Narator:
Pada tanggal 1 Januari 2101, pukul 05.00 pagi, di dalam bunker lantai lima yang sepi dan dingin, seorang pria muda bernama Zenaida Raizen sedang tertidur pulas. Rambutnya bergaya low fade, tubuhnya tegap dan atletis—seperti hasil latihan yang disiplin.
Ia tidur sangat nyenyak. Suaranya teratur, dan air liur menetes dari sudut bibirnya, membasahi bantal. Tapi tiba-tiba, udara di dalam ruangan mulai berubah. Butiran cahaya kecil muncul dari dinding dan lantai, melayang-layang seperti debu yang menyala.
Bunyi dentingan lembut terdengar, seperti suara lonceng dari kejauhan. Angin berembus pelan, padahal tidak ada jendela. Lalu cahaya putih muncul di atas tubuh Zenaida, semakin terang dan menyilaukan. Cahaya itu seperti hidup—berputar dan mengelilinginya, lalu perlahan-lahan mengangkat tubuhnya ke udara.
"Zzzzrrtt... Wuuung..."
Suara aneh seperti campuran siulan dan listrik memenuhi ruangan. Dalam satu kilatan cahaya, tubuh Zenaida menghilang. Bunker kembali sunyi, seolah tak pernah ada siapa pun di sana.
Zenaida terbangun di tempat asing. Ia menggantung beberapa sentimeter di atas tanah, dikelilingi cahaya yang perlahan menghilang. Ia mengusap matanya cepat-cepat, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Napasnya mulai berat. Semuanya terasa aneh.
Tanah di bawahnya berwarna ungu kebiruan. Kabut tipis menyelimuti tempat itu. Pohon-pohon tinggi melayang di udara, dan batu-batu besar mengapung tanpa jatuh. Langit berwarna gelap, tapi dipenuhi cahaya seperti aurora yang terus bergerak.
"AAAAARGH!!!"
Zenaida menjerit sekeras-kerasnya. Suaranya menggema ke seluruh penjuru tempat itu. Ia panik, ketakutan, dan tidak tahu di mana dirinya berada. Dunia ini... bukan dunia yang ia kenal.
"Wah! Tunggu dulu, kenapa aku di sini? Bukannya aku tidur di kamar? Kok bisa aku ada di luar? Apa ini mimpi?." ucap Zenaida Raizen."
Narator:
Kemudian, Zenaida Raizen mengusap-usap rumput, merasakan kelembutan serat-serat hijau di bawah telapak tangannya. Rumput itu terasa hidup—hangat dan lembap, seperti baru disiram embun. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah dan udara asing yang belum pernah ia cium sebelumnya.
Ia berdiri perlahan, sementara pikirannya berkecamuk, mencoba memahami situasi yang sedang dihadapinya. Langit berwarna keemasan membentang di atas kepala, dengan formasi awan yang bergerak lambat, seolah waktu berjalan berbeda di tempat ini. Suasana hening, hanya terdengar desir rumput bergoyang. Ketika semua terasa tenang, kebingungan dalam dirinya justru semakin dalam.
"Kalau ini bukan mimpi, aku harus cari sesuatu yang keras dan rasakan sakit," Ucap Zenaida Raizen, ekspresinya campur aduk antara kebingungan dan panik.
Narator:
Suaranya agak meninggi, mencerminkan keheranan dan kebingungan yang mendalam. Matanya berkedip-kedip, mencoba mencerna situasi aneh yang sedang ia alami. Dunia di sekitarnya begitu asing—terlalu indah dan nyata untuk sebuah mimpi. Suasana tegang dan penuh ketidakpastian menyelimuti dirinya.
Zenaida Raizen segera mencari benda yang bisa menyebabkan rasa sakit. Matanya bergerak cepat, mengamati sekeliling dengan penuh kewaspadaan. Lalu, pandangannya tertuju pada sebuah pohon besar di kejauhan. Pohon itu menjulang tinggi, dengan kulit pohon yang mengilap seperti logam tua dan akar yang bercahaya samar.
Sebuah ide tiba-tiba muncul dalam benaknya. Tanpa ragu, dia berlari menuju pohon itu dengan langkah mantap, posenya menyerupai seekor banteng yang marah. Suara desing angin terdengar saat tubuhnya melaju cepat, menabrak pohon dengan kekuatan penuh.
DUUUKK!!
Dentuman keras menggema di udara. Getaran dari benturan itu memantul di antara pepohonan dan bebatuan mengambang. Suasana tegang dan penuh determinasi memenuhi udara di sekitarnya.
