Prologue

Narator:

Tahun 2075, bumi tenggelam dalam berbagai krisis besar yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Makanan menjadi langka, air bersih sulit ditemukan, dan dunia diguncang oleh konflik politik, rasis antara agama, rasis antara ras, serta pertikaian antarnegara. Sementara itu, teknologi terus berkembang tanpa batas, tapi bukannya menyelamatkan, justru memperburuk keadaan.

Dalam suasana penuh kecurigaan dan kebencian, negara-negara mulai saling menyerang. Mereka menggunakan senjata-senjata canggih yang dikendalikan oleh kecerdasan buatan—robot tempur AI, tank AI dan pesawat nirawak AI, drone kamikaze AI, kapal perang AI, serta senjata lainnya yang tak lagi membutuhkan manusia untuk berpikir atau merasa.

Perang Dunia Keempat pun pecah. Teknologi, yang dulu dianggap sebagai penyelamat peradaban, kini berubah menjadi mesin pembantai. Dunia menjadi medan perang besar yang kejam, tanpa ampun, tanpa belas kasihan.

Di tengah perang yang mengganas, para elit politik dan pengusaha kaya segera membangun bunker mewah di bawah tanah. Mereka melarikan diri ke tempat aman, meninggalkan rakyat biasa di permukaan untuk menghadapi kehancuran sendirian. Kaum miskin tetap dipaksa bekerja demi kenyamanan para elit, bahkan dijadikan budak modern dalam dunia yang runtuh.

Keserakahan manusia memperparah segalanya. Perjanjian damai dilanggar, rudal hypersonic dan balistik antar benua berhulu ledak nuklir mulai dijatuhkan. Kota-kota hancur, jutaan nyawa hilang, dan bumi berubah menjadi padang kehancuran yang tak bisa dikenali lagi.

Setelah perang nuklir, dunia luar jadi tempat yang nyaris tak bisa ditinggali. Sumber daya seperti makanan, air, dan listrik sangat terbatas. Udara tercemar, penuh racun, memaksa orang memakai masker dan pakaian pelindung hanya untuk keluar sebentar.

Di luar sana, ancaman datang dari mana-mana. Bandit bersenjata berkeliaran mencari persediaan. Bentrokan antar manusia terjadi hampir setiap hari. Dunia menjadi kacau, penuh ketakutan dan penderitaan.

Di dalam bunker, para diktator, oligarki, elit politik, dan keturunan bangsawan saling bersaing. Mereka memperebutkan sisa-sisa sumber daya, mendirikan sistem pemerintahan baru—baik itu tirani, militeristik, atau demokrasi palsu—semua demi mempertahankan kekuasaan mereka.

Bunker-bunker itu berubah menjadi istana bawah tanah yang dipenuhi intrik, pengkhianatan, dan kekejaman. Mereka berbicara tentang perdamaian, tapi yang mereka lakukan hanyalah memperpanjang penderitaan.

Namun mereka lupa, kekuasaan tidak berlangsung selamanya. Ketika kelaparan mulai menyiksa, manusia melakukan apa pun untuk bertahan hidup. Termasuk memakan sesamanya. Kanibalisme menjadi rahasia kelam yang tersembunyi di balik dinding-dinding bunker mewah mereka.

Setelah Perang Dunia keempat usai, bumi menjadi tandus. Rudal balistik hipersonik berbulu ledak nuklir menciptakan kawah-kawah besar. Manusia mencoba menanam makanan di daerah yang jauh dari lokasi ledakan, menggunakan benih yang sudah lama disimpan dalam bunker khusus supaya kualitasnya tetap bagus. Namun tanah telah tercemar, dan tidak ada yang tumbuh. Harapan mereka kandas.

Sebelum perang, umat manusia sempat menyimpan alat penyaring air canggih. Di bunker, air hitam pekat itu disaring selama dua minggu agar bisa diminum. Rasanya pahit dan baunya apek, tapi itu satu-satunya pilihan. Air minum dipisahkan dalam tangki khusus, sedangkan air untuk kebutuhan lain digunakan dari tangki terpisah.

Untuk sumber energi, mereka membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di bagian terdalam bunker. Saat cadangan menipis, mereka mengirim tim pencari—dilengkapi masker dan pakaian pelindung—ke reruntuhan tambang uranium dan reaktor tua.

Para penguasa di bunker pun membentuk pasukan elit:

1. Pasukan Pencari Makanan dan Obat-obatan

2. Pasukan Pencari Uranium

3. Pasukan Pertahanan Dalam Bunker

4. Pasukan Penyerang Bunker Lain

5. Pasukan Rahasia untuk Mata-mata dan Informasi,

Namun di tengah semua kegelapan itu, masih ada harapan. Meski dunia hancur dan manusia saling membunuh, masih ada yang bertahan. Masih ada yang percaya bahwa dunia bisa dibangun kembali, meskipun jalan menuju sana dipenuhi penderitaan.

– Bersambung –

Bab Berikutnya: Rapat Tahunan Bunker Ahool