Bab 5- Gerbang baru

Beberapa saat setelah sampai di ruang latihan, Suzune memandang sekeliling dengan tatapan penasaran, lalu menepuk lengan Kyoko.

"Aku pulang dulu ya, kamu hati-hati,"

Ujarnya sambil tersenyum tipis.

Kyoko mengangguk. "Iya, terima kasih sudah menemaniku."

Begitu Suzune pergi. Dengan semangat santai, Kiruma mengajak Kyoko berkeliling ruang latihan, memperkenalkanbya kepada teman-teman ekskul. Ruangan itu luas, lantainya terbuat dari bahan tahan hentakan, dan dindingnya dihiasi rak-rak berisi berbagai jenis pedang kayu dengan ukuran berbeda.

"Ini teman-temanku," kata Kiruma saat mendekati sekelompok murid laki-laki yang sedang duduk di pojok.

Salah satu dari mereka menatap Kyoko dari atas ke bawah. "Wah, pendek juga ya. Tapi cocok sih... lucu imut begitu." ucapnya sambil tertawa kecil.

"Dirinya beneran ikut ekskul ini?" timpal teman lainnya.

"Hei!" tegur Kiruma setengah bercanda, menepuk kepala temannya.

Kyoko tersenyum canggung, matanya menunduk, namun jauh di dalam hatinya, ia merasa sangat hangat. Entah kenapa, kehadiran Kiruma membuat semua terasa aman.

Latihan pun dimulai. Para murid pemula dipanggil satu per satu untuk berdiri di barisan depan. Kyoko ikut berdiri di sana, sementara Kiruma dan teman-teman senior lainnya mulai latihan bebas di sisi lain ruangan.

Seorang pelatih perempuan menjelaskan dasar-dasar berpedang: cara memegang gagang, sikap tubuh yang benar, hingga gerakan dasar seperti ayunan tegak dan tusukan ringan.

Kyoko mencoba meniru setiap gerakan dengan hati-hati. Pedang kayu di tangannya terasa agak berat, tapi tidak terlalu sulit di kendalikan. Keringat mulai membasahi pelipisnya, namun semangatnya terus membara.

Beberapa menit kemudian, suara dentingan kayu saling beradu terdengar dari sisi lain. Kiruma tengah bertarung satu lawan satu dengan temannya. Gerakannya cepat dan penuh tenaga, tapi tetap terkontrol. Kyoko berhenti sejenak untuk memperhatikan—ia terpesona.

Setelah pertarungan selesai, Kiruma berjalan ke arahnya, wajahnya sedikit berkeringat, namun tersenyum ramah.

"Kamu sudah bagus untuk pertama kali," katanya sambil menyapu keringat. "Mau aku ajari sedikit teknik yang tidak diajarkan di awal?"

Kyoko mengangguk cepat, sedikit gugup tapi penuh semangat. Di matanya, Kiruma tampak seperti cahaya yang membimbingnya dalam dunia baru ini. Kiruma tersenyum, lalu berjalan ke salah satu rak, mengambil satu pedang kayu.

"Ayo, ikut aku ke bagian tengah," ajaknya, menunjuk ke area latihan yang lebih lapang, sedikit menjauh dari kerumunan pemula.

Kyoko mengikuti dari belakang. Sepatu olahraganya sedikit berdecit saat menyentuh lantai. Ia merasa kecil, namun anehnya... bukan takut—lebih seperti... bersemangat.

"Pegang pedangnya begini," Kiruma berdiri di depannya, memperagakan teknik dasar pegangan dengan telapak tangan terbuka. Ia lalu berdiri di samping Kyoko, sedikit membungkuk untuk menyentuh tangannya yang terasa lembut. "Bukan terlalu kuat, tapi juga jangan kendor. Harus stabil."

