— Paris, 2015
Elwiena berdiri di depan rak apotek, jantungnya berdetak kencang, seperti drum yang tak bisa diredam. Cahaya neon di atasnya berkedip pelan, memantul di kotak-kotak berwarna yang berjejer rapi: Soft, Satiné, dan di sudut, Manix, merek yang diminta Tuan John. "Ukuran besar," katanya dalam email semalam, tanpa penjelasan, tanpa malu.
Elwiena menggenggam keranjang belanja, jari-jarinya dingin, matanya menyapu tulisan emas di kotak hitam itu. Apa yang dia lakukan di sini, di apotek kecil di gang sempit Paris, membeli pengaman untuk bosnya? Ini bukan tugas sekretaris. Ini... sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Kasir, seorang wanita tua dengan kacamata tebal, meliriknya dari balik meja.
Elwiena menunduk, berharap wajahnya tak memerah. Dia meraih kotak Manix, melemparkannya ke keranjang di samping roti dan telur untuk sarapan John. "Ini pasti lelucon," gumamnya, tapi suaranya tak meyakinkan.
Lelucon tak akan membayar tagihannya, tak akan menyelamatkan pernikahannya yang retak, tak akan mengusir bayang Justin yang semakin asing.
Dia melangkah ke kasir, menahan napas saat wanita itu memindai barang-barangnya. Kotak Manix berbunyi bip, dan Elwiena merasa dunia menatapnya.
"Empat euro," kata kasir, suaranya datar.
Elwiena menyerahkan uang, tangannya gemetar, dan buru-buru keluar. Hujan gerimis masih membasahi trotoar, udara pagi Paris dingin di kulitnya. Jam tangannya menunjukkan 05:45, waktu yang cukup untuk sampai ke mansion John di ujung kota.
Dia menarik napas, mencoba menenangkan diri. "Kau bisa melakukan ini," bisiknya, tapi kata-kata itu terasa kosong, seperti janji Justin yang dulu manis di Provence.
Di métro, dia duduk di sudut gerbong, keranjang belanja di pangkuannya. Pikirannya melayang ke pagi tadi, saat meninggalkan Justin yang mendengkur di sofa. Dia sudah menyiapkan sarapan untuknya, kopi, roti, seperti biasa, tapi Justin tak bangun, tak peduli.
Tiga tahun lalu, pria itu akan memeluknya dari belakang, mencium lehernya, dan berbisik, "Kau terlalu baik untukku, El." Kini, dia hanya bayang-bayang, suami yang pulang larut dengan bau alkohol dan alasan yang tak pernah jelas. "Pengurangan pegawai," katanya tentang pemecatannya. Elwiena ingin percaya, tapi kecurigaannya tumbuh, seperti racun yang merayap di nadinya.
***
Mansion John Xavier berdiri megah di ujung gang bercabang, dikelilingi pagar besi hitam dan pohon-pohon tua yang bergoyang diterpa angin. Dinding batu abu-abunya berkilau basah, jendela-jendelanya tinggi, seperti mata yang mengintai.
Elwiena memasukkan kode sandi yang dikirim John semalam, pintu gerbang berderit pelan saat terbuka. Dia melangkah masuk, sepatunya menginjak kerikil yang berderak. Jam menunjukkan 06:00 tepat. Dia tak boleh terlambat, John sudah memperingatkan itu.
Di dalam, lorong panjang menyambutnya, lantai marmer memantulkan bayangannya. Lampu kristal di langit-langit redup, menciptakan suasana yang terlalu intim untuk rumah seorang CEO.
Elwiena menuju dapur, meletakkan keranjang di meja granit. Dia menyiapkan sarapan sesuai perintah: roti panggang, kopi hitam yang aroma pahitnya memenuhi udara, telur orak-arik yang mendesis di wajan. Tapi pikirannya tak bisa lepas dari tugas lain, setelan Armani hitam, dasi merah, jam tangan Rolex, dan... celana dalam hitam CK.
Dia menelan ludah, membayangkan harus memilih pakaian dalam untuk pria yang baru dia temui kemarin, pria dengan mata predator dan senyum yang membuatnya gelisah.
Dia naik ke lantai dua, menuju kamar pakaian yang disebutkan dalam email. Ruangan itu luas, penuh lemari kaca berisi setelan mahal dan rak sepatu yang rapi.
Elwiena meraih setelan Armani, dasi sutra merah, dan jam tangan Rolex yang berkilau. Di laci bawah, dia menemukan tumpukan celana dalam hitam CK, baru, masih dalam kemasan.
Tangannya ragu, tapi dia mengambil satu, merasa seperti melanggar batas yang tak terucapkan. "Ini hanya bagian dari pekerjaan," gumamnya, tapi jantungnya berkata lain.
Saatnya membangunkan John. Elwiena melangkah ke kamar utama, tangannya menggenggam nampan sarapan, setelan digantung di lengan kirinya. Pintu kamar setengah terbuka, dan dia mendorongnya pelan, berharap John sudah bangun. Tapi apa yang dia lihat membuatnya membeku.