"ADUH! INI SANGAT SAKIT SEKALI!" teriak Zenaida Raizen. Wajahnya meringis kesakitan, sementara tubuhnya jatuh terduduk di tanah. Matanya mengerjap-ngerjap, mencerminkan intensitas rasa sakit yang dirasakannya.
Narator:
Zenaida Raizen terus berteriak dengan keras, sambil air mata mengalir di pipinya. Ia menggigit bibir, menahan rasa nyeri yang terus menusuk. Tangannya refleks memegang kepala dengan erat, mencoba meredakan denyut tajam yang berdenyut di pelipisnya.
Matanya terbelalak saat melihat telapak tangannya—penuh darah. Cairan merah pekat mengalir dari luka di kepalanya. Ia terdiam sesaat, tubuhnya bergetar. Ekspresi wajahnya mencerminkan kekagetan yang mendalam atas kejadian tersebut.
"Apa ini darah? Ini bukan mimpi, bukan, Ini benar-benar sakit!! Aku ada di mana sekarang? Sepertinya ini bukan Bumi yang kukenal, dan ini rumput, Di dunia ku, rumput sudah tidak tumbuh lagi, akibat senjata nuklir. Kalau sudah begini, aku harus mencari pemukiman atau bangunan untuk bertanya, di mana aku berada sekarang." Ucap Zenaida Raizen. Ekspresinya penuh dengan keheranan dan ketidakpercayaan. Suaranya gemetar sedikit, mencerminkan kebingungan dan kecemasan yang mendalam atas situasi yang baru saja dialaminya. Langkah berikutnya tidak jelas, tapi satu hal pasti—ia kini berada di dunia yang bukan miliknya. (+) #1 √
Narator:
Zenaida Raizen berjalan kaki dengan langkah mantap, menyusuri medan asing yang membentang luas di depannya. Ia terus mencari—pemukiman, bangunan, atau tanda kehidupan apa pun yang bisa memberinya petunjuk tentang tempat ini. Angin menyapu pelan, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang belum tersentuh teknologi.
Setelah berjalan sangat jauh, matanya menangkap hamparan pohon-pohon tinggi yang rimbun, daunnya berkilau kehijauan di bawah cahaya matahari ungu yang menggantung rendah di langit. Udara terasa lembut, dan sinar langit seolah menari di antara ranting-ranting.
Ia akhirnya berhenti dan bersandar di bawah bayangan salah satu pohon, menghela napas panjang untuk mengusir lelah yang menumpuk.
Keheningan alam, nyanyian angin sejuk, dan kehadiran buah-buahan segar menghadirkan sedikit kenyamanan di tengah kabut kebingungan yang masih menyelimuti hatinya.
Saat itulah perutnya berbunyi—nyaring dan menyentak kesadarannya.
Tatapannya terarah ke cabang-cabang pohon di atas, yang penuh dengan buah-buahan berwarna cerah. Beberapa berkilau lembut, dan aroma manis yang menyegarkan langsung memenuhi udara di sekitarnya. Tanpa ragu, Zenaida Raizen memetik lima buah sekaligus, sebelum memakannya Dia berkomentar tentang bentuk buahnya dan aromanya.
"Tapi kenapa buah ini berbentuk aneh dan aroma buahnya sangat harum sekali. tidak ada pilihan lagi aku akan memakan buah ini karena lapar." Ucap Zenaida Raizen dengan nada sedikit waspada dan terpaksa."
Narator:
Ketika dia mencicipi buah itu, matanya melebar penuh kekaguman. Rasa manisnya menyeruak seperti letupan madu hangat, menyebar di lidahnya, membuat seluruh tubuhnya merasa lebih hidup.
"Ini!!!. Luar biasa! Rasanya benar-benar manis seperti madu." Ucap Zenaida Raizen, ekspresinya mencerminkan keheranan dan kegembiraan.
Narator:
Zenaida Raizen menghabiskan kelima buah itu, dan rasa kenyang perlahan mengalir di tubuhnya. Tubuhnya terasa ringan, seperti diliputi kabut halus yang menenangkan. Ia bersandar, dan akhirnya tertidur dalam damai selama hampir satu jam.
Saat dia terbangun, sinar lembut matahari sudah bergeser sedikit. Tubuhnya kini segar kembali, tak ada lagi rasa lelah yang tersisa. Dengan semangat baru, dia melangkah mantap menuju hutan yang terhampar lebat di hadapannya.
Begitu memasuki hutan, suasana berubah drastis. Cahaya menipis, digantikan oleh bayang-bayang lembut dari daun-daun tinggi yang saling bersentuhan. Zenaida Raizen mengamati sekeliling dengan cermat—dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah. Keheningan di tempat ini terlalu sunyi... terlalu sempurna.
