Gedung pusat pemerintahan menjulang tinggi di tengah ibu kota, dikelilingi oleh Kubah pelindung transparan yang menyaring udara dan cahaya. Di dalamnya, lantai marmer putih bersih memantulkan suara langkah kaki para petinggi yang memasuki ruang rapat utama. Dinding-dindingnya dipenuhi panel holografik yang menampilkan data global real-time, peta politik antarplanet, dan berita utama dari tiap koloni manusia. Kecuali satu negara, yaitu Neptunus, yang memutus hubungan dari koloni lain.
Di salah satu sisi meja oval panjang itu, Presiden Akagi duduk dengan tenang. Di sampingnya berdiri Kusohi, tangan kanan yang nyaris tak pernah meninggalkan sisinya. Mata Kusohi tajam, memindai setiap gerak-gerik di ruangan.
Para petinggi satu per satu duduk di kursi masing-masing. Di antara mereka, seorang pria berjas baja hitam duduk dengan aura otoritas dingin —Darius Klyne, Menteri Pertahanan. Rambutnya disisir rapi ke belakang, dan di balik senyum tipisnya, Kusohi bisa merasakan sesuatu yang lebih... berbahaya.
"Rapat kita hari ini membahas ketidakstabilan komunikasi antar-koloni dan meningkatnya gangguan sistem keamanan di Venus," ujar Akagi, suaranya tenang namun penuh tekanan. "Saya ingin penilaian langsung dari departemen masing-masing."
Darius menyandarkan punggungnya santai. "Itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, Pak Presiden. Gangguan seperti itu bisa diatasi. Teknisi kami tengah memperbarui protokol proteksi dalam jaringan pusat."
Kusohi menoleh sedikit. Ia tahu Darius tak pernah menjelaskan terlalu banyak—dan itulah yang membuatnya mencurigakan.
"Dengan hormat, Menteri," ucap Kusohi tiba-tiba, "Sistem di Venus tak seharusnya terganggu sekian hari jika hanya masalah teknis biasa. Bahkan kami tak menerima laporan lengkap mengenai siapa yang mengakses jalur darurat minggu lalu."
Beberapa kepala berpaling. Senyum Darius tak berubah.
"Kau terlalu cepat menyimpulkan, Kusohi. Dunia ini terlalu luas untuk diawasi setiap detiknya, bahkan olehmu."
Seketika itu juga suasana ruang rapat menjadi lebih berat. Akagi memejamkan mata sejenak, lalu berkata,
"Cukup. Fokus pada solusi, bukan saling menyalahkan."
Kusohi diam, tapi di balik wajahnya yang datar, pikirannya berputar cepat. Darius Klyne bukan hanya seorang menteri. Dia menyimpan sesuatu... sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
***
Setelah para petinggi keluar satu persatu dan ruang rapat mulai sepi, Akagi berdiri perlahan.
"Kusohi," ucapnya pelan. "Ikut aku sebentar ke ruanganku."
Tanpa bertanya, Kusohi mengangguk. Ia berjalan mengikuti presiden melewati lorong-lorong sunyi dengan lantai kristal bercahaya biru lembut. Dinding-dinding menampilkan setiap wajah presiden dari generasi awal hingga sekarang, tapi Kusohi tak memerhatikannya. Pikirannya masih terpatri pada Darius dan senyum dingin itu.
Sesampainya di ruang presiden, pintu berlapis baja terbuka otomatis, dan Kusohi langsung menyadari ruangan itu tidak kosong.
Di sofa modern dekat jendela transparan, seorang wanita muda berdiri perlahan. Ia mengenakan gaun pendek berwarna royal blue, wajahnya anggun, rambut coklat karamel diikat rapi ke belakang, dan matanya berwarna hazel yang memancarkan kecerdasan dan rasa ingin tahu. Tatapannya tajam menelusuri wajah Kusohi, seolah sedang menganalisis setiap geraknya.
"Kalian akhirnya sampai juga," ucapnya. Suaranya jernih, datar, tapi tidak kaku.
