Naiji hanyalah seorang siswa SMA biasa, bahkan. Ia tidak populer, tidak jago olahraga, dan tidak pintar berbicara di depan umum. Ia menjalani hidupnya dengan damai, tanpa banyak konflik ataupun ambisi besar. Di sekolah, Naiji lebih sering menyendiri, menjadi bayangan di antara teman-temannya yang ramai bercanda atau sibuk membahas hal-hal yang menurutnya tidak penting.
Namun Naiji tidak membenci kesendiriannya. Bagi dia, itu adalah zona nyaman. Tempat ia bisa berpikir tenang dan hidup sesuai caranya sendiri. Pulang sekolah pun bukan waktunya untuk bersosialisasi melainkan waktunya tenggelam dalam dua hal yang paling ia sukai yaitu bermain game dan menonton anime.
Game yang ia mainkan biasanya bergenre FPS penuh aksi, refleks cepat, dan strategi. Di balik sifat pendiamnya, Naiji punya naluri tajam dan akurasi yang mematikan. Tak ada yang menyangka bocah pendiam itu bisa jadi penembak jitu di dunia maya.
Saat tak sedang bermain, ia menonton anime. Genre favoritnya adalah fantasi dan reinkarnasi dunia-dunia penuh sihir, naga, dan petualangan. Tapi entah sejak kapan, ia mulai merasa bosan. Semua terasa sama. Seorang pemuda mati konyol, bertemu dewa, lalu diberi kekuatan luar biasa di dunia lain. Lalu jadi pahlawan. Lalu disukai gadis-gadis.
"Sihir kuat, kekuatan dewa, tubuh tak terkalahkan... ya ampun, kayak nggak ada ide lain aja," gumamnya suatu malam sambil mematikan layar.
Naiji tak sadar, dunia yang ia anggap membosankan justru sedang menatapnya kembali. Dan nasibnya... akan berubah lebih cepat dari yang ia bayangkan
Keesokan harinya saat bel pulang sekolah, Langit sore itu tampak tenang, dihiasi semburat jingga yang perlahan menyapu birunya. Naiji melangkah santai keluar dari gerbang sekolah, ransel tergantung di satu bahu, pikirannya sudah melayang ke rumah, lebih tepatnya ke PC yang menunggunya.
Namun sebelum sempat menikmati angin sore, ponselnya bergetar di saku. Ia mengangkatnya, tanpa melihat nama penelepon. Suara lembut ibunya langsung terdengar.
"Naiji, bisa mampir ke minimarket dulu? Belikan minyak dan susu, ya."
"Oke," jawab Naiji singkat, sudah terbiasa dengan permintaan mendadak semacam ini.
"Uangmu masih ada, kan?"
"Masih, cukup kok."
Panggilan berakhir. Naiji memasukkan ponselnya ke saku, menghela napas pelan. Rencana langsung pulang sedikit tertunda. Tapi ia tidak keberatan. Setidaknya udara sore ini cukup sejuk.
Belum sampai di perempatan pertama, suara yang sudah sangat dikenalnya menyapa dari belakang.
"Oi, Naiji!"
Ia menoleh dan mendapati sosok yang sangat ia kenal, Gojo. Teman satu-satunya yang benar-benar sefrekuensi dengannya. Sama-sama introvert, sama-sama penikmat anime, dan sama-sama gila main game FPS sampai tengah malam.
"Dari mana?"
"Dari neraka kelas tambahan," keluh Gojo sambil memutar bola matanya. "Lu sendiri?"
"Langsung pulang. Tapi mampir dulu ke minimarket."
Mereka berjalan berdampingan, membahas episode terbaru dari anime yang mereka ikuti. Mulai dari teori reinkarnasi karakter utama, hingga bagaimana karakter isekai zaman sekarang makin absurd dengan kekuatan overpower.
"Gue nonton anime baru semalam," kata Gojo. "MC-nya mati ketabrak truk, terus dikasih tubuh dewa dan punya harem enam orang."
Naiji hanya tertawa kecil. "Lagi-lagi gitu. Klasik banget. Gue udah muak lihat yang kayak gitu."
