurut nilai-nilai yang tercatat dalam gulungan nilaian. Bila kau takluk dalam pertempuran ini, maka takdir akan menyeretmu untuk bertarung melawan murid yang nilainya berada di bawah kemenanganmu yang lalu. Sebaliknya, bila kemenangan menjadi milikmu, maka langkahmu akan tertuju pada medan pertarungan melawan murid yang lebih unggul nilainya.

Namun berhati-hatilah, sebab bila kekalahan menimpamu tiga kali, maka itu dicatat sebagai akhir pertempuranmu, dan pertempuran tiruan pun dihentikan. Bila dalam pertarungan kau dinyatakan tak mampu lagi melanjutkan oleh para penilai, maka perjalananmu juga berakhir di sana.

Namun tak ada batas bagi kemenangan. Secara teori, bila kau terus maju dan tak pernah kalah, bahkan dari dasar jurang yang paling gelap sekalipun, kau dapat menantang murid terunggul di antara mereka.

Tetapi ingatlah, sekali saja sang pemenang tersungkur dalam kekalahan, maka tirai pertempuran baginya tertutup selamanya.

"Pada akhirnya, dengan cara apa pun—itulah akhir dari segalanya."

Tujuan dari pertempuran tiruan ini hanya satu: menaikkan yang terkuat ke puncak takhta.

Tepat di hadapan mata ini, tampaklah aula besar Akademi Zeryon. Diperluas dengan sihir ruang, aula megah itu penuh sesak oleh para murid dari segala jurusan. Pemandangan yang pasti terjadi dalam peristiwa seperti ini.

"Aku gugup..."

"Kali ini, aku akan menaikkan nilai pertarunganku, pasti."

Suara-suara murid bergema, namun tak satu pun ditujukan padaku. Sebaliknya, aku merasakan tajamnya tatapan menusuk punggungku. Saat aku melirik ke belakang, tampaklah Isabel yang tengah menatapku dengan mata membara.

Ia telah bersumpah untuk menjatuhkanku dalam pertempuran ini. Semangatnya berkobar-kobar, dan aku membiarkannya menyala.

"Biarlah apinya membakar seterik mungkin."

Api seperti itu takkan padam begitu saja.

"Ah."

Seorang wanita dengan sosok kharismatik namun berbalut kemuraman naik ke atas mimbar. Dialah Beganon Mercia, guru bela diri tahun kedua. Hari ini, ia tampak dalam wujud biasanya—berseragam lengkap, tanpa aroma anggur yang biasanya membekas.

"Namaku Beganon," ucapnya dengan suara datar, "dan aku akan mengawasi pertempuran ini. Karena nilai dari pertarungan ini penting untuk penentuan penempatan tim, aku harap kalian semua bertarung sekuat tenaga."

Para murid baru menahan napas. Sementara murid tahun kedua dan ketiga yang telah lama mengenalnya, hanya dapat menghela napas lelah.

"Dengarkan baik-baik: jangan bertarung setengah hati pada lawan yang kau yakin bisa kau kalahkan."

Banyak yang bingung, tak mengerti maksudnya.

Tapi para murid senior hanya menutupi wajah. Mereka tahu: ini bukanlah tentang kehormatan, tapi soal waktu pulang.

"Kalau kalian semua kalah sampai tiga kali, pertempuran jadi terlalu panjang. Aku nanti jadi terlambat pulang."

Ia hanya ingin pulang. Bukan karena rumah menanti, tapi karena kesepian menyapanya bila malam tanpa anggur.

Beganon turun dari mimbar, dan para asisten segera membagi murid ke area masing-masing. Tahun pertama ke kiri, tahun kedua ke tengah, dan tahun ketiga ke sisi kanan aula.

Jumlah murid tahun kedua adalah 48 orang. Kapasitas penuh sebenarnya adalah 50, namun beberapa di antara mereka, termasuk Lucas sang tokoh utama, telah tewas di tahun pertama. Kini, dengan kehadiranku, jumlahnya tetap 48.

Maka peringkat pun dimulai dari 1 hingga 48.

Tujuanku: menembus sepuluh besar.

Namun masalahnya adalah, aku masuk ke Akademi Zeryon di tahun kedua. Maka belum ada catatan untuk namaku.

Dan peringkatku saat ini adalah...

ke-48.

Yang paling terakhir.

Yang tak disebut kecuali untuk dikasihani.

"Heh, ini pertarungan untuk si nomor buncit."

"Biar saja murid pindahan itu kalah."

"Memang cocok di tempat terakhir."

Bisikan para gadis menyakitkan, namun lidah mereka telah terbiasa menebar racun sejak aku melawan Isabel secara langsung. Bahkan Isabel pun kini mulai menyadari bahwa diamnya hanya menambah bahan bakar bagi mereka.

Ia pun mencoba mengangkat tangan, hendak menghentikan ocehan sahabat-sahabatnya. Tapi aku tak ingin Isabel membela.

"Biasa aja tuh," ujarku.

