prolog : Gabriel

"Setiap detik tanpa melihatmu seperti kutukan yang tak bisa kupatahkan"

♕♕♕♕

Aku melihatnya di antara kerumunan yang bersinar, tapi dia yang membuat dunia sekitarku meredup.

Tatapannya dingin, bahunya kaku, seolah menyimpan perang di dalam dada. Pertemuan pertama kami bukan takdir yang manis. Sejak malam itu, aku menulis ulang semestaku—dan namanya ada di setiap sudutnya.

Malam itu, suasana pesta bagaikan dunia lain—penuh kemewahan, tetapi menyembunyikan kebusukan yang sulit disamarkan. Lampu kristal berkilauan, musik mengalun, dan wajah-wajah terhormat saling bersapa dengan senyum yang dibuat-buat.

Meskipun acara ini disebut sebagai amal, nyaris tak ada niat baik di dalamnya. Semua yang hadir, dari pejabat tinggi hingga tokoh ternama, datang dengan satu tujuan—keuntungan.

Aku berdiri di antara kerumunan, memperhatikan sekeliling dengan bosan, sampai mataku menangkap sosoknya. Dia berbeda. Di tengah pesta yang penuh kepalsuan, dia tampak begitu dingin dan karismatik, seolah memiliki tembok yang tak bisa ditembus oleh siapa pun.

Seorang pelayan wanita menawarkan segelas alkohol kepadanya. Dia hanya melirik sekilas sebelum menjawab dengan suara tenang, "Aku masih di bawah umur."

Jawaban itu membuat beberapa orang di sekitarnya tertawa sinis. Aku melihatnya mengangkat bahu tanpa peduli, lalu melangkah pergi dari keramaian. Sikapnya... menarik perhatianku.

Namun, seseorang menghentikannya. Seorang pemuda yang tampaknya seumuran dengannya mendekat dengan senyum mengejek. "Kenapa kamu gak minum?"

Dia menatap orang itu, tatapannya tetap datar. "Aku memang belum cukup umur untuk itu."

Orang itu tertawa keras, seakan mendengar lelucon yang luar biasa. "Jangan pura-pura polos. Semua orang di sini minum, bahkan orang tuamu juga. Jadi, apa bedanya kamu?"

Aku mengamati ekspresi pria itu—tetap tenang, tapi ada ketegasan dalam sorot matanya. "Aku gak perlu minum untuk merasa dewasa. Idiot."

Satu kalimat, tapi berhasil mencabik ego semua yang ada di sekitarnya.

Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, dia berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan kerumunan yang mulai tertawa. Aku cuma bisa tersenyum kecil. Dia... terlalu menarik.

Aku pikir rasa penasaran ini akan hilang. Namun aku mulai mencarinya—menunggu kapan bisa bertemu lagi. Mencatat namanya. Mengingat langkah kakinya.

Kupikir pertemuan itu cuma sekali. Tapi takdir membawanya ke mejaku—setiap hari, sebagai sekretarisku yang dingin dan keras kepala.

Aku gak tahu apa yang membuatku begitu tertarik padanya malam itu. Mungkin karena caranya berdiri, seolah dia tak peduli pada dunia yang berusaha menelannya hidup-hidup. Atau mungkin karena tatapannya—dingin, tapi penuh kendali.

Dia nggak pernah mengikuti arus—dia yang menciptakannya. Ketika semua orang di pesta ini sibuk mengenakan topeng kemunafikan, dia justru berdiri dengan kejujuran yang mencolok.

Tegas, tanpa basa-basi, seolah berkata, 'Ini aku. Suka atau gak, aku gak peduli.'

Dan aku... aku justru semakin penasaran. Aku menatapnya lekat-lekat saat dia berbicara, tapi jujur saja, aku gak mendengarkan sepatah kata pun. Suaranya yang tegas namun lembut itu seperti musik di telingaku—menenangkan sekaligus membuatku resah.

"...dan setelah meeting dengan klien pukul dua, Anda punya waktu luang sekitar satu jam sebelum rapat dengan dewan direksi." katanya, menutup catatannya dengan gerakan yang selalu tampak elegan.

"Rei," panggilku tanpa sadar.

Dia menoleh, alisnya sedikit berkerut. "Ya?"

Sial, kenapa aku manggil dia? Aku sendiri nggak tahu. Panik, aku mencari alasan seadanya.

"Uh... Kayaknya aku nggak ngerti jadwal tadi. Bisa diulang lagi?"