"Kusohi, bukan? Aku sudah sering mendengar dirimu dari Ayah."
Kusohi memiringkan kepala sedikit. Ia menilai perempuan itu dengan cepat—postur percaya diri, nada bicara rasional, dan ada alat mirip e-lens kecil di pelipis kirinya, menunjukkan bahwa ia ahli dalam dunia teknologi.
"Kusohi, ini anakku, Reese," kata Akagi sambil berjalan ke meja kerjanya. "Dia baru kembali dari negara Jupiter—menyelesaikan S2-nya dalam teknologi sistem strategis dan keamanan digital."
Reese mengangguk singkat.
"Sebenarnya aku datang untuk membantu. Setelah melihat bagaimana jaringan pusat hampir diretas dua kali bulan lalu, aku tidak bisa duduk diam. Terutama setelah tahu siapa yang mengatur sistem pertahanan."
Kusohi mengerutkan dahi.
"Maksudmu... Darius?"
Reese menatap lurus. "Aku belum punya bukti. Tapi aku punya pertanyaan —dan jawaban yang ingin kucari sendiri."
Akagi menarik napas panjang. "Aku ingin kalian berdua bekerja sama secara tidak resmi. Dunia ini akan memasuki masa sulit, dan aku tak yakin semua orang di dalam pemerintahanku adalah sekutuku."
Kusohi memandang Reese sekali lagi. Untuk pertama kalinya, ia melihat sekilas seseorang yang mungkin bukan hanya ahli dalam teknologi... tetapi juga memiliki semangat yang tak berbeda dengannya—melindungi dunia ini, bahkan jika itu harus melawan sistem dari dalam.
Reese berjalan ke arah jendela lebar yang membentang dari lantai hingga langit-langit. Kusohi mendekat pelan, berdiri di sisinya.
Dari tempat itu, dunia terlihat megah dan sekaligus terasing. Di bawah sana, kota modern berdetak seperti jantung digital: mobil-mobil melayang, drone pengawas berpatroli seperti bintang-bintang kecil, dan menara-menara tinggi menjulang menusuk langit biru pucat.
Namun perhatian mereka tak tertuju ke dalam kota—melainkan ke arah luar.
Tepat di luar batas kota, sebuah tembok raksasa berdiri dengan kokoh, menjulang tinggi dan membentang sejauh mata memandang. Struktur logam hitam itu menghalangi pandangan orang dari melihat yang ada di baliknya —kecuali beberapa gedung pencakar langit, seperti ruangan ini.
Dan di balik tembok itu... dunia liar terbentang.
Tampak hutan lebat dan hijau, penuh dengan pepohonan tinggi dan bunga-bunga bercahaya samar seperti diselimuti sihir. Sekumpulan hewan seperti sapi tetapi dengan ukuran yang besar berlarian di antara pohon-pohon, sesekali menoleh ke langit seakan merasakan mata manusia mengawasi mereka.
Lebih jauh di horizon, terdapat zona bersalju—hamparan putih luas yang mengeluarkan kabut dingin, dengan burung-burung besar berleher panjang yang sedang terbang melintasi langit kelabu. Dan di sisi lain, sekilas tampak padang gurun yang bersinar keemasan, anginnya menggulung debu halus yang membentuk pola spiral di udara.
Kusohi menatap takjub.
"Indah... Tapi juga asing."
Reese mengangguk pelan. "Banyak yang lupa kalau dunia tidak hanya berputar di dalam kota ini." Ia menoleh ke arah Kusohi. "Dan kadang, bahaya tidak datang dari luar tembok... tapi dari mereka yang berada di dalamnya."
Ia berjalan menuju meja bundar di tengah ruangan, lalu mengaktifkan tablet proyeksi kecil dari dalam tasnya. Seketika, cahaya biru muncul, memunculkan diagram jaringan sistem pemerintahan, dan beberapa nama yang disorot dalam merah.
"Aku menemukan anomali dalam sistem komunikasi internal," jelas Reese. "Beberapa pesan dari menteri pertahanan tidak melalui jalur resmi. Bahkan ia juga mengakses ke proyek militer yang harusnya itu perlu perizinan khusus."