Sekejap, tatapan tajam mereka tertuju padaku.

"Aku akan pastikan kalian semua berada di bawah peringkatku."

"Apa?! Sombong sekali kau!"

"Tunjukkan kalau kau bisa!"

"Hah, sombongnya kau tiada batas."

Mereka memakinya. Namun bagiku, caci maki hanyalah musik latar.

"Pendek dan galak pula."

Kata-kata mereka tak menyakitiku.

"Pasti belum pernah punya kekasih."

Oh, itu sudah melampaui batas.

Aku menatap Isabel, dan ia pun menatapku balik. Awalnya terkejut, lalu marah. Ia berniat menghentikan temannya, tapi tak menyangka akulah yang memancing mereka.

"Isabel, kau juga," ucapku sambil melemparkan provokasi ringan padanya.

Isabel terdiam. Tatapan matanya kini serius.

"Jika kau kalah dariku hari ini, kau akan mencabut kata-katamu pada Lucas dan meminta maaf."

Aku tersenyum tipis.

"Itu takkan terjadi."

Para gadis makin lantang mengejek, namun Isabel tetap diam. Pandangannya mengarah pada bekas luka di tanganku.

Ia tahu—sesuatu yang mereka semua belum sadari. Bahwa aku bukanlah lawan yang mudah.

"Peringkat ke-48, Airei. Peringkat ke-47, Mirizen Aventi."

Namaku dipanggil. Aku melangkah ke depan. Di sisi lain, seorang murid lain juga melangkah—Mirizen, murid bertubuh kurus dan berseragam longgar. Julukannya: "Mirizen Abadi di Peringkat Terbawah."

Di mana ada yang teratas, di sanalah yang terbawah juga hadir.

Andai bukan di Akademi Zeryon, mungkin ia bisa bersinar di tempat lain. Tapi di sini, di mana para jenius berkumpul, bakat biasa hanyalah bayang-bayang yang mudah dilupakan.

"Kali ini... aku akan keluar dari tempat terakhir," ucap Mirizen, dengan tekad menyala di matanya.

Ia kini di peringkat ke-47—akhirnya naik satu tingkat.

Dan ia akan mempertahankan tempat itu... mati-matian.

***

"Pertarungan dimulai!"

Begitu sang pembantu mengangkat tangannya sebagai tanda, Mirizen menghunus pedangnya.

Dengan tekad yang menyala-nyala, ia menyerbu ke arahku.

Dia datang.

Aku memiringkan kepalaku, menghindari tikaman yang melaju lurus ke wajahku.

Bilah itu, hanya sejengkal dari kulitku, membuat jantungku berdegup kencang.

Meski ia menduduki peringkat paling bawah dalam ilmu bela diri, Mirizen bukanlah sosok yang lemah—ia adalah seorang yang telah diterima di Akademi Zeryon, tempat hanya mereka yang berbakat diperkenankan masuk.

Gerakan pedangnya pun tak goyah. Bilahnya mengikuti tiap langkahku, satu pukulan menyusul yang lain, layaknya ekor bayangan yang mengejar mangsa.

Tiap sabetan membawa bobot yang berat, penuh gairah dan amarah yang belum tersalurkan.

Namun aku, hanya fokus menghindar. Langkah-langkah yang telah kulatih sejak dahulu kala terpatri dalam ingatan kakiku.

Mataku, yang tajam seperti elang dari puncak Menara Eldalondë, mengikuti gerakan tubuh dan gagang pedangnya. Dari sanalah aku mengetahui waktu yang tepat untuk beringsut dari maut.

"Yang dia lakukan hanya menghindar seperti tikus pengecut."

"Ih, menjijikkan. Ini kah orang yang tadi menyombongkan diri akan menang?"

Suara cemooh para gadis menyayat angin di sekeliling arena.

Sang pembantu menatap tajam, dan mereka pun bungkam. Namun ejekan tak mudah lenyap dari wajah mereka.

Tentu saja, aku tak sempat memedulikannya.

'Aku pernah bertanding melawan Aisha, namun...'

Inilah pertarungan pertamaku yang harus kumenangkan.

Sebab dalam perjalanan panjangku nanti, akan ada lawan-lawan yang jauh lebih kuat menanti di tikungan takdir.

Dan oleh karena itu, aku harus terbiasa bertarung, memetik pelajaran dari setiap luka dan jejak.

'Memulai dari dasar adalah peluang bagi diriku.'

Hindari.

Lalu hindari lagi.

Terus menghindar.

Langkah kakiku kian terasah, dan waktu di antara gerakan kian menipis. Tubuh Vikarmern yang kini kuhunikan bagaikan anugerah para dewa untuk kelincahan.

Bahkan napasku belum memburu.

Latihan yang kutempuh tiap fajar menyingsing bersama Aisha, yang teguh seperti batu karang di tengah badai, telah menempaku dengan hasil yang gemilang.

Ditambah dengan tubuh Vikarmern yang kuat alami, sebuah sinergi tercipta—tiada tanding.