Dia menghela napas pendek—napas khas orang yang mulai lelah tapi berusaha sabar. "Tuan Gabriel, ini sudah saya jelaskan tiga kali."

Aku menahan senyum. Bagus, dia mulai kesal. Saat-saat seperti ini aku bisa melihat matanya yang biasanya datar jadi berkilat tajam.

"Aku tahu. Kalau kamu jelasin sambil marah-marah, mungkin aku bakal paham." Aku mengakui sambil berusaha menahan tawa.

Rei mendengus, menatapku seolah aku spesies paling menyebalkan di kantor ini. "Kalau begitu, saya sarankan Anda mulai fokus saat saya bicara, agar saya gak perlu membuang waktu lebih lama."

Dia kembali menyusun berkas-berkas di mejanya. Aku melihatnya... jari-jarinya sedikit gemetar.

Aku tahu kenapa. Dia mungkin terlihat tegas dan dingin, tapi aku sudah cukup lama memperhatikannya untuk tahu kalau dia sebenarnya nggak setangguh yang dia tunjukkan. Rei adalah tipe yang menyimpan semuanya sendiri—rasa khawatir, lelah, dan... entah apa lagi yang dia pendam.

Dan aku? Aku cuma pria bodoh yang jatuh cinta pada tatapan tajam yang selalu berusaha menjauh dariku.

"Rei." panggilku lagi.

Dia menoleh dengan wajah yang jelas gak sabar. "Apa lagi, Tuan Gabriel?"

Aku tersenyum kecil, kali ini tanpa niat usil. "Makasih."

Alisnya berkerut. "Untuk apa?"

Untuk banyak hal, sebenarnya. Untuk tetap sabar menghadapi sikap kekanakanku. Untuk selalu memastikan aku nggak kelewatan jadwal penting. Dan terutama... untuk membuatku jatuh cinta tanpa bisa berhenti. Tapi aku nggak bilang semua itu.

"Untuk nggak resign." jawabku singkat.

Dia menghela napas lagi—kali ini lebih panjang—lalu kembali ke pekerjaannya. Aku melihat sudut bibirnya sedikit terangkat dan aku rasa... aku semakin jatuh terlalu dalam.

♕♕♕

Jam makan siang tiba, dan aku menatap Rei yang masih sibuk dengan laptopnya.

"Rei," panggilku sambil bersandar di kursi.

Dia menoleh sekilas, ekspresinya datar seperti biasa.

"Ya?"

"Makan siang bareng yuk." ajakku santai.

Dahi Rei sedikit berkerut. "Anda gak punya jadwal makan siang dengan klien hari ini," katanya tegas, seolah aku baru saja melanggar aturan perusahaan.

Aku menghela napas panjang, berusaha menahan diri untuk gak nyengir. "Aku tahu. Aku cuma mau makan bareng aja. Makan itu lebih enak kalau rame. Aku yang traktir."

Rei menatapku lama seolah sedang menilai apakah aku sedang merencanakan sesuatu yang mencurigakan. Lalu, akhirnya dia mengangguk kecil.

"Oke. Mau makan di mana?"

"Tempat yang kamu pilih aja," jawabku. "Pilihan kamu selalu enak."

Aku bersumpah, aku melihat bibirnya sedikit terangkat... walau cuma sepersekian detik.

"Kalau gitu, kita ke restoran keluarga dekat kantor aja. Makanan di sana enak." ujarnya singkat.

Aku hampir bersorak kegirangan—jarang banget Rei setuju makan bareng begini. Aku udah membayangkan momen berdua yang langka ini, ngobrol santai, mungkin bahkan melihat dia sedikit lebih rileks... tapi beberapa menit kemudian, aku melihat sesuatu yang membuat hatiku nyaris copot.

"Eh, guys! Bos ngajak makan siang bareng! Yuk, ikut!" seru Rei santai sambil menoleh ke arah anggota tim kami yang langsung bersorak riang.

Aku menatapnya gak percaya.

"Rei..." desisku pelan.

Dia menoleh, ekspresinya tetap datar. "Kenapa?"

"Enggak... nggak apa-apa." jawabku lemas.

Apa lagi yang bisa kulakukan? Rei udah terlanjur ngajak mereka semua. Restoran yang Rei pilih memang nyaman—suasananya hangat, makanannya sederhana tapi menggugah selera. Semua orang langsung memesan makanan begitu duduk.

"Ayam mercon dan es teh manis." kataku pada pelayan.

"Pecel lele dan es buah." ujar Rei tanpa ragu.