Jantung Kyoko berdetak lebih cepat. Kiruma begitu dekat, dan tinggi badannya yang mencapai 183 cm membuat Kyoko harus sedikit menengadah jika ingin menatap wajahnya.

"Seperti ini?" Kyoko mencoba mengikuti.

"Bagus, sekarang coba ayunkan perlahan ke arah bawah. Pikirkan seperti membelah air."

Kyoko mengayun pelan. Suara desiran kecil terdengar saat pedang kayu itu membelah udara. Gerakannya belum seimbang, tapi ada kekuatan yang mulai terbentuk.

Kiruma mengangguk. "Kamu cepat belajar."

Kyoko menahan senyum. "Terima kasih... aku punya pelatih yang baik."

Kiruma tertawa kecil, lalu berbalik. "Oke, sekarang aku berdiri di sini. Coba pukul pedangku."

Dia mengangkat pedangnya ke samping, dalam posisi siap bertahan. Kyoko ragu sejenak, tapi lalu melangkah ke depan dan mengayunkan pedangnya.

Ctak!

Pedang mereka bersentuhan. Kyoko sedikit terkejut karena getarannga terasa sampai ke pergelangan tangannya.

Kiruma mendekat, mengangkat alis. "Kaget, ya?

"Iya... seperti ada getaran masuk ke tubuhku."

"Itu tandanya kamu menyentuh lawan. Nanti kamu akan terbiasa." Kiruma lalu menatapnya dengan serius. "Berpedang itu bukan soal kekuatan. Tapi soal ketenangan, fokus... dan keberanian untuk melangkah maju."

Kyoko terdiam. Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi terasa dalam.

Suara langkah kaki dari sisi ruangan menandakan latihan hampir selesai. Pelatih utama mulai mengumpulkan murid-murid untuk pendinginan.

"Ayo, kita gabung lagi," kata Kiruma, lalu berjalan lebih dulu.

Namun sebelum mereka berbaur kembali, Kyoko sempat menatap punggung Kiruma yang menjauh. Sosoknya tampak kokoh, dewasa, dan entah kenapa... perlahan terasa penting di matanya.

Hari ini, bukan hanya tentang belajar berpedang.

Tapi tentang langkah pertama Kyoko, menuju dunia yang lebih besar, lebih sulit, namun juga... lebih bermakna.

***

Langit sudah mulai cerah saat latihan berakhir. Awan-awan gelap perlahan menyingkir, menyisakan aroma tanah basah dan udara dingin yang menempel di kulit

Kyoko mengganti pakaiannya, lalu keluar dari ruang latihan. Ia mengambil ponselnya dan menekan tombol holografik.

"Ayah, aku ikut ekstrakurikuler berpedang. Aku baru selesai... boleh aku pulang jalan kaki? Sekalian tidak memberatkan ayah."

"Kalau kamu kuat, silahkan. Tapi hati-hati di jalan."

"Iya."

Ia menutup panggilan. Saat hendak beranjak, langkah seseorang terdengar dari belakang.

"Kyoko!"

Kiruma muncul, masih dengan rambutnya yang berantakan dan tas di punggung. Ia mendekat dengan langkah santai. "Rumahmu di daerah pemukiman petinggi, ya?"

Kyoko mengangguk. "Iya. Di atas bukit kecil, rumah paling pojok."

Kiruma tersenyum. "Aku tinggal di bawah bukit, dekat jembatan kecil yang menghadap danau. Mau jalan bareng?"

Kyoko sedikit terkejut, tapi mengangguk. "Boleh"

Mereka mulai berjalan berdampingan, menyusuri jalan trotoar berlampu redup. Cahaya senja memantul di genangan air, menciptakan bayangan samar mereka berdua.

"Kenapa sebelumnya aku tidak pernah melihatmu?" tanya Kiruma, menoleh setengah.

Kyoko melirik ke depan. "Aku lebih sering menghabiskan waktu di rumah, belajar. Ayah juga jarang izinkan aku keluar sendirian."