"Hah, huh!"

Sementara itu, Mirizen telah mulai kelelahan. Wajahnya seperti akan menangis, pedangnya gemetar dalam genggaman.

Sebaik apapun kau dalam memainkan pedang, tiada artinya bila tak mampu mengenai lawan.

"Aku..."

Mata Mirizen dipenuhi keputusasaan.

"Aku harus menang!"

Sekali lagi, pedangnya menebas udara.

"Aku akan bangkit!"

Teriakannya pecah bagaikan nyala api yang menerobos kabut.

Para siswa yang menonton mulai mengerutkan dahi.

"Lemah."

"Setidaknya bertarunglah dengan layak!"

"Sudah jelas tingkat keahliannya berbeda. Apa yang dia lakukan sebenarnya?"

Sang pembantu coba memperingatkan, namun pekikan tak terbendung.

"Sejak kapan kelas kita dipenuhi orang tolol seperti ini?"

Di tengah keributan, suara berat dan tajam mengiris udara.

Tatkala para siswa berpaling, tampaklah sosok yang tak seperti kebanyakan.

Bertubuh kekar, wajahnya meski kasar, mengandung keagungan.

Dengan tangan bersilang, ia memandang duel di medan.

Itulah Gaidon, peringkat ketiga dalam seni bela diri.

"Orang itu baru saja menyatakan niatnya untuk bangkit."

Ia telah memahami maksud Mirizen.

"Pertarungan ini bukan sekadar duel. Ini adalah pernyataan bahwa ia menargetkan puncak."

Ucapnya dingin kepada para siswa.

"Dan kau masih mengucapkan 'bertarunglah dengan benar', 'perbedaan keahlian'? Omong kosong."

Akademi ini, tempat jiwa-jiwa muda mengasah kekuatan dalam lorong waktu, tak pernah menghargai kelemahan.

Memohon ampunan di medan tempur takkan menyelamatkanmu dari bilah pedang musuh.

"Siapa pun yang kini mencibir, kelak takkan punya alasan saat dihantam oleh orang itu."

Maka, tak satu pun dari mereka kembali berbicara.

Bahkan Isabel, mungkin gentar akan kenaikanku, memilih diam dalam sorot mata yang tak berkedip.

"Hah!"

Mirizen kembali mengayunkan pedangnya.

Namun kekuatan telah mengering dari lengannya. Bilah yang dulu ia gunakan untuk menang kini berkhianat, menyeretnya menuju kekalahan.

Aku memahami keputusasaannya.

Dicap sebagai 'yang terlemah abadi' adalah pukulan terhadap kehormatan seorang ksatria.

Namun, maafkan aku.

Tak ada yang lebih terdesak daripada diriku.

'Jika aku tak naik...'

Dunia ini, yang telah mengarah pada akhir yang kelam, hanya akan tenggelam lebih dalam dalam kegelapan yang tak terbayangkan.

'Maka aku harus menang.'

Langkah kakiku melaju ke depan.

Thud!

Aku menghentakkan kaki, menamatkan tarian menghindarku.

Pedang Mirizen melintas nyaris menyentuh sisi kepalaku.

Saat yang sama, aku menerobos ruangnya, menyusup dalam jarak yang terlarang.

Tenaganya telah lenyap. Karena sejak awal aku hanya menghindar, ia tak siap menghadapi serangan mendadak.

Dalam celah yang sempit itu, aku tak menyia-nyiakannya.

Lenganku, hasil dari pelatihan jasmani yang keras, menebas seperti tombak yang membelah angin.

Meski tanpa senjata, tubuhku cukup untuk menjadi senjata.

Crunch!

Tinju yang mengandung seluruh tekadku menghantam perut Mirizen.

"Ugh?!"

Tubuhnya melengkung seperti huruf C, tercekik oleh rasa sakit.

Saat itu juga, aku menarik lengan kanan dan mengayunkan sikuku.

Smack!

Sikuku mengenai wajahnya dengan keras.

Saat ia limbung, darah mengucur dari hidungnya, aku menyapu kakinya dari belakang.

Dengan gerakan mengalir, tubuh Mirizen terjatuh ke tanah.

Tatkala ia coba bangkit, lututku menghujam keras.

Thwack!

Kepalanya dihantam oleh lututku dalam satu serangan terakhir.

Tubuh Mirizen ambruk, terhempas ke belakang.

Meski ini pertarungan pertamaku tanpa aturan, tubuhku bergerak seolah telah melakukannya berulang kali dalam mimpi-mimpi purba.

Thud—

Mirizen tergolek diam di atas tanah, tak bergerak seperti batu nisan yang tak lagi bersuara.

Dalam keheningan yang menggema, aku menatap ke arah sang pembantu.

Ia mengangguk, dan suaranya terdengar bagaikan lonceng di pagi yang tenang.

"Pemenang, kini menduduki peringkat ke-47."

Aku, yang semula berada di urutan ke-48, telah naik satu tingkat menuju langit penuh takdir.