Chapter 47 - Respon Atas Isu yang Beredar

Menumbangkan Tim Iris dan merebut takhta pertama dalam kompetisi tim.

Peristiwa itu menciptakan sebuah sensasi masif di Akademi Zeryon.

Tak seorang pun pernah membayangkan bahwa Iris, yang digadang-gadang sebagai yang terkuat, bisa kalah.

Tentu saja, banyak yang percaya faktor terbesar adalah kehadiran Sharin.

Namun, yang paling sering disebut-sebut adalah sambaran petir yang merobohkan lawan terakhir, Thunderbird.

Sebuah kilat yang menyambar gelanggang entah dari mana.

Beberapa mempertanyakan, apakah masuk akal Thunderbird dikalahkan oleh sebuah fenomena alam?

Tetapi mereka yang memiliki mata tajam punya firasat lain.

Tepat sebelum petir itu jatuh, aku sempat mengangkat tanganku ke arah langit.

Gara-gara itu, aku mendapat julukan baru setelah hari itu.

Bocah Petir.

Sungguh sebuah kepekaan penamaan yang luar biasa.

“Kentang Manis Petir!”

Dan ada satu orang lagi yang julukannya berubah.

Begitu aku memasuki ruang kelas, kulihat Seron melambaikan tangannya dengan antusias ke arahku.

Wajahnya merekah dengan senyum yang begitu cemerlang.

Jujur saja, aku belum pernah melihatnya tersenyum selebar itu.

“Kenapa kau tersenyum mengerikan begitu?”

“Heheheh!”

Bahkan ketika aku membentaknya seperti biasa, Seron tidak berhenti tersenyum.

“Tentu saja aku tersenyum! Uang sanguku naik dua kali lipat!”

Sebanyak itu naiknya, ya?

Pantas saja ia menyeringai seperti itu.

“Kalau begitu, traktir aku hari ini.”

“Hehe, tentu! Seron yang paling imut di dunia akan mentraktirmu!”

Meskipun ia menambahkan embel-embel aneh, aku tidak protes karena ia yang menawarkan traktiran.

Seseorang yang bersedia membayar harus dijaga baik-baik.

“Omong-omong, Kentang Manis Petir, ayahku bilang dia ingin bicara denganmu.”

Tepat saat aku sedang memikirkan apa yang akan kuminta, Seron menjatuhkan sebuah bom tak terduga.

“Ayahmu? Denganku? Kenapa?”

“Entahlah. Mungkin dia mau memberimu sedikit uang saku karena performa kalian sebagai rekan tim di kompetisi sangat bagus.”

Seron mengangkat bahu, tampak tak tahu apa-apa.

Aku teringat ayahnya, yang datang menonton kompetisi tim.

Ia melambai-lambaikan pamflet dan menyemangati Seron dengan keras.

Siapa pun bisa tahu bahwa ia adalah pemuja putrinya sendiri.

Entah kenapa, perasaanku jadi tidak enak.

Tentunya, dia tidak salah paham secara absurd, kan?

“Seron, lain kali kalau bertemu ayahmu, katakan padanya aku ini sama sekali bukan laki-laki.”

“Hah? Jadi, Kentang Manis Petir, kau ini perempuan? Apa aku harus mulai memanggilmu Putri Kentang Manis?”

Si bodoh ini jelas sama sekali tidak mengerti situasinya.

“Kau ini.”

Saat aku sedang menimbang-nimbang bagaimana cara mendaratkan sentilan yang pas di dahinya agar terasa perih, aku mendengar suara dari belakangku.

Aku tidak menyangka pihak lain akan menghampiriku lebih dulu.

Aku berbalik, dengan ekspresi terkejut.

“Isabel.”

Isabel memanggilku dari seberang kelas.

Sontak, perhatian semua orang beralih ke arah kami.

Karena Isabel dan aku selalu bersitegang setiap kali bicara, murid-murid lain tampak tegang, bertanya-tanya apakah kami akan bertengkar lagi.

Namun, Isabel hanya menatapku tanpa banyak emosi di wajahnya.

“Kali ini, aku kalah.”

Mata Isabel bersinar lebih tajam dari sebelumnya.

“…Lain kali, aku tidak akan kalah.”

Tim Isabel finis dengan waktu 38 menit 23 detik.

Mereka menempati peringkat ketiga di antara tim-tim tahun kedua.

Mengingat ada tim yang bahkan tidak berhasil mencapai Apostel kesepuluh, itu adalah pencapaian yang tak dapat disangkal.