Tanpa sadar, ia mulai berbicara dalam hati, merasa ada sesuatu yang tidak wajar.
"Ini sangat aneh, kenapa tidak ada satu pun makhluk hidup di sini? Hutan ini penuh dengan berbagai macam buah-buahan di pepohonan dan sayur-sayuran. Aku merasa agak takut di sini. Aku akan mengambil rute lurus, semoga saja bertemu dengan seseorang di jalan nanti." Ucap Zenaida Raizen, ekspresinya penuh dengan kebingungan dan sedikit ketakutan.
Gerak tubuhnya menggambarkan perasaan campur aduk—antara heran, cemas, dan ketidakpastian. Suasana hutan begitu hening, seolah menunggu sesuatu terjadi.
Narator:
Zenaida Raizen terus melangkah lurus, menyibak semak dan ranting yang menggantung seperti tirai halus. Tiba-tiba, telinganya menangkap suara gemericik air. Suara itu jernih dan ritmis, seperti melodi alam yang mengundang.
Dengan langkah hati-hati, dia mengikuti arah suara tersebut. Semakin dekat, suara gemericik itu semakin jelas, menuntunnya menuju celah pepohonan yang terbuka lebar. Hingga akhirnya, dia tiba di tepi sungai yang lebarnya cukup besar.
Sungai itu mengalir tenang namun kuat, dengan permukaan air sebening kaca. Cahaya dari atas memantul di permukaan, menciptakan kilau seperti kristal cair. Aroma harum yang lembut menyeruak dari aliran air, menyentuh hidungnya seperti wangi bunga liar dan madu hutan.
"Apakah ini sungai? Mengapa aroma sungainya begitu harum dan airnya benar-benar bersih seperti kaca? Apakah aku boleh meminumnya?"
Ucap Zenaida Raizen dengan rasa penasaran yang memuncak.
Matanya terpana oleh keindahan alam yang menakjubkan di depannya.
Narator:
Zenaida Raizen menelan ludah, kehausan menyerangnya setelah perjalanan panjang. Tangannya gemetar saat ia menyentuh permukaan air, seolah ragu apakah itu nyata atau hanya ilusi.
"Aku akan meminumnya,"
Ucapnya dengan nada penuh keyakinan, tanpa keraguan sedikit pun dalam keputusannya.
Narator:
Air menyentuh bibirnya... dan saat ia meneguknya, sensasi yang mengejutkan mengalir ke seluruh tubuhnya. Segar, ringan, hampir tak terasa, seperti meminum udara yang dibungkus rasa manis halus.
"Ini! Tidak seperti air di duniaku yang pahit dan bau apek. Aku penasaran dengan arah aliran sungai ini. Baiklah, aku akan mengubah rute lurusku untuk mengikuti aliran sungai ini. Semoga aku dapat menemukan pemukiman warga atau bangunan jika mengikuti arus sungai ini,"
ucapnya dengan penuh kekaguman.
Matanya berbinar saat merasakan kesegaran air yang seperti susu itu menyentuh lidahnya."
Narator:
Zenaida Raizen melanjutkan perjalanannya, menyusuri aliran sungai yang meliuk indah seperti ular kaca di antara pepohonan. Cahaya menari di atas permukaan air, memantulkan kilau keperakan yang menghipnotis. Bunyi gemericik air mengiringi langkahnya, menciptakan melodi alami yang menenangkan… hingga akhirnya, ia tiba di ujung aliran sungai itu.
Namun, ketenangan itu seketika lenyap.
Di hadapannya terbentang jurang raksasa, dalam dan gelap tanpa dasar yang terlihat. Air sungai jatuh deras ke dalam kehampaan, menciptakan pusaran kabut bercahaya yang berputar-putar di udara seperti tarian roh air.
"Uwah, ini jurang! Hampir saja aku jatuh ke bawah, dan aliran air sungai ini turun begitu saja tanpa hambatan. Aku harus ekstra berhati-hati saat melangkah di sekitar sini." Ucap Zenaida Raizen dengan nada terkejut. Matanya membelalak saat menyadari betapa dekatnya ia dengan tepi jurang.
Suaranya penuh dengan kewaspadaan yang mendalam.
Narator:
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. Setelah itu, Zenaida Raizen berbalik arah, melangkah kembali ke dalam hutan dengan hati-hati. Tapi sebelum benar-benar masuk ke balik bayangan pepohonan, pandangannya tertumbuk pada sebuah bukit kecil di sisi kanan.
Di atas sana, ia pikir, ia bisa melihat lebih luas dan mungkin menemukan petunjuk tempat tinggal makhluk hidup.