John Xavier, telanjang dada, berdiri di tepi ranjang besar dengan seprai sutra merah. Seorang wanita berambut pirang, tubuh langsing, hanya mengenakan lingerie hitam berlutut di depannya, tangannya mencengkeram pinggul John.
Gerakan mereka panas, ritmis, napas John berat, suaranya serak saat berbisik sesuatu yang tak Elwiena dengar.
Cahaya pagi menyelinap dari jendela, memantul di cermin besar di dinding, mencerminkan setiap detail otot punggung John yang berkontraksi, keringat di leher wanita itu, dan mata John yang... menangkap bayang Elwiena di ambang pintu.
Elwiena terpaku, nampan di tangannya gemetar, kopi nyaris tumpah. Dia harus pergi, harus berbalik, tapi kakinya seperti terpaku di lantai.
Adegan itu salah, menjijikkan, tapi ada sesuatu di dalam dirinya, sesuatu yang terbangun, yang membuat napasnya tersengal.
Justin sudah berbulan-bulan tak menyentuhnya, tak memandangnya seperti dulu. Dan kini, di depannya, John Xavier, pria yang kemarin menatapnya seperti mangsa yang memperlihatkan hasrat yang mentah, liar, dan tak terkendali.
John menoleh, matanya cokelat berkilat, menangkap Elwiena di pintu. Dia tak berhenti, justru mendorong pinggulnya lebih dalam, bagian intimnya terbenam dalam mulut wanita itu, gerakannya lambat tapi sengaja, seperti pertunjukan.
"Kau tepat waktu, Sekretaris Elwiena," katanya, suaranya serak, penuh ejekan sensual. Wanita itu mengerang, tangannya mencengkeram paha John, kuku merahnya meninggalkan bekas.
Elwiena merasa wajahnya panas, dadanya sesak. Dia tahu dia harus pergi, tapi matanya tak bisa lepas dari tubuh John, otot perutnya yang tegang, keringat yang menetes di dadanya, dan cara dia mengendalikan wanita itu dengan tangan di rambutnya.
"Letakkan sarapan di meja," perintah John, nadanya dingin tapi matanya penuh api. "Atau... kau ingin bergabung?"
Elwiena tersadar, buru-buru meletakkan nampan di meja samping, setelan jatuh dari lengannya ke lantai. "Maaf, Tuan," gumamnya, suaranya pecah, dan dia berbalik, hampir tersandung saat keluar.
Di lorong, dia bersandar di dinding, napasnya tersengal, tangannya menutup wajah.
Apa yang baru saja dia lihat? Dan mengapa, di tengah rasa jijik, ada getar aneh di dadanya, sesuatu yang membuatnya merasa hidup, untuk pertama kalinya setelah sekian lama?
Dia kembali ke dapur, mencoba fokus pada tugas berikutnya, tapi bayang John tak mau pergi. Matanya, suaranya, gerakannya "it was all wrong, but it stirred something in her."
***
Saat jam menunjukkan 07:00, John turun, sudah mengenakan setelan Armani yang dia pilih, dasi merahnya rapi, jam Rolex di pergelangannya berkilau. Wanita pirang itu tak terlihat, seolah lenyap seperti mimpi buruk. John tersenyum, senyum predator yang kemarin membuat Elwiena gelisah.
"Sarapanmu enak," katanya, mengambil cangkir kopi, jari-jarinya sengaja menyapu tangan Elwiena saat menerima cangkir. "Tapi lain kali, jangan kabur begitu cepat. Aku suka penonton yang... berani." Matanya menelusuri wajah Elwiena, singgah di bibirnya, lalu naik lagi, penuh godaan.
Elwiena menegakkan kepala, menahan dorongan untuk mundur. "Saya sekretaris, Tuan, bukan penutup untuk drama Anda," katanya, nada sarkastiknya pedas, meski jantungnya berdetak kencang. "Kalau Anda ingin pertunjukan, sewa teater."
John tertawa, suara itu rendah, sensual, membuat udara di dapur terasa berat. "Kau sangat lucu, Elwiena. Tapi jangan khawatir, kau akan terbiasa dengan... kebiasaanku."
Dia mencondongkan tubuh, suaranya turun jadi bisikan. "Malam ini, pesan kamar di Hôtel Écarlate. Suite penthouse. Kau tahu apa yang kuperlukan... pengaman, anggur, dan... suasana yang tepat."
Elwiena menelan ludah, tangannya mencengkeram meja. "Untuk urusan bisnis?" tanyanya, suaranya tegas, tapi ada keraguan di matanya.
John tersenyum, tak menjawab, hanya melangkah keluar, meninggalkan aroma parfumnya yang masih menggantung.
Elwiena bersandar di meja, napasnya berat. Dia harus pulang, harus menghadapi Justin, harus kembali ke dunia yang retak. Tapi bayang John Xavier, dengan matanya yang penuh janji gelap, mengikuti langkahnya seperti bayang-bayang.
Apa yang John Xavier inginkan darinya? Dan mengapa Elwiena tak bisa mengusir getar itu, bahkan saat dia tahu itu akan menghancurkannya?