Mereka tertawa bersama. Meski hidup mereka sederhana, momen seperti ini terasa menyenangkan, ringan, tanpa beban.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di persimpangan.
"Gue ke arah rumah," kata Gojo. "Lu hati-hati di minimarket, ya."
"Santai aja, paling juga cuma beli dua barang doang."
Mereka berpamitan, dan Naiji berbelok menuju minimarket kecil di sudut jalan. Bel masuk berdenting ketika pintu kaca terbuka. Ia langsung menuju rak minyak dan pendingin susu, mengambil dua barang sesuai permintaan ibunya.
Saat berjalan ke kasir, ia melihat dua pelanggan lain sedang memilih camilan. Seorang ibu membawa anak kecil, dan satu pria muda dengan jaket hitam berdiri di ujung lorong.
Tiba-tiba, pintu terbuka keras. Dua pria bertopeng masuk dengan langkah cepat. Tanpa peringatan, salah satunya mengangkat pistol.
Dor.
Peluru pertama menembus tubuh pria di dekat pintu. Jeritan memenuhi ruangan. Semua orang panik, berusaha bersembunyi. Tapi tidak ada peringatan, tidak ada negosiasi. Para perampok tidak datang untuk mencuri mereka datang untuk membantai.
Naiji berdiri kaku. Dunia seolah melambat. Ia tak sempat bergerak, tak sempat berpikir. Suara letusan senjata kedua membelah udara, dan segalanya menjadi gelap.
Saat kesadarannya perlahan kembali, Naiji membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Cahaya keemasan menyelimuti seluruh ruang, dan langit di atasnya tampak seperti lukisan indah, bersih, hangat, dan penuh warna. Hamparan padang hijau membentang luas, dipenuhi bunga-bunga bercahaya yang tampak berbisik dalam angin lembut.
“Ini... bukan dunia yang aku kenal,” gumamnya pelan.
Tiba-tiba, sosok bercahaya muncul di hadapannya. Seorang wanita cantik dengan rambut seputih salju dan mata berkilau bagai bintang. Gaunnya melayang lembut seperti kabut, dan senyumnya memancarkan ketenangan sekaligus keanggunan ilahi.
“Hai, Naiji. Akhirnya kau sadar juga,” ucapnya dengan suara lembut, nyaris seperti nyanyian.
Naiji mengerjap. “Siapa kau? Di mana aku?”
“Kau berada di kediamanku. Aku adalah Dewi yang mengatur reinkarnasi.”
Naiji terdiam sejenak, lalu bertanya dengan suara lebih pelan, “Kenapa aku di sini?”
Dewi itu tersenyum manis. “Kau lupa? Kau mati secara tragis di minimarket. Ditembak dalam sebuah perampokan.”
Ingatan itu menamparnya, darah, teriakan, suara tembakan, semua datang kembali seketika.
Naiji menghela napas. “Jadi… aku sudah mati.”
“Benar. Tapi kematianmu bukanlah akhir. Aku memberimu kesempatan untuk memulai dari awal. Kau akan bereinkarnasi di dunia pedang dan sihir, sebagai anak keluarga bangsawan. Dan tentu saja, aku akan memberimu sihir tingkat dewa. Kau bebas melakukan apapun yang kau mau.”
Naiji memiringkan kepala, matanya menyipit. “Serius? Overpower lagi?”
“Kenapa? Bukankah banyak orang ingin hal seperti itu? Apalagi para penikmat anime sepertimu.”
Naiji menghela napas panjang. “Bukan tak suka, tapi itu sudah basi. Kekuatan besar, jadi pahlawan, dikelilingi gadis-gadis. Klasik banget. Kalau boleh memilih, aku ingin hal yang beda.”
Dewi menaikkan alisnya, tertarik. “Katakan.”
“Beri aku stamina yang tak terbatas, skill penciptaan sihir, dan kemampuan menggunakan senjata militer dari dunia asalku… lengkap dengan peluru yang tidak ada habisnya.”
Senyum Dewi itu melebar. “Kau menarik, Naiji. Baiklah. Permintaanmu kukabulkan. Selamat menikmati kehidupan barumu.”
Seketika, cahaya menyelubungi tubuh Naiji. Pandangannya mengabur, kesadarannya pun memudar.