Pagi itu matahari bersinar lembut, awan-awan yang mirip gelembung menambah suasana. Murid-murid berjalan di lorong, penuh dengan berbagai percakapan.
Kyoko tiba di dalam kelas, menaruh tasnya perlahan di atas meja. Ia melihat ke sudut kelas— berkerumun para murid-murid perempuan. Kyoko berjalan perlahan mendekati mereka, salah satu murid disana menengok ke arah Kyoko.
"Itu dia."
Kyoko kebingungan, ada apa dengan dirinya. Ia lalu mendekati mereka, dan berjingkat untuk melihat lebih jelas. Tampak beberapa dari mereka memegang handphone, yang menunjukkan foto Kyoko dan Kiruma yang pulang bersama kemarin.
Seketika wajah Kyoko memerah bagaikan tomat, dirinya malu dan canggung, menunduk menahan rasa malu.
"S-siapa yang memotretnya?"
Suzune yang duduk di kursi dekat sana berdiri.
Ia tersenyum santai sambil menggoyang-goyangkan notes kecil yang selalu ia bawa. "Kebetulan aku lewat dan melihat kalian. Kelihatannya kalian cocok, jadi... kupikir kenapa tidak ku abadikan?"
Kyoko menunduk semakin dalam. "Kamu kan bisa bilang dulu setidaknya..."
Salah satu murid lain, seorang gadis berambut pirang yang duduk di dekat jendela, ikut berseru, "Kiruma itu populer di kalangan murid perempuan, tahu! Kamu berhasil jalan pulang bareng tanpa ada yang ikut—itu sudah luar biasa!"
"T-tidak! Kami cuma pulang bareng karena rumahnya dekat! Bukan karena... begitu-begitu!" Kyoko berusaha membela diri, tapi semakin ia bicara, semakin wajahnya memanas.
Tawa kecil dan senyuman jahil mulai memenuhi kerumunan para gadis. Meski sebagian bercanda, sebagian benar-benar penasaran.
Suzune menepuk pelan bahu Kyoko. "Tenang saja, aku hanya mengirim foto itu ke grup kecil teman dekat. Tapi, yah... ternyata bocor."
"Bocor?" suara Kyoko terdengar nyaris putus napas.
"Ada yang iseng kirim ke forum sekolah. Sekarang udah dapat.... seratus lebih like, dan komentar juga." Suzune menatap ke layar handphonenya, lalu menyeringai kecil. "Ada yang komentar 'cewek imut dan ksatria tampan. Klasik tapi manis."
Kyoko serasa ingin menenggelamkan wajahnya ke lautan. Tapi di balik rasa malunya, ada sedikit... geli? Mungkin bahkan senang?
Suzune masih menatap layar dengan seksama. "Tapi kamu memang cantik dan imut Kyoko. Lihat saja foto yang ku ambil sembarang, wajahmu memang fotogenik."
"Aku akan balas kamu nanti, Suzune..." gumam Kyoko, lebih kepada dirinya sendiri.
Suzune tertawa. "Aku tunggu."
Kantin sekolah siang itu ramai. Suara langkah kaki, obrolan yang tumpang tindih, tetapi lebih banyak membahas kejadian Kyoko dan Kiruma, dan dentingan alat makan yang memenuhi udara. Meja-meja hampir penuh, sebagian murid duduk sambil membuka bekal, lainnya mengantri makanan hangat dari mesin penyaji otomatis yang mendesis lembut di sudut ruangan.
Di salah satu meja panjang, Kiruma duduk bersama beberapa teman satu ekskulnya—sebagian sudah kelas tiga dan sebagian kelas dua sama dengan Kiruma. Mereka masih mengenakan seragam olahraga karena baru saja latihan tambahan pagi.
"Hei, Kiruma," celetuk seorang temannya sambil menepuk bahunya, "jadi sekarang kamu jadi pelatih sekaligus.... bodyguard cewek manis, ya?"
Temen lainnya ikut berseru, "Cewek rambut hitam panjang dari kelas satu itu, kan? Cantik sekaligus imut, cocok sih sama kamu yang sok cool itu!"
Kiruma pura-pura menghela napas lelah, menyendok makanannya dengan tenang. "Kalian terlalu ribut," katanya datar.
"Tapi kamu juga yang ngajak dia pulang bareng, dasar licik. Bahkan kamu menanyakan alamatnya kepada salah satu anggota baru." Seorang kakak kelas perempuan menyikut Kiruma pelan sambil tersenyum menggoda. "Kalau dari awal kamu suka yang model begitu? Kami bisa carikan, walau sangat sulit mencari yang benar-benar sama."
Kiruma akhirnya menoleh dengan tenang, senyuman tipis muncul. "Dia bukan seperti yang kalian pikirkan."