Tanpa ragu, ia mendaki bukit itu. Semak berduri dan rumput tinggi menghalangi jalannya, namun ia terus maju. Setibanya di puncak, angin berhembus lembut menyapu rambutnya, membawa serta aroma tanah dan bunga liar yang tidak dikenalinya.
Tiba-tiba, matanya terpaku pada kilauan cahaya di sebelah barat. Cahaya itu bukan dari alam—itu jelas pantulan buatan, seperti logam atau kristal.
"Itu sebuah bangunan!!! Aku harus segera bergerak ke sana agar bisa menemukan orang-orang di sana,"
ucap Zenaida dengan cepat, ekspresinya penuh antusiasme."
Narator:
Dengan semangat menyala, Zenaida Raizen meluncur turun dari puncak bukit. Langkahnya cepat, kadang hampir terjatuh, tapi tekadnya lebih kuat dari rasa lelah. Hembusan angin seolah mendorong punggungnya, membawa tubuhnya menuju harapan baru.
Ketika akhirnya tiba di depan bangunan tersebut, napasnya tersengal-sengal. Jantungnya berdetak cepat—karena perjalanan panjang, tapi juga karena apa yang ia lihat di hadapannya.
Itu bukan sekadar bangunan biasa. Dindingnya memantulkan cahaya seperti permukaan kristal, menjulang tinggi dengan arsitektur megah dan gerbang yang dihiasi lambang misterius. Puncaknya berkilau seolah dilapisi emas murni.
"Kau bercanda, kan? Ini sebuah kastil? Saya mengira hanya menemukan bangunan biasa. Tapi, kenapa warnanya bisa memantulkan cahaya sejauh ini? Tapi tunggu, apa ini bukan pewarna?."
ucap Zenaida Raizen, ekspresinya tercampur antara keheranan dan ketidakpercayaan.
Rasa penasaran mulai tumbuh dengan cepat.
Narator:
Seketika, angin berhenti. Udara menjadi berat dan senyap. Lalu, sebuah suara muncul—samar namun jelas, menyelinap di antara tiupan angin seperti bisikan roh malam.
"Ah, kau benar. Itu bukanlah pewarna, melainkan emas murni..."
Suara itu bergema lembut, namun mengandung kekuatan magis yang membuat bulu kuduk Zenaida Raizen berdiri. Sorot matanya membesar, bibirnya terkatup rapat, dan tubuhnya mematung sesaat.
Tiba-tiba, suara itu kembali terdengar—lebih dekat, lebih nyata. Terlalu nyata.
Zenaida Raizen sontak terkejut. Refleks tubuhnya membuatnya mundur beberapa langkah, lalu terjatuh ke tanah karena kehilangan keseimbangan. Debu dan serpihan rumput menyebar saat tubuhnya menghantam permukaan.
"Haduh, sakit sekali..."
ia gemetar sambil meraba tubuhnya yang terasa nyeri akibat terjatuh.
"Tapi, apa aku tidak salah mendengar? Ada suara seseorang di sini..." ucap Zenaida Raizen, ekspresinya penuh kebingungan dan keheranan,
matanya menelisik setiap sudut bangunan megah itu, mencari sumber suara yang baru saja menyapanya."
Narator:
Zenaida Raizen langsung berteriak keras. Suaranya melengking, memecah keheningan siang yang ganjil, bergema di udara yang seolah membeku dalam keasingan. Tidak ada suara burung, tidak ada desir angin, hanya gema dirinya sendiri yang memantul di antara dinding kastil yang menjulang bagai penjaga bisu di balik langit yang cerah.
"Hey! Siapa tadi yang berbicara? Jangan bersembunyi! Tunjukkan wujudmu!"
seru Zenaida Raizen, suaranya sedikit bergetar.
Tatapannya tajam menyisir sekeliling, tetapi yang ditemuinya hanyalah bayangan yang bergerak lembut di antara cahaya yang memantul dari dinding emas kastil. Perasaan antara keberanian dan ketakutan saling menekan dalam dadanya."
Narator:
Dari balik pilar-pilar tinggi, suara itu kembali muncul. Tidak seperti bisikan, tidak seperti teriakan—melainkan gema samar yang menyatu dengan udara siang yang anehnya terasa dingin.
"Ya ampun, kau begitu tidak sopan... langsung berteriak,"
desis suara itu, nadanya terdengar seperti ejekan ringan, tenang namun membawa jejak kehadiran yang tak terlihat,
seolah ia bersembunyi di antara bayangan yang berkilau seperti kaca retak."