Tapi Isabel tidak puas sedikit pun.

Rivalnya—aku—telah melampauinya.

Aku bisa merasakan determinasi yang terang dalam tatapan Isabel.

‘Selangkah demi selangkah.’

Isabel pun, tanpa ragu, sedang bergerak maju.

Suatu hari nanti, ketika ia berhasil mengatasi bayang-bayang Lucas dan tersenyum secerah dulu, aku tak akan lagi ia butuhkan.

Dan hari itulah yang paling kunantikan.

“T-Tunggu, kau tersenyum?”

Saat itu, mendengar kata-kata Isabel, aku baru sadar bahwa aku sedang tersenyum.

Ketika aku menyentuh bibirku, dan benar saja, sudut-sudutnya terangkat.

Tampaknya, tanpa sadar aku tersenyum saat memikirkan masa depan Isabel.

Isabel menatapku dengan ekspresi yang agak bingung.

“Ya, aku tersenyum.”

Aku mengangkat sudut bibirku lebih tinggi lagi.

“Aku sedang mengejekmu. Kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku.”

Sebab itulah, untuk saat ini, aku harus tetap menjadi rivalnya.

Isabel menatapku sejenak sebelum menghela napas.

“Kau tetap saja menyebalkan seperti biasa.”

Kemudian, ia berbalik.

“Sangat tipikal dirimu.”

Dengan itu, Isabel melenggang pergi.

Entah kenapa, ia tidak tampak semarah sebelumnya.

‘Apa dia sudah terbiasa dengan ejekanku?’

Mungkin aku harus lebih kreatif dengan provokasiku di masa depan.

Sambil memikirkan itu, aku kembali ke kursiku yang biasa.

Meskipun kami bisa duduk di mana saja, para siswa kelas tempur sengaja tidak duduk di tempat yang biasa diduduki Seron dan aku.

Rasanya seolah-olah kursi-kursi itu secara tidak resmi telah menjadi milik kami.

Setelah duduk, aku menyadari ada sesuatu yang menyembul dari laci mejaku.

Karena penasaran, aku memiringkan kepala dan menariknya keluar.

Itu adalah sepucuk surat.

Apa ada yang salah meletakkannya?

“Apa itu? Surat?”

Seron, yang mengikutiku, menatap surat itu dengan kaget.

“Aku tidak tahu.”

Karena ini selalu menjadi kursiku, rasanya tidak mungkin ada orang yang salah meninggalkan surat di sini.

Ketika aku membalik surat itu, aku melihat sebuah nama tertulis di belakangnya.

Melihatnya, ekspresiku menjadi sedikit aneh.

Dan tentu saja—nama yang tertulis di sana adalah Hanon Airei.

Surat itu ditujukan untukku.

“T-Tunggu, apa? Apa ini? Apa ini… surat cinta?”

Seron menatapku dengan ekspresi terkejut.

Aku sama bingungnya.

Seseorang mengirimiku—aku, si Bocah Petir—surat cinta?

‘Meskipun, trah asli Hanon tidak terlalu buruk.’

Kurasa menjadi keturunan seorang duke ada gunanya.

Mungkin ada seseorang yang terpikat oleh penampilanku selama kompetisi tim.

“…Kenapa, sih?”

Dan kemudian Seron mendapat sentilan di dahi.

Sambil memegangi dahinya yang perih, Seron mendesakku untuk menunjukkan surat itu.

Aku tidak begitu senang berbagi surat yang mungkin berisi curahan hati dengannya, tapi aku cukup penasaran untuk membacanya sendiri.

Saat kubuka amplopnya, ada selembar kertas di dalamnya.

Itu adalah undangan untuk bertemu di Taman Langit saat makan siang.

Karena Taman Langit berada di atap dan jarang ramai saat makan siang, jelas si pengirim menginginkan percakapan pribadi.

“Apa yang akan kau lakukan?”

Seron bertanya dengan hati-hati.

“Aku akan pergi.”

Bagaimanapun juga, aku sudah menerima surat.

Siapa pun yang mengirimnya, jika mereka ada di kelas tempur, mereka pasti melihatku mengambilnya.

Tidak pergi akan terasa tidak sopan dengan caranya sendiri.

“Ah, kurasa ini artinya aku tidak bisa main dengan Kentang Manis Petir lagi,” gumam Seron pada dirinya sendiri dengan tatapan sedih.

Apa lagi yang ia bicarakan sekarang?

“Kenapa begitu?”