Kiruma mengangguk paham. "Wajar kulitmu seputih susu."

Kyoko tersenyum tipis, sedikit kikuk tapi tak menolak pujian itu. "Kamu... juga cukup tinggi untuk seusiamu."

"Aku kebanyakan berlarian waktu kecil," Kiruma menatap langit. "Mungkin tubuhku ikut terbiasa bergerak."

Mereka melanjutkan percakapan ringan, sesekali tertawa kecil. Tak ada suara kendaraan, hanya suara langkah mereka, dan sesekali angin yang menyapu lembut dari danau di kejauhan.

Sesampainya di kaki bukit, langkah mereka melambat.

"Terima kasih untuk hari ini, Kiruma."

"Terima kasih juga sudah datang ke ekskul. Latihan hari ini menyenangkan."

Kyoko mengangguk, lalu melangkah naik. Kiruma berdiri di bawah, menatap punggungnya.

"Hati-hati di jalan."

"Iya... sampai jumpa besok."

Kiruma mengangkat tangan pelan. "Sampai jumpa."

Langkah Kyoko makin menjauh, dan Kiruma pun berbalik arah, berjalan ke rumahnya yang terletak di bawah langit yang kini berwarna ungu senja.

Kyoko tiba di rumah, pintu terbuka otomatis. Aroma masakan hangat langsung menyambutnya.

Di ruang tengah, Kusohi berbaring santai di sofa panjang, satu kaki di silangkan, matanya menatap layar proyektor holografik yang menampilkan siaran berita antarplanet. Dasi kerjanya sudah dilepas, dan lengan bajunya digulung sebatas siku.

"Selamat datang, pendekar kecil," katanya tanpa menoleh.

Kyoko meletakkan sepatu dengan pelan, lalu masuk ke kamarnya. Ia menaruh tas, membuka baju seragam, dan mengambil handuk. Tak lama, suara air terdengar dari kamar mandi.

Malam pun turun sepenuhnya, dan mereka duduk di meja makan yang menyala hangat. Di hadapan mereka, sepiring nasi, sup hangat, dan tumisan sayur buatan Kusohi tersaji.

Sambil menyendok makanan, Kusohi membuka percakapan dengan nada santai, seolah hanya mengamati.

"Sepertinya kamu tidak sendirian tadi?"

Kyoko tersentak kecil. Sendoknya berhenti di udara. "Iya... aku pulang bersama dengan kakak kelas yang melatih ekskul berpedang," jawabnya pelan, agak gugup.

Kusohi mengangkat alis. "Anak ayah sudah mulai beranjak dewasa." Ia tersenyum kecil, menatap Kyoko. "Kalau boleh tahu... siapa namanya?"

Kyoko agak tertunduk, pipinya memerah sedikit. "Kiruma..."

Kusohi hanya mengangguk, tanpa nada interogatif. "Tidak ada apa-apa, Kyoko. Ayah hanya ingin tahu cerita kamu hari ini."

Kyoko masih tampak ragu, tapi perlahan senyumnya muncul. Ia mulai menceritakan latihan berpedang, berapa semua orang di ekskul sangat tinggi—terutama Kiruma, dan bagaimana dirinya merasa kecil dan canggung di antara mereka.

Kusohi tertawa kecil, mengangguk pelan sambil mengunyah. "Dulu, Ayah juga pernah merasa begitu waktu pertama kali bergabung dengan divisi taktis di Mars. Orang-orangnya besar-besar seperti robot. Tapi lama-lama... yang kecil justru jadi yang paling lincah."

Kyoko tertawa untuk pertama kalinya di malam itu. Suara tawa yang ringan, namun melegakan.

Malam itu pun ditutup dengan obrolan hangat di antara mereka—tentang sekolah, pedang kayu, dan senja yang memudar. Dan dalam hati Kyoko, ada sesuatu yang tumbuh... perlahan.