"Habisnya, saya sangat kaget saat tiba-tiba ada suara di dekat telinga saya.
Saya minta maaf telah berteriak begitu keras,"
jawab Zenaida Raizen dengan nada tulus.
Wajahnya sedikit memerah, namun sorot matanya tetap tajam, mencoba menembus misteri yang melingkupi tempat itu."
"Tidak apa-apa. Aku menerima permintaan maafmu," ucap suara itu, kini terdengar lebih hangat, seperti nada yang membelai,
namun tetap menyimpan sesuatu yang tak terjelaskan—sebuah kedamaian yang terasa... tidak wajar."
"Ngomong-ngomong... ini mimpi, bukan? Dan aku... aku sedang ada di mana ini?
Apakah kau tahu sesuatu tentang semua ini?"
Zenaida bertanya dengan suara yang lebih tenang, namun ada keraguan dalam benaknya. Segala sesuatu terlalu terang, terlalu nyata untuk sekadar mimpi."
Narator:
Jawaban itu datang dengan lambat, seperti sesuatu yang ditarik dari balik kabut tipis.
"Tentu saja aku mengenal tempat ini.
Kau berada di mana pun, manusia. Tapi aku tak akan memberikan jawaban atas pertanyaan semacam itu. Dan perlu kau ketahui—ini bukanlah sekadar mimpi,"
ucap suara itu, nadanya berubah menjadi lebih tegas, menggema dari segala arah, seolah datang dari dinding, langit, dan udara itu sendiri.
"Jadi... kau menolak memberitahuku keberadaanku, ya?, Tapi kau benar. Ini bukan mimpi. Aku membenturkan kepalaku ke pohon tadi—dan itu sungguhan sakit. Dan, ngomong-ngomong... siapa namamu? Kau sebenarnya ada di mana?"
tanya Zenaida Raizen, kali ini lebih tajam, mencoba menangkap siapa pun yang berbicara dengannya.
"Hahahah! Kamu benar-benar melakukan itu? Apakah kamu bodoh?" suara itu tertawa kecil, nyaring tapi tak membuat lega,
Aku berada di dalam kastil. Masuklah cepat..." suara misterius itu melanjutkan bicaranya."
Narator:
Zenaida menatap pintu besar kastil yang berdiri angkuh di hadapannya. Dindingnya berkilau, bukan karena pantulan cahaya biasa, melainkan seperti permukaan yang memantulkan cahaya dari dalam—hangat, tapi asing. Tidak ada suara burung, tidak ada angin, hanya keheningan yang kental dan penuh tekanan.
"Baiklah... kalau begitu, aku akan masuk,"
ucap Zenaida Raizen dengan suara mantap.
Kakinya melangkah pelan namun pasti. Di dalam dadanya, detak jantungnya menggema lebih kencang daripada langkah kakinya sendiri.
Semakin dekat ke pintu, rasa dingin merayap dari bawah kakinya hingga ke tengkuk, tapi ia tidak berhenti.
Narator:
Pintu kastil terbuka perlahan, seolah menyambutnya. Tidak ada derit, tidak ada gesekan. Hanya suara lembut seperti butiran pasir yang mengalir turun dari langit yang tak berawan. Dari dalam, semburat cahaya keemasan menyebar perlahan, menyentuh lantai dan menelusup hingga ke udara di luar.
Aroma bunga yang tak pernah ia kenali menyambutnya—manis, halus, namun ada sesuatu yang membuat Zenaida merasa seolah tempat ini telah menunggunya sejak lama."
Dia melangkah dengan mantap menuju pintu kastil yang menjulang tinggi. Pintunya terbuat dari emas murni, dengan ukiran yang sangat indah, dan sinar terang yang memancar darinya. Saat dia tiba di depannya, dia terdiam, tubuhnya gemetar dihadapan keajaiban yang terpampang di hadapannya,
Setelah memasuki kastil, Zenaida Raizen menemukan sudut-sudut yang dihiasi oleh tiang penguat bangunan yang besar. Kemudian, dia melangkah masuk ke sebuah lorong di mana terdapat pintu besar yang diukir dengan banyak motif aneh. Dengan sedikit keberanian, dia membuka pintu tersebut.
Saat memasuki ruangan itu, dia disambut oleh barisan pelayan wanita cantik dan pelayan pria tampan. Di ujung ruangan, terdapat sebuah tangga yang mengarah ke atas. Di atas tangga, terdapat singgasana kosong yang didampingi oleh tiga makhluk yang jelas-jelas bukan manusia.