“Yah, bukankah sudah jelas? Kalau kau punya pacar, dia pasti akan cemburu melihatku terus-terusan di dekatmu. Aku tidak tertarik terlibat dalam drama cinta segitiga.”

Aku memiringkan kepala, bingung.

“Kenapa pacarku harus cemburu padamu?”

“Kau bodoh? Tentu saja dia akan cemburu melihatmu bergaul dengan gadis lain…”

Alis Seron berkerut di tengah kalimat.

Oh tidak, apa dia sudah sadar?

“Lupakan saja, aku tidak jadi mentraktirmu hari ini.”

“Baik, baik. Tentu saja dia akan cemburu. Pasti.”

Sponsor kita tercinta resmi merajuk.

“Jangan khawatir. Bahkan jika itu pernyataan cinta, aku tidak berencana untuk berpacaran dengan siapa pun.”

“Kau bahkan tidak akan menghargai seseorang yang menyatakan cinta padamu? Kenapa tidak?”

“Ini bukan waktu yang tepat untukku.”

Aku tidak punya kemewahan untuk itu.

Jangankan romansa, bahkan untuk maju melewati skenario saja sudah melelahkan.

“Hmph, yah, jika itu membuat segalanya lebih mudah bagiku, aku tidak masalah.”

Sejak kapan ia jadi begitu nyaman berada di dekatku?

Aku mulai sedikit khawatir Seron akan kehilangan kemampuan sosialnya.

***

Setelah kelas pagi berakhir, aku memberikan beberapa kartu pada Seron dan menyuruhnya pergi makan siang.

Ia protes, tetapi karena ia tidak punya orang lain untuk makan bersama, ia akhirnya pergi sambil menggerutu.

Aku melihatnya berdebat dengan seseorang saat mereka pergi, lalu aku menuju Taman Langit.

Sejujurnya, aku sedikit penasaran siapa yang meninggalkan surat itu untukku.

‘Apa itu seseorang yang kukenal?’

Sambil berpikir, aku menaiki tangga hingga pintu menuju Taman Langit terlihat.

Hening di seberang sana, sesuai dengan suasana jam makan siang.

Kreak—

Pintu terbuka dengan derit engselnya.

Mengintip ke dalam, aku melihat seseorang berdiri di kejauhan.

Entah kenapa, punggungnya terasa anehnya familier.

Orang yang menunggu di sana adalah seseorang yang paling tidak kuduga.

“Kau di sini.”

Rambut pendek berwarna kastanye.

Cincin-cincin bergelantungan di jemarinya.

Mata yang tajam dan mengintimidasi.

Siswa peringkat kedua di kelas studi sihir tahun kedua.

Dorara Korajin.

Singkatnya, seorang laki-laki.

Sambil menatapnya dalam diam, aku dengan sama diamnya berbalik dan menutup pintu di belakangku.

“Hei, tunggu! Mau ke mana kau?!”

Terkejut, Dorara berlari dan memegang pintu.

Mencoba beradu kekuatan denganku?

Mungkin aku harus menunjukkan padanya hasil latihan yang telah kujalani bersama Aisha.

Ketika aku mendorong pintu hingga tertutup dengan kuat, Dorara ikut tertarik.

Ia meringis dan berteriak jengkel,

“Kenapa kau lari?!”

“Maaf, tapi aku tidak tertarik pada laki-laki. Aku menghargai preferensimu, tapi tolong jangan libatkan aku di dalamnya.”

(TN: wkwkwk.)

“Apa-apaan yang kau bicarakan, bodoh?!”

Kemudian, seolah menyadari maksudku, matanya membelalak marah.

“Hei! Aku juga suka perempuan! Kenapa aku harus suka orang sepertimu?!”

“Lalu kenapa kau meninggalkan surat yang begitu misterius?”

“Demi Tuhan! Aku hanya ingin bicara denganmu!”

“Kenapa denganku?”

Dorara dan aku tidak punya koneksi apa pun sebelumnya.

Ketika aku memberinya tatapan curiga, ia menghela napas dengan marah.

“Itulah yang akan kujelaskan jika kau mau mendengarkan.”

Cukup adil.

Aku membanting pintu hingga terbuka, dan Dorara, yang tidak mampu menahan kekuatan itu, terhuyung-huyung jatuh ke lantai.

Ia tampak jengkel, jelas malu karena kalah adu kekuatan dengan seseorang di luar bidangnya, tetapi ia menepuk-nepuk debu dan berdiri, harga dirinya sedikit utuh.

“Apa maumu?”

Suasana hatiku sudah memburuk.