"Oh?" Beberapa orang langsung mendekat, pura-pura memasang telinga besar. "Malah membela. Tuh kan, makin mencurigakan!"
Kiruma hanya tertawa pelan, tidak membalas.
"Ayo jujur," kata salah satu temannya sambil mengangkat alis, "kamu ngajak dia ikut ekskul karena kamu tertarik, ya?"
"Karena dia kelihatan serius dan punya potensi." jawab Kiruma singkat, masih dengan nada datarnya, lalu memakan suapan berikutnya.
Mereka semua menggoda Kiruma lebih ramai lagi.
Namun, di sela tawa mereka, salah satu temannya—yang duduk agak ujung dan dikenal sebagai murid pengamat—berucap lirih sambil menatap ke luar jendela, "Yah... selama Kiruma tersenyum begitu, artinya dia lagi jujur."
Semua sontak hening sebentar.
Kiruma menoleh, menatap temannya itu. "Kamu bicara terlalu banyak," katanya datar, tapi senyumnya belum juga hilang.
Dan tak jauh dari sana, Kyoko dan Suzune juga duduk di meja paling pojok, Kyoko masih menunduk dalam agar tidak terlalu mencolok, sambil mengamati kejadian dari kejauhan.
Suzune mengangkat alis. "Lihat tuh, Kiruma dikerubungi... kalau kamu bilang nggak ada apa-apa, coba lihat cara dia tertawa dan tersenyum tadi."
Kyoko diam, menyendok makanannya perlahan. Wajahnya masih sedikit memerah.
"Tapi dia memang baik," gumam Kyoko pelan. "Aku nggak tahu kenapa... rasanya nyaman saat di dekatnya."
Suzune menatap sahabatnya itu, lalu tersenyum. "Yah... kita lihat nanti siapa yang jatuh duluan."
***
Di sisi lain kota, langit memancar cahaya siang yang menyengat. Pendingin ruangan menyala secara otomatis di dalam rumah bergaya futuristik bercampur klasik, terletak di atas bukit—rumah Kusohi.
Di ruang utama, layar-layar hologram menyala, menampilkan berbagai data politik, keluhan masyarakat, dan beberapa data yang menampilkan aktivitas mencurigakan.
Reese duduk di atas sofa panjang dengan kaki menyilang, matanya menatap kosong ke salah satu layar.
"Pemilihan presiden satu bulan lagi." gumamnya pelan.
Kusohi duduk di pinggiran sofa, mengenakan pakaian kasual gelap, namun matanya serius. "Aku yakin ayahmu bakalan terpilih untuk kedua kalinya, karena penggemarnya ada banyak."
Reese menggeleng pelan. "Bukan itu yang ku khawatirkan... kamu juga merasakannya?"
Kusohi berdiri, lalu menatap layar yang menampilkan nama-nama anggota pejabat, termasuk Darius Klyne, yang menjabat sebagai menteri pertahanan.
"Ada sesuatu yang akan terjadi," ucap Kusohi pelan. "Darius seolah ingin melengserkan ayahmu, entah dengan cara halus atau kasar... dan itu sepertinya akan terjadi."
Reese menyilangkan tangan. "Darius mungkin akan bergerak sebelum pemilihan. Atau malah menjadikan pemilihan sebagai panggung besar dirinya."
Kusohi mengangguk perlahan. "Dan itu artinya... satu bulan dari sekarang bisa jadi momen yang paling berbahaya bagi kita semua."
Hening sesaat.
Reese memandang Kusohi, nada suaranya melembut. "Apa yang akan kamu lakukan jika hal itu terjadi? Kemungkinan Darius tidak hanya mengincar kita, mungkin juga orang terdekat."
Kusohi menunduk, wajahnya diselimuti bayang lampu layar. Di pikirannya hanya ada satu orang—Kyoko.
"Dia sudah tumbuh. Dan dunia tidak akan pernah sepenuhnya aman lagi. Tapi selama aku masih bernapas, aku akan pastikan dia tetap hidup."
Reese menatap Kusohi lama, lalu tersenyum tipis. "Aku percaya padamu."
Kusohi memutar pandangan ke salah satu pintu ruangan yang terbuka, tempat senjata-senjata tergantung rapi. Ia lalu berjalan perlahan ke sana, mengambil pedang panjang sekaligus lebar—panjangnya 1 meter lebih, dan lebarnya 15 cm.
"Jika semuanya terjadi... kita akan melawan. Meski harus mengorbankan banyak hal."
Reese menatap Kusohi lama dan dalam, sosoknya bagaikan pahlawan yang siap melawan apapun, bedanya dia tidak punya kekuatan super. Ia tahu, jika saatnya tiba, Kusohi akan menjadi tameng pertama—dan mungkin satu-satunya.