Suara Yang Datang Pulang

Keesokan harinya, suasana rumah seperti biasa. Kadang gaduh, kadang sepi, kadang... ya, aneh aja. Bibi sibuk di dapur, sepupuku ribut soal ganti channel TV, dan aku masih belum mandi padahal matahari udah tinggi.

Tiba-tiba, ada suara ketukan pintu.

Tok... tok... tok...

“Assalamualaikum.”

Suaranya asing. Bukan Bayu—yang biasanya asal nyelonong aja tanpa ngetuk. Aku berdiri, bingung. Siapa yang datang pagi-pagi banget?

Begitu kubuka pintu, aku langsung membeku.

Di sana, berdiri seseorang yang sangat aku kenal... tapi udah lama nggak aku lihat langsung. Kakakku—Elvaretta Rumeinata.

Dia berdiri dengan koper besar di sampingnya, ransel di punggung, dan senyum yang... yah, seperti biasanya: hangat dan bikin dada sesak.

“Kaget ya?”

Aku masih bengong. Mulutku sempat terbuka, tapi gak ada suara keluar.

“Kak... Kakak pulang?” tanyaku akhirnya, pelan, hampir berbisik.

“Pulang beneran, bukan cuma voice note,” katanya sambil tertawa kecil.

Aku langsung memeluknya. Koper, tas, dan semua pertanyaan yang sempat ada di kepala, lenyap begitu aja.

“Biiiiiii...!!” teriakku, “Kakak pulang!”

Bibi keluar dari dapur sambil bawa centong dan wajah panik. Begitu lihat Elva, ekspresinya berubah 180 derajat.

“Ya Allah, Elva! Anak ini! Kenapa nggak bilang dulu, Bi bisa masak ayam ungkep spesial!”

Setelah suasana reda, kami semua duduk di ruang tamu. Kak Elva membuka oleh-oleh, mulai dari cokelat, gantungan kunci, sampai satu set bumbu dapur dari restoran tempat dia kerja. Tapi yang paling mengejutkan bukan itu.

"Aku ada kejutan, Ram," katanya sambil tersenyum misterius.

Aku langsung waspada. Dari kecil, senyum kayak gitu selalu jadi tanda bencana... atau kebahagiaan besar. Tapi jarang di tengah-tengah.

Dia mengeluarkan sebuah kotak hitam dari tasnya, lalu menyodorkannya padaku.

"Buka."

Aku membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya... sebuah mikrofon studio. Kecil, tapi kelihatan mahal. Ada kabel USB, filter pop, dan penyangga kecil.

Aku menatapnya, lalu menatap Kak Elva.

"Ini... buat aku?"

Dia mengangguk. "Iya. Aku tahu kamu suka nulis, dan kamu juga suka nyanyi, kan? Di tempat aku kerja, ada program kecil buat anak muda yang mau bikin konten. Podcast, musik, apa aja. Aku daftarin kamu. Tinggal kirim contoh aja. Kalau mereka suka, kamu bisa dapat mentor gratis selama tiga bulan."

Aku kaget. Antara senang dan panik.

"Tapi Kak, aku nggak punya pengalaman. Aku... aku cuma nulis buat diri sendiri. Nyanyi juga sumbang."

"Ya terus kenapa? Semua orang juga mulai dari nggak tahu apa-apa. Yang penting, kamu mulai."

---

Malam itu, aku duduk sendiri di kamar. Mikrofon itu terpasang di meja belajarku, menggantikan tumpukan buku pelajaran yang sudah tak berguna lagi.

Aku membuka buku tulis lama yang pernah kubaca kemarin. Puisinya masih ada. Tanganku gemetar sedikit saat memegang gitar tua sepupu.

Kupetik senar pelan. Masih sumbang, tapi tidak seburuk kemarin. Aku mencoba menyanyikan puisi pendek itu lagi, kali ini dengan mikrofon menyala.

"Suaramu tinggal... di pagi hari..."

Aku rekam. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Baru rekaman ketujuh yang kupilih untuk didengar ulang.

Dan saat kudengarkan, untuk pertama kalinya... aku tidak ingin menghapusnya.

---

Beberapa hari berlalu. Aku jadi lebih sering di kamar. Bukan untuk main game atau tidur seharian, tapi untuk menulis, merekam, dan... belajar. YouTube jadi guru utamaku. Tentang vokal dasar, teknik rekaman, mixing, semua aku telan mentah-mentah.

Bayu datang suatu siang, membawa gorengan dan rasa penasaran.

"Lu lagi apaan sih? Jarang nongol. Kayak hilang ditelan masa depan."

Aku tertawa. Lalu memutarkan rekaman lagu pendekku ke dia.

Setelah lagu selesai, dia cuma diem.

"Serius... ini lu yang nyanyi?"

Aku mengangguk, agak malu.

"Gila, Ram. Ini... bagus. Nggak nyangka aja. Kayak denger suara lu yang lain."

Aku terdiam. Suara lain. Kata-kata itu nempel di kepala.

Malam harinya, aku tulis di catatan:

"Aku mulai sadar, mungkin kita semua punya dua suara. Satu yang kita pakai tiap hari. Dan satu lagi, yang kita sembunyikan karena takut didengar. Tapi suara yang disembunyikan itu... justru yang paling jujur."

---

Seminggu kemudian, aku kirim rekaman lagu pendek itu ke program yang disebut Kak Elva. Dia bantu nulis emailnya. Katanya, "Jangan pikir panjang, Ram. Kirim. Biar semesta yang nilai."

Dan aku kirim.

Hari demi hari berlalu. Aku nggak berani buka email. Bahkan suara notifikasi aja bikin jantungku deg-degan. Tapi hari ketujuh, Kak Elva teriak dari ruang tamu.

"Raaaaammmm!!! CEK EMAAAAILLL!!!"

Aku lari seperti orang kesurupan.

Dan di layar ponsel, aku lihat subjek email itu:

"Congratulations, Ramdhann! You're selected."

Tanganku gemetar lagi. Tapi bukan karena takut. Kali ini, karena... aku tahu, suara itu akhirnya didengar.