Seharusnya aku melewatkan ini saja.

Sekarang aku hanya ingin makan siang dan menyudahinya.

Dorara menghela napas dan bertanya padaku,

“Apa hubunganmu dengan Sharin?”

“Apa maksudmu, apa hubunganku?”

“Kalian berada di tim yang sama untuk kompetisi, dan aku pernah melihatmu bergaul dengannya di malam hari.”

Kupikir kami sudah cukup berhati-hati agar tidak menarik perhatian Isabel sekalipun.

Bagaimana dia bisa tahu?

“Kami teman.”

Jawabku, lalu aku memiringkan kepala.

“Apa kami teman?”

“…Kenapa kau terdengar tidak yakin dengan jawabanmu sendiri?”

Hubunganku dengan Sharin terlalu ambigu untuk disebut persahabatan.

Sejujurnya, kami berada dalam pengaturan transaksional, dengan Isabel sebagai syaratnya.

Mengingat betapa tak terduganya Sharin, jauh lebih mungkin ia membantuku karena rasa ingin tahu daripada persahabatan sejati.

Jujur, aku tidak bisa memastikannya.

“Pfft. Jadi, bahkan bukan teman, ya? Sudah kuduga. Seolah-olah orang sepertinya bisa punya teman.”

Kata-kata Dorara tajam, dan ia tidak repot-repot menyembunyikan rasa jijiknya pada Sharin.

“Baiklah. Kalau begitu aku tidak punya urusan di sini.”

“Apa alasanmu memanggilku kemari? Setidaknya jelaskan itu.”

Sekarang, aku benar-benar penasaran.

Ketika aku menanyakan alasan sebenarnya ia memanggilku, Dorara melirikku.

Kemudian, seringai perlahan menyebar di bibirnya.

Ada kedengkian yang aneh dalam senyumnya.

“Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu.”

“Tentang apa?”

“Tentang betapa kotornya garis keturunannya.”

Tentu saja.

Dorara mengatakan persis seperti yang kuduga.

“Apa kau tahu? Ibunya dulu bekerja di rumah bordil. Dia meninggal karena sifilis, katanya.”

Begitu ia mulai bicara, ia sepertinya tidak bisa berhenti.

“Tapi dia menyembunyikan semua itu dan hidup bermandikan pujian dari semua orang. Melihat perempuan penyakitan itu saja sudah membuatku muak. Terlalu lama di dekatnya, kau juga akan tertular sifilis…”

Dan saat itulah Dorara terpelanting.

Lebih tepatnya, karena tinjuku mendarat telak di rahangnya.

“Gahk!”

Buk!

Ia menghantam lantai dengan keras, terguling di lantai.

Baik di dalam game maupun di dunia nyata, orang ini secara konsisten adalah sebuah kompleks inferioritas berjalan.

Tidak mampu mengalahkan Sharin dalam sihir, ia terpaksa menyebarkan rumor untuk menopang egonya yang rapuh.

‘Jadi karena ini rumor tentang Sharin menyebar di dalam game.’

Orang inilah yang menyebarkannya.

“Kau—kau gila?! Apa yang kau lakukan?!”

Dorara berteriak, gemetar karena marah, rahangnya tampak bergeser.

Sambil menyaksikan keadaannya yang menyedihkan, aku meregangkan tinjuku.

“Oh, tidak ada apa-apa.”

Krak—

Buku-buku jariku berbunyi saat aku mengendurkan tangan.

“Aku hanya berpikir, jika orang sepertimu merasa perlu menyeretku ke dalam omong kosong ini, mungkin reputasi burukku tidak semenakutkan yang kukira.”

Di Akademi Zeryon, reputasiku—atau lebih tepatnya, nama burukku—sudah tersebar luas.

Sampai-sampai aku bahkan mendapat julukan ‘Bocah Petir’.

Banyak orang yang mencoba menggangguku karena itu.

Selama mereka tidak melewati batas, aku membiarkannya.

Tapi begitu mereka melewatinya, aku selalu memastikan untuk menyelesaikannya dengan tuntas.

Seiring waktu, itu memberiku semacam pengakuan, dan sekarang aku bahkan menjadi anggota resmi dewan siswa.

Karena itu, sudah cukup lama tidak ada yang berani mencari gara-gara denganku.

“Yah, kurasa sudah waktunya untuk menghajar murid sihir peringkat kedua dan membiarkan reputasiku tumbuh sedikit lagi.”

Mari kita lihat bagaimana rasanya melawan seorang penyihir.