Kusohi mengerutkan alis.
"Kamu pikir ini... sabotase?"
Reese menatapnya tajam.
"Aku pikir ini awal dari sesuatu yang jauh lebih besar."
***
Mobil terbang hitam mengilap meluncur tenang di antara jalur udara transparan yang melingkari menara-menara tinggi ibu kota. Di dalam kabin, Kusohi duduk bersandar, tangan terlipat di dada, menatap diam ke luar jendela kaca berdimensi ganda. Suara mesin hampir tak terdengar, hanya gumaman lembut dari sistem navigasi otomatis.
Langit mulai berubah warna.
Senja di kota ini tak pernah sederhana. Warna-warna oranye lembut bercampur biru magenta berpendar halus di antara awan-awan tipis yang diprogram untuk menjaga stabilitas cuaca. Sinar matahari yang menyusup lewat kubah atmosfer buatan membuat langit terlihat seperti lukisan tua—seperti dongeng, pikir Kusohi.
Di bawah sana, lampu-lampu kota mulai menyala, menyambut malam yang akan datang. Mobil-mobil melayang, dan pejalan kaki terlihat seperti arus data yang mengalir di trotoar kinetik. Namun dari semua keindahan itu, hanya satu hal yang memenuhi benaknya—perintah Akagi:
"Pergilah ke pemukiman kumuh di sektor barat. Bawa Reese bersamamu. Di sana ada sesuatu yang tidak bisa kami pantau dari sini."
Kusohi menghela napas panjang. Ia tahu betul bahwa sektor barat bukan sekadar lingkungan berpenghasilan rendah. Itu wilayah kelabu, tempat sistem pemerintahan tak sepenuhnya menjangkau, dan tempat paling mudah untuk menyembunyikan—atau menyusun—sebuah makar.
Mobil mulai menukik perlahan, melewati jalur privat yang menuju salah satu distrik tempat tinggal petinggi. Rumah Kusohi berdiri sunyi di atas bukit kecil, dikelilingi pagar hidup yang terbuat dari tumbuhan sintetis berwarna ungu gelap yang memancarkan cahaya lembut di malam hari.
Begitu pintu mobil terbuka dan Kusohi melangkah turun, suara langkah kecil terdengar dari arah pintu depan.
"Selamat datang, Ayah!" seru suara muda yang ceria.
Kyoko berlari kecil, mengenakan kaos lengan panjang dan celana kasual berwarna hangat. Senyumnya lebar, matanya berbinar. Meskipun hari mulai gelap, kehadirannya membuat rumah itu terasa lebih hidup.
Kusohi menoleh, bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang sangat jarang muncul.
"Kamu belum tidur?"
"Aku menunggumu. Aku tadi menonton berita holografik tentang eksplorasi di Titan. Seru banget!" katanya, lalu memperhatikan wajah Kusohi yang terlihat sedikit lelah. "Kau rapat, ya?"
Kusohi mengangguk. "Rapat panjang."
Kyoko menggandeng tangannya masuk ke dalam, lalu berkata, "Aku buatkan teh herbal favoritmu. Di meja, ya. Jangan tidur dulu sebelum minum."
Di dalam rumah, aroma kayu dan cahaya hangat menyambut. Interiornya sederhana tapi elegan, lebih fungsional daripada mewah. Kusohi melepas mantel panjangnya dan duduk di kursi dekat jendela.
Namun pikirannya masih berada jauh dari rumah. Ia melihat kembali ke layar tablet kecil yang ia tarik dari lengan jaketnya. Di dalamnya, pesan dari Reese terpampang:
"Besok jam 08:00, kita mulai dari sektor 7G. Aku bawa alat analisa frekuensi dan pemindai biologis. Jangan terlambat."
Kusohi menyandarkan kepala ke belakang, matanya memejam sejenak. Di luar, langit senja mulai hilang ditelan malam. Tapi di dalam benaknya, badai baru saja akan dimulai.