Langkah Awal

Namaku Rama Elvard Rumeinata. Aku tinggal di sebuah desa yang kadang disebut kota kecil, letaknya di Jawa Barat. Bukan kota yang ramai lampu dan suara klakson, tapi cukup hidup untuk membuatmu tidak kesepian. Aku tinggal bersama pamanku, bibiku, dan sepupuku. Ayah dan ibuku sudah tiada sejak aku duduk di bangku sekolah dasar. Sudah lama. Aku bahkan mulai lupa seperti apa suara mereka, meskipun wajah mereka masih jelas dalam ingatan.

Aku juga punya seorang kakak. Dia cantik, pintar, dan punya tangan dingin di dapur. Sekarang dia bekerja sebagai koki di luar negeri—jarang pulang, apalagi membalas pesan. Kadang aku iseng membayangkan: bagaimana rasanya hidup seperti dia? Jadi koki terkenal, keliling dunia, dan diakui karena keahlianmu. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, skill masakku? Masak mi instan saja kadang gosong.

Pagi ini terasa berbeda. Udara lebih segar, matahari bersinar tanpa malu-malu. Ada sesuatu yang ringan di dada. Mungkin karena ini adalah hari kelulusanku dari SMA. Hari di mana aku resmi menutup bab masa remaja yang absurd, menyebalkan, dan... penuh kenangan. Aneh juga. Dulu aku sering mengeluh ingin cepat lulus. Sekarang, aku malah merasa aneh—seperti sedang melepaskan sesuatu yang penting tapi tidak kelihatan.

Saat aku masih bersiap di kamar, terdengar suara ketukan pelan di pintu depan.

Tok... tok... tok...

Bibiku yang membukakan pintu.

"Wah, ada Bayu!" serunya ceria. "Pagi-pagi udah datang aja. Rama masih siap-siap tuh di kamar. Masuk dulu ya, Bibi panggilin."

"Iya, Bi. Makasih ya..." jawab Bayu, suara khasnya masih sama sejak SD—setengah bercanda, setengah tulus.

"Ramaaa! Temen kamu datang nih!" seru Bibi.

"Iyaa Bi, bentar lagiiiii!"

Aku buru-buru menyelesaikan dandanan. Hari ini aku pakai jas—jarang-jarang tampil rapi begini. Lihat cermin sebentar. Ada rambut yang berdiri kaku di depan, tapi aku biarkan saja. Biarin, sedikit berantakan itu identitasku.

Aku keluar kamar dan langsung duduk di sofa, di samping Bayu. Kami sempat ngobrol sebentar, seperti biasa—ngalor-ngidul, tapi tetap terasa penting.

"Lu mau ngapain setelah lulus, Bay? Kuliah atau kerja?" tanyaku.

"Kuliah aja, Bro. Sayang kalau cuma sampai SMA. Nambah ilmu juga, biar nggak asal-asalan hidupnya," katanya santai.

"Bener juga sih... Tapi kalau kuliah, ambil jurusan apa lo? Programmer? Seni? Atau...?"

"Sebenernya pengen barengan aja sama lo. Seni juga keren, sih... Tapi bingung, tergantung elu juga gimana."

Aku mengangguk, tapi tidak langsung menjawab. Aku menatap lantai, lalu ke jendela. Cahaya matahari sudah mulai masuk ke ruang tamu, memantul di kaca jendela dan menyilaukan sedikit. Hari yang cerah, katanya. Tapi pikiranku mendung.

"Ayo buruan!" seru Bayu tiba-tiba. "Katanya acaranya mau mulai. Temen-temen pada nge-WA, nyuruh cepetan!"

"Iyaa! Santai amat, kayak dikejar babi aja lo... Ayoo berangkat. Bi! Aku berangkat dulu ke sekolah ya! Kakak pulang nggak?"

"Katanya sih mau pulang, tapi Bibi juga belum pasti. Emangnya kamu nggak nanya langsung?"

"Nggak, Bi. Tadi aku chat nggak dibalas, ditelepon juga nggak diangkat."

"Ya udah, semoga dia pulang ya. Hati-hati di jalan."

"Iyaa,Bi. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku dan Bayu naik motor ke sekolah. Jalanannya belum terlalu ramai. Rumah-rumah di pinggir jalan masih menggeliat bangun pagi. Beberapa orang tua menyapu halaman, anak-anak kecil masih pakai seragam SD.

Sepanjang perjalanan, aku lihat teman-temanku yang lain juga sudah mengenakan jas yang sama. Wajah mereka penuh tawa, banyak yang selfie, ada juga yang nyanyi-nyanyi dari atas motor. Tapi aku sendiri hanya diam. Bayu juga tidak banyak bicara. Mungkin kami berdua sama-sama sedang tenggelam dalam pikiran kami masing-masing—tentang masa depan, tentang pilihan, tentang suara hati yang belum sempat kami ucapkan.

Di antara bising knalpot dan senyuman palsu untuk kamera, aku merasa seperti sedang berdiri di perempatan jalan yang asing. Mau ke kanan, kiri, atau lurus? Semuanya tampak benar, tapi tak ada yang terasa pasti.

Aku belum tahu akan jadi apa. Penulis? Musisi? Atau orang biasa yang cuma numpang lewat dalam hidup orang lain?

Tapi satu hal yang pasti...

Hari ini bukan hari biasa.