Yang pertama adalah seorang perempuan berambut putih, mengenakan baju putih yang bersinar, namun dengan bagian dada dan perut terbuka, memancarkan pesona dan daya tarik penampilannya. Di atas kepalanya terdapat sebuah lingkaran bundar berwarna putih. Tubuhnya bersinar putih, dan sepasang sayap putih seperti merpati terletak di punggungnya. Dia tersenyum ramah kepada Zenaida Raizen.
Yang kedua adalah makhluk yang menyerupai manusia dan memiliki rambut merah, mengenakan zirah dada dan baju hitam yang robek-robek, dengan empat tanduk di kepala. Kepalanya dibalut oleh kobaran api hitam, dan sayapnya berwarna hitam tanpa keindahan. Pria ini menatap tajam ke arah Zenaida Raizen tanpa senyuman.
Yang ketiga adalah seekor ular bersisik merah, emas, dan hitam yang dipenuhi dengan duri-duri tajam. Ular itu melingkar di atas kursi singgasana raja berwarna hitam, dengan mata reptil berwarna merah yang menyeramkan, menatap Zenaida Raizen dengan ekspresi yang menampilkan senyum dan taring yang panjang.
Melihat ketiga mahluk tersebut, Zenaida Raizen mulai merasa ketakutan dan tubuhnya sedikit gemetar.
Kemudian, seorang perempuan berambut putih memecah suasana keheningan dengan mulai berbicara."
"Selamat datang. Perkenalkan, namaku adalah Cahaya, dan di sebelah kiri saya adalah..." ucap Cahaya dengan senang dan penuh kebahagiaan, matanya bersinar melihat kehadiran Zenaida Raizen."
"Tunggu, Cahaya. Biar aku saja yang memperkenalkan diri sendiri," ucap mahluk bersayap hitam dengan nada protes yang keras, menunjukkan ketegasan dan keinginannya untuk berbicara langsung kepada Zenaida."
"Aku juga ingin memperkenalkan diriku sendiri, Cahaya," ucap mahluk ular dengan nada serak dan dengan raut wajah senang hati, matanya berkilauan saat dia menunggu giliran untuk berbicara."
"Baiklah, aku mengerti. Jangan lupa perkenalkan diri kalian dengan benar, oke?" ucap Cahaya, suaranya penuh dengan semangat dan kebaikan hati, menekankan pentingnya pengenalan diri yang tepat."
"Perkenalkan, namaku adalah Zodiak," ucapnya dengan suara yang menyeramkan, matanya memancarkan aura misterius yang membuatnya terasa tak terduga."
"Namaku adalah Dabi. Kalau begitu, perkenalkan namamu, manusia," ucapnya dengan nada serak yang menegangkan. Sorot mata reptilnya membuat Zenaida Raizen merasa sedikit takut, merasakan kehadiran yang mengancam."
"Nama aku adalah Zenaida Raizen. Aku punya pertanyaan untuk kalian: ini bukan manusia kan? Terus, kalian apa? Dan, aku berada di mana sekarang?" ucap Zenaida Raizen dengan nada yang penuh ketakutan dan rasa ingin tahu yang mendalam, ekspresinya mencerminkan kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam."
"Tentu, kami bukan manusia. Aku adalah entitas yang disebut sebagai bidadari," ucap Cahaya dengan senyuman ceria, matanya berbinar dengan kegembiraan."
"Aku adalah iblis. Sebenarnya, aku tidak berkeinginan untuk datang ke sini hanya untuk menyambut mu, manusia rendahan," ucap Zodiak dengan nada sombong yang dipenuhi dengan ketidaksukaan terhadap manusia, tatapan matanya menusuk tajam penuh dengan keangkuhan yang tak terbantahkan."
"Cukup, Zodiak. Kamu baru saja dilepaskan dari neraka. Apakah kamu ingin kembali terikat di dalamnya?. Oh, aku lupa. Aku adalah Dabi Seekor reptil, jenis ku adalah ular," ucap Dabi dengan nada tegas, memperingatkannya dengan keras sambil menatap Zodiak dengan penuh kehati-hatian, seperti menyampaikan sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan."
"Aku tidak berniat kembali ke sana. Keberadaan di dalam neraka sungguh membosankan bagiku. Aku merindukan sensasi menyaksikan penderitaan manusia dan lebih memilih untuk menikmati pertikaian dan kekejaman manusia, bahkan hingga pada tindakan saling membunuh dan berzina di dunia yang fana ini. Ucap Zodiak dengan suara yang menggambarkan dominasi dan keangkeran yang mengintimidasi.
"Oh, betul, aku lupa bahwa engkau adalah iblis yang sangat membenci manusia," ucap Dabi yang penuh ironi terhadap Zodiak, dengan nada yang mengandung sedikit sinisme dan penekanan pada "sangat membenci manusia".