Kami makan sambil ngobrol santai—ngomongin kerjaan, gosip receh, sampai cerita konyol dari kantor. Aku udah hampir merasa damai... sampai mataku nyasar ke arah yang salah.

Rei lagi ngobrol sama Bela. Santai banget. Senyum-senyum pula. Senyum yang super langka itu... dikasih ke Bela? Serius?

Aku menatap garpuku. Niatnya mau makan, tapi malah pengen garpu ini berubah jadi microfon biar aku bisa interupsi: ‘Maaf, Rei, boleh nggak senyum itu buat aku aja?’

Tapi ya... aku cuma bosnya. Nggak bisa protes. Aku menatap pecel lele di piring Rei. Separuh belum dimakan. Dalam hati: 'Kalau kamu nggak mau itu, Rei... sini, biar aku aja yang jadi pecel lelenya. Aku rela.'

Aku tusuk-tusuk ayam merconku sambil pura-pura tenang, tapi tiap kali Rei ketawa kecil gara-gara candaan Bela, rasanya kayak disiram sambal level lima—pedas, tapi di hati.

"Sir, makanannya salah apa, sih?" tanya Julian, salah satu anggota tim sekaligus anak buahku. Dia duduk di sebelahku, melirik ayamku yang sudah jadi korban kegelisahan.

"Nggak apa-apa." jawabku datar, berusaha menyembunyikan emosi.

Mataku nggak bisa lepas dari Rei. Dia lagi menuang kecap ke nasi sambil ngobrol sama Bela. Santai banget. Bela sesekali nepuk lengannya—sentuhan yang menurutku... nggak penting-penting amat. Aku tahu ini konyol. Aku tahu nggak punya hak buat cemburu, tapi lihat Rei ketawa bareng orang lain tuh... rasanya kayak makan sambal tanpa nasi: pedes, nggak ada penawarnya.

"Sir."

Aku baru sadar Julian masih menatapku, kali ini dengan ekspresi yang kayaknya tahu sesuatu.

"Kenapa lagi?" tanyaku, berusaha terdengar biasa saja.

"Kayaknya cemburu banget deh."

Aku hampir keselek ayam. "Apa? Enggak lah!"

"Ah masa? Dari tadi liatin mereka terus." godanya sambil nyengir.

Aku terdiam sebentar, mencari jawaban yang pas. "Saya cuma... lagi mikir kerjaan." alasan klasik yang bahkan aku sendiri nggak percaya.

Julian tertawa kecil, dia mendekat sedikit. "Sir, kalau suka ya bilang aja. Jangan cuma bisa ngeliatin doang. Nanti keburu diambil orang."

Aku terdiam. Julian mungkin cuma bercanda, tapi ucapannya nyentil banget. Kalau Rei beneran diambil orang...

Aku langsung nengok ke arahnya. Untungnya dia lagi serius makan, nggak ngobrol sama siapa-siapa. Rasanya lega sedikit, tapi tetap aja, ada yang kurang. Aku nggak mau cuma duduk rame-rame begini. Aku mau momen berdua. Mau dia senyum karena aku, bukan karena candaan orang lain. Mau dia lihat ke arahku... bukan ke Bela.

Suatu saat, aku bakal bikin itu kejadian.

Aku gigit potongan ayam terakhir sambil mengukir tekad dan sedikit rasa iri. Begitu makan selesai dan kami mau balik ke kantor, aku buru-buru menahan langkah Rei yang jalan di depanku.

"Rei." panggilku.

Dia menoleh dengan ekspresi datar khasnya. "Ya?"

"Ayo mampir ke kafe dulu, beli kopi." kataku santai.

"Ajak yang lain juga?" tanyanya tanpa banyak basa-basi.

Aku menggeleng cepat. "Nggak... cuma berdua aja." Kali ini aku menekankan kalimat terakhir dengan harapan dia paham maksudku.

Rei mengangguk, santai seolah ajakanku bukan hal besar, tapi buatku... ini penting. Besok Sabtu, kantor libur. Artinya, dua hari tanpa lihat dia. Entah kenapa, kedengarannya terlalu lama.

Kafe yang kami datangi lumayan ramai. Suara mesin kopi, denting gelas, dan obrolan pelanggan bercampur jadi satu. Kami mengantri, dan Rei sibuk sama ponselnya. Wajahnya serius banget, kayak dunia di sekitarnya nggak ada.

Aku mendekat, sengaja menyenggol lengannya pelan. "Jangan terlalu serius, nanti ponselnya baper." godaku.

Rei cuma melirik sekilas dan kembali fokus ke layar. Aku nggak menyerah. Kali ini aku mencondongkