Bab 3- Antara bayangan dan kenangan

Kusohi memandangi layar tablet kecil di genggamannya . Di sana terpampang data peta digital sektor 7G— pemukiman kumuh di barat. Namun yang muncul dalam benaknya bukan data... melainkan ingatan lima tahun lalu.

Saat semua orang memandang sektor itu dengan jijik dan curiga, Kusohi tahu: dunia tidak sehitam-putih itu.

Ia pernah berdiri di lorong sempit berlantai tanah, di antara bangunan miring dan kabel listrik yang menggantung seperti akar pohon. Tapi yang ia temukan di sana bukan ancaman, melainkan kehidupan— anak-anak tertawa di antara selokan, ibu-ibu menyiram tanaman di jendela retak, dan lelaki tua yang menyapa dengan sopan walau bajunya compang camping.

Dan disitulah ia bertemu dengan seorang gadis kecil yang duduk sendirian di atas tumpukan peti kayu, memegang boneka usang dan menatap langit senja seolah dunia luar terlalu jauh untuk dijangkau.

Namanya Kyoko.

Sejak hari itu, Kusohi tahu, dunia butuh lebih banyak orang yang mau melihat dalam diam dan bukan menilai dari jauh.

***

Besok paginya, cahaya matahari menyusup lembut lewat jendela besar rumah. Tapi sebelum Kusohi bisa berangkat ke sektor 7G bersama Reese, ia lebih dulu mengantar Kyoko ke hari pertamanya di sekolah.

"Jangan lupa makan siangmu," katanya sambil menyelipkan kotak makan ke dalam tas punggung Kyoko.

"Aku sudah kelas satu SMA ayah, bukan anak kecil lagi," jawab Kyoko cepat, meski senyumnya menyiratkan rasa senang.

Ia mengenakan seragam barunya: jas pendek berwarna abu-abu muda dengan logo sekolah berbentuk kristal bersinar di dada, juga rok di atas lutut yang senada dengan warna jas. Rambutnya dikuncir rapi, dan matanya—meskipun tampak antusias—masih menyimpan sedikit kegugupan.

Kusohi mengantar Kyoko sampai ke pintu utama, lalu berlutut sedikit, menatap mata gadis itu.

"Kyoko, jangan ragu untuk jadi dirimu sendiri, ya? Sekolah bukan hanya tempat belajar... tapi tempat kau belajar mengenal siapa yang akan peduli padamu, bahkan ketika kamu diam."

Kyoko menatapnya dengan serius, lalu mengangguk. "Aku akan baik-baik saja."

Setelah ia pergi, Kusohi berdiri diam beberapa saat di depan pintu.

Ia tak hanya akan pergi ke sektor yang penuh kenangan, tapi juga akan melangkah ke jantung konflik yang sedang bersembunyi di balik kedamaian palsu kota.

Dan di tempat yang dulu mempertemukannya dengan Kyoko... bisa saja tersembunyi potongan kebenaran yang akan mengubah segalanya.

***

Lorong sekolah itu panjang dan sedikit terlalu putih. Dindingnya dipenuhi layar-layar digital yang menampilkan jadwal pelajaran, kutipan motivasi dari tokoh-tokoh terkenal negara Bumi, termasuk Presiden Akagi, hingga peta bintang yang berubah setiap detik.

Kyoko melangkah pelan. Di kanan-kirinya, anak-anak dengan seragam yang sama lewat dengan suara tawa, bisikan, dan notifikasi dari perangkat holografik masing-masing.

Ia menggenggam tali tasnya erat.

'Aku bisa. Aku akan baik-baik saja.'

Bisik Kyoko dalam hati.

Tiba-tiba, dari belakangnya, terdengar suara:

"Halo! Kamu murid baru, ya?"

Kyoko menoleh. Seorang anak laki-laki berdiri di sana dengan senyum lebar. Wajahnya cukup tampan, dengan rambut yang agak berantakan. Usianya mungkin setahun lebih tua, dan di dadanya tergantung pin berbentuk pedang kecil.

"Aku Kiruma. Aku dari kelas 2-A, kamu?". Katanya sambil menoleh sedikit.

Kyoko berkedip. "Kyoko... 1-B."

Kiruma mengangguk. "Wah, berarti aku satu kelas di atas mu. Tapi kalau kamu ikut ekskul berpedang, kita bakal sering ketemu."

"Berpedang?" Kyoko sedikit tertarik.

"Ya! Ekskul paling keren. Aku pelatih juniornya." Kiruma tersenyum penuh bangga, lalu berlari kecil. "Ayo, nanti terlambat upacara!"

Kyoko menatapnya pergi. Untuk pertama kalinya pagi itu. Wajahnya sedikit lebih tenang.

***

Mobil terbang hitam berbentuk baji itu meluncur tenang di antara gedung-gedung tinggi yang tertutup kabut pagi. Panel kacanya transparan sepenuhnya, memperlihatkan langit kota yang mulai berubah warna—dadi oranye muda ke biru gelap, seolah hari belum yakin datang sepenuhnya.

Kusohi mengarahkan mobil ke area elit pusat kota, dan tak lama kemudian ia mendarat dengan mulus di pelataran kecil di belakang rumah kediaman Presiden yang sekarang hanya dihuni Reese dan beberapa staf kepercayaan.

Begitu pintu geser terbuka, Reese sudah berdiri dengan tangan disilangkan, menatap jam di pergelangan tangannya—jam berlapis cahaya biru yang menyala redup.

"Lima menit terlambat," gumamnya tajam, meski bibirnya sedikit terangkat di ujung.

"Lima menit untuk memastikan Kyoko tidak lupa kotak makannya," jawab Kusohi datar, sambil membuka pintu untuk Reese. “Prioritas“

Reese masuk ke dalam kabin mobil dan duduk dengan anggun, menyilangkan kaki. Ia mengenakan mantel putih panjang yang kontras dengan dasi hitam tipisnya. Di pundaknya tergantung selempang kecil berisi tablet dan perekam mini.

"Baiklah, kita ke sektor 7G," katanya singkat. "Kita lihat... apakah masih seperti yang kamu ingat."

Mobil kembali melesat. Kali ini tidak ke langit penuh menara, tapi ke barat—tempat cahaya neon berhenti, dan bangunan tak lagi mengilap.

Beberapa saat kemudian. Mereka tiba di sektor 7G.

Tak ada gerbang masuk ke sektor ini. Tidak ada sensor. Tidak ada drone penjaga. Hanya jembatan sempit berkarat yang menghubungkan kota modern ke dunia yang dilupakan.

Mobil Kusohi mendarat perlahan di antara puing logam dan papan reklame rusak. Anak-anak kecil segera berlarian mendekat, bukan untuk meminta, tapi karena penasaran—ada mobil terbang yang mendarat di tempat seperti ini.

Reese menyesuaikan mantelnya. Kusohi hanya menatap ke sekeliling, memori lamanya muncul perlahan.

"Tetap sama," katanya lirih.

Mereka berjalan beberapa langkah hingga terdengar suara berat dari ujung gang:

"Kalau bukan Kusohi si tangan kanan presiden... Kupikir kau sudah lupa kami."

Kusohi menoleh.

Dua orang mendekat—Maxim, pria bertubuh tinggi namun kurus, dengan tatapan mata yang tajam, dan Dom, pria besar nan kekar, dengan bekas luka di pipi.

"Aku tidak lupa," jawab Kusohi.

"Cuma dunia yang lupa," sela Dom.

"Terutama orang-orang di atas sana."

Mereka bersalaman singkat, lalu Kusohi memperkenalkan Reese.

"Dua bukan musuh," katanya tegas. "Dia datang untuk mendengar."

Maxim mengganguk sopan. "Kalau begitu... mari dengar."

Mereka duduk di atas peti kayu dekat dinding grafiti besar yang menggambarkan matahari terbelah dua. Anak-anak bermain di kejauhan, dan bau asap kayu tipis masih menggantung di udara.

Maxim menunjuk bangunan rusak di seberang. "Lihat itu? Dulu pusat pelatihan kerja. Sekarang jadi gudang kosong. Pemerintah janji akan bantu pemuda di sini—dua tahun berlalu, tak satu pun datang."

Dom menimpali. "Kalau kau miskin, berarti kau malas. Itu yang mereka katakan. Padahal kami bangun jam lima pagi, tidur jam dua. Tapi listrik cuma nyalah enam jam. Air bersih? Harus beli dari pengepul swasta yang kerja sama dengan orang dalam."

Reese mencatat dengan cepat, tapi sesekali matanya menatap wajah mereka langsung—tanpa sinis, tanpa curiga.

Maxim berdiri. "Kami tidak minta disanjung. Kami hanya ingin tahu... apakah kamu masih dianggap bagian dari dunia kalian?"

Kusohi terdiam.

Dan dalam diam, ia tahu: inilah alasan Akagi mengirimnya Kemabli. Bukan alasan untuk memantau situasi—tapi untuk mengingat.

Dan mungkin, untuk menebus sesuatu.

Selang beberapa waktu.

Reese merasa ada sesuatu, ia memutar tubuhnya pelan, pandangannya menyapu langit pagi yang mulai cerah. Udara terasa ganjil. Bukan karena bau logam tua atau debu jalanan, melainkan sesuatu yang lebih... tak terlihat.

Ia menatap langit sejenak, lalu memencet tombol kecil di telinganya—mengaktifkan sensor pendeteksi panas yang menempel di pupil matanya.

Lalu... Di sudut atap rumah tiga lantai yang hampir roboh—ada sensor panas tubuh seseorang.

Reese langsung menoleh ke Kusohi.

"Kita diawasi," bisiknya cepat.

"Sensor panas ku mendeteksi ada seseorang yang berdiri mengawasi kita."

Kusohi tidak menunjukkan reaksi yang mencolok. Ia berdiri, menepuk bahu Dom dan Maxim. "Terima kasih untuk waktunya. Kami akan kembali lagi nanti."

Dom mengangguk, lalu memberi isyarat pada dua remaja di belakangnya. "Lewat lorong selatan," gumamnya. "Lebih aman."

Reese dan Kusohi menyusuri gang sempit, langkah mereka cepat dan sunyi. Di tengah perjalanan, Kusohi membuka mulut.

"Waktu itu hujan deras," katanya tiba-tiba.

Reese menoleh singkat. "Hm?"

"Saat pertama kali aku ke tempat ini, lima tahun lalu. Aku dikirim untuk misi pengawasan... dan seharusnya hanya itu. Tapi kemudian aku menemukan seorang gadis kecil duduk sendirian, di bawah atap seng yang bocor. Bajunya robek, dan bonekanya basah kuyup. Tapi dia diam, tidak menangis. Hanya menatap langit dengan tatapan... kosong."

Reese melambatkan langkahnya.

"Aku bertanya kenapa dia di sana. Dia hanya bilang. 'Aku tidak punya tempat tinggal'." Kusohi menunduk sedikit. "Aku menemaninya, berbincang-bincang dengan sosok dirinya. Dan aku tahu ia yatim piatu, tepatnya ia tidak tahu siapa orangtuanya. Jadi malam itu aku memutuskan membawanya pulang."

"Dan itu... Kyoko?" bisik Reese.

Kusohi mengangguk. "Aku bahkan belum punya rumah sendiri waktu itu. Aku tinggal di markas dengan kamar sempit dan gaji pas-pasan. Tapi... entah kenapa, aku merasa kalau aku meninggalkan dia waktu itu, maka aku akan kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupku."

Reese menatapnya lama. Untuk pertama kalinya, ia melihat Kusohi sebagai pria dingin berwajah keras, tapi... manusia biasa dengan hati yang bersih.

"Aku pikir kamu hanya bekerja demi sistem," katanya pelan. "Ternyata kamu bekerja demi seseorang."

Kusohi menatap Reese sebentar, lalu melanjutkan langkah.

"Kadang, yang menyelamatkan kita bukan dunia ini. Tapi seseorang yang membuat kita ingin tetap bertahan di dalamnya."

Singkat waktu.

Mereka tiba di kembali di tempat mobil terparkir. Kusohi membuka pintu dan menyuruh Reese masuk duluan.

Sebelum masuk Reese menatap ke arah atap tadi. Tapi sensor panasnya sudah tidak mendeteksi adanya orang lagi.

"Dia tahu kita tahu," gumamnya. "Entah siapa... tapi dia cepat."

Kusohi mengangguk. "Dan itu berarti, sector ini tidak hanya dilupakan... tapi juga diamati"

Mobil perlahan terangkat ke langit, menjauh dari sector 7G.

Dari balik bayangan cerobong asap, sosok misterius mematikan alat di tangannya. Ia menatap mobil itu pergi, sebelum berbicara lirih ke alat komunikasi:

"Target telah meninggalkan zona. Namun... sesuatu telah berubah. Kusohi tidak sendirian sekarang."