"Berhenti berbicara, kalian berdua! Apakah kalian lupa dengan tugas dari penguasa alam semesta yang di berikan kepada kita?" ucapnya dengan nada tegas dan kekecewaan yang jelas terdengar."
"Tentu aku ingat." Ucap Dabi dengan nada rendah, penuh dengan kesan yang menggigit ekspresinya menatap tajam, bibirnya menyeringai."
"Demi alasan tertentu, aku terpaksa menjalankan tugas ini," ucap Zodiak dengan nada terpaksa, suaranya terdengar seperti mengandung beban yang berat, sebagai cerminan dari konflik internal yang dialaminya."
"Baiklah, kalau begitu, aku akan memberitahumu mengapa kamu ada di sini. Pertama, kamu adalah makhluk terpilih untuk tinggal di sini selamanya, alias abadi. Kedua, dunia ini diciptakan untuk kamu tempati, dan namanya adalah planet Salana. Ketiga, kamu akan mendapatkan tugas untuk mengawasi dunia yang baru diciptakan oleh penguasa alam semesta, dan kamu diperbolehkan ikut campur dalam konflik dan pertikaian antar makhluk hidup di dunia baru itu. Keempat, kamu boleh melakukan apapun di sini, termasuk melakukan hubungan badan dengan para pelayan wanita atau denganku di sini. Kamu pasti lelah setelah berjalan jauh, jadi kepala pelayan, bawa dia ke ruang makan, berikan dia minuman dan makanan enak," ucap Cahaya dengan penuh keanggunan, suaranya bergetar dengan keangkeran dan kebijaksanaan yang terpancar dari setiap kata yang diucapkannya."
"Siap, kami akan melayani Tuan Zenaida Raizen dengan penuh dedikasi," ucap kepala pelayan dengan hormat."
"Zenaida Raizen, tolong ikuti kepala pelayan itu," ucap Cahaya dengan nada tegas."
"Baik, terima kasih atas penjelasannya," ucap Zenaida Raizen dengan sopan."
"Tidak perlu berterima kasih," kata Cahaya dengan lugas."
"Cepat, jangan membuang-buang waktu. Waktu Anda sangat berharga di sini," ucap Dabi dengan serius, menekankan pentingnya efisiensi."
"Hai, manusia rendahan, segera ikuti kepala pelayan itu dan hentikan keluh kesah Anda," ucap Zodiak dengan nada merendahkan, menunjukkan sikap sombongnya."
Narator:
Zenaida Raizen mengikuti kepala pelayan menuju ruang makan. Setibanya di sana, ia duduk di atas kursi emas yang mengelilingi meja berbentuk panjang, dengan kursi emas tersusun rapi di sekitarnya. Para pelayan memasuki ruangan membawa berbagai hidangan, mulai dari jus buah segar, es buah segar, beragam daging dan ikan, hingga berbagai macam sup dan hidangan lainnya."
"Hidangan telah komplit silakan dimakan semuanya tuan," ucap kepala pelayan."
"Maaf merepotkan kalian. Sebelum makan, aku ingin bertanya, kenapa kalian begitu cepat membuat makanan? Kalian memasak menggunakan peralatan apa?" ucap Zenaida Raizen dengan sopan, namun juga ingin tahu."
"Tidak apa-apa, malah kami senang melayani tuan. Kami juga tidak menggunakan apa-apa untuk membuat hidangan ini," ucap kepala pelayan dengan ramah, menunjukkan kesediaannya melayani."
"Huh! Apa maksudnya? Aku tidak mengerti," ucap Zenaida Raizen dengan kebingungan, mencoba memahami situasi."
"Kami membuat hidangan ini dengan memikirkannya di otak kami, lalu semua makanan itu muncul," jelas kepala pelayan dengan penuh keyakinan, menjelaskan cara unik mereka dalam menyajikan hidangan."
Narator:
Zenaida Raizen mengangguk, seolah-olah memahami, sambil berdialog dalam hatinya."
"HAH! Jawabanmu sungguh sulit dimengerti olehku," gumam Zenaida Raizen dalam hatinya, kebingungan tergambar jelas pada ekspresinya."
"Kalau begitu, selamat makan," ucap Zenaida Raizen dengan senyum tipis, mengakhiri percakapan dengan sopan."
Narator:
Zenaida Raizen langsung melahap makanan itu dengan lahap, hingga tidak ada sisa, karena dia merasa lapar dan haus setelah mendaki bukit dan berjalan cukup jauh, lalu luka yang ada di kepala sehabis menubrukkan dirinya ke pohon yang sangat keras langsung sembuh seketika.
Setelah itu, Cahaya, Zodiak, dan Dabi memasuki ruang makan untuk bertemu dengan Zenaida Raizen. Mereka bertiga nampaknya ingin menyampaikan sesuatu."
"Ah, sudah lama aku tidak makan sebanyak ini!" ucap Zenaida Raizen sambil bersendawa, lalu terkejut, "Oops."
"Apakah kau puas dengan makanannya dan sudah selesai?" tanya Cahaya."
"Lihat ini, manusia rendahan melakukan bersendawa yang tidak sopan," ucap Zodiak dengan nada jijik terhadap Zenaida Raizen."
"Ha HA HA HA," Dabi tertawa riang."
"Iya, aku sudah puas dan selesai. Terima kasih atas makanannya," ucap Zenaida Raizen dengan senyum."
"Oh, syukurlah kalau sudah puas dan selesai. Kalau begitu, kita akan bertemu lagi dengan wujud yang berbeda. Aku akan mengirimkan mu kembali ke duniamu. Sampai jumpa," ucap Cahaya."
"Eh, apa maksudmu?" tanya Zenaida Raizen dengan ekspresi bingung."
Narator:
Kemudian, tubuh Zenaida Raizen langsung menghilang, kembali ke dunianya."
*****
Narator: Bumi Pukul 7.50 pagi, Nik Albi bergegas menuju ruang tidur Zenaida Raizen di lantai 5 bawah tanah. Setibanya di depan pintu ruang tidur Zenaida Raizen, Nik Albi ingin mengantuk pintu. Namun, tiba-tiba terdengar suara keras (Bruk) dari dalam ruangan. Nik Albi segera mengetuk pintu dengan cepat dan berteriak.
"Zenaida Raizen, apakah kau baik-baik saja?" ucap Nik Albi dengan sedikit terkejut."
"Ya, saya baik-baik saja, dan siapa kamu?" ucap Zenaida Raizen dengan nada tenang, berusaha agar orang di balik pintu tidak curiga."
"Saya adalah Nik Albi. Saya datang kesini untuk menyampaikan tugas dari pimpinan tertinggi dan memberitakan kabar baik kepadamu," ucap Nik Albi dengan nada biasa."
"Tunggu sebentar, Nik Albi," ucap Zenaida Raizen dengan nada sopan, menunjukkan kesopanan dan penghormatan pada lawannya."
Narator:
Kemudian, dia merapikan pakaiannya dan menyisir rambutnya. Setelah itu, dia membuka pintu dan mengucapkan selamat datang kepada tamu yang datang."
Selamat datang, silahkan masuk. Maaf tempat saya sedikit kotor." ucap Zenaida Raizen dengan nada sangat sopan.
"Tidak usah. Aku di sini cuma menyampaikan pesan seperti ini, Zenaida Raizen. Kami, pimpinan tertinggi, memerintahkan engkau untuk fokus mencari makanan dan obat-obatan. Jangan terlibat dalam hal lainnya. Selain itu, pimpinan tertinggi telah resmi menaikkan pangkatmu menjadi Komandan Khusus Pencari. Ini adalah surat Keputusan yang telah ditandatangani oleh keempat pimpinan tertinggi Bunker Ahool. Aku ucapkan selamat atas kenaikan pangkatmu, Komandan Zenaida Raizen," ucap Nik Albi dengan tegas, menjelaskan perintah dan memberikan ucapan selamat kepada Zenaida Raizen."
"Ya! Saya akan melaksanakan perintah dari pimpinan tertinggi. Terima kasih banyak atas ucapannya, Nik Albi," ucap Zenaida Raizen dengan antusiasme dan rasa terima kasih yang tulus."
"Kalau begitu, tugas saya telah selesai menyampaikan pesan ini kepada Anda, Komandan. Saatnya saya akan melanjutkan untuk menyampaikan tugas lain kepada para komandan lainnya. Saya izin untuk pergi," ucap Nik Albi dengan sopan, menunjukkan keteraturan dan penghormatan pada tugasnya."
"Sekali lagi, terima kasih banyak," ucap Zenaida Raizen dengan penuh rasa terima kasih dan apresiasi yang tulus."
Narator:
Setelah mendengar itu, Nik Albi tersenyum lalu meninggalkan lantai 5 bawah tanah dan langsung menuju ke ruang kamar para komandan. Setelah Nik Albi pergi, Zenaida Raizen kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap melaksanakan tugas yang diberikan oleh pimpinan tertinggi untuk keluar ke dunia luar mencari makanan dan obat-obatan."
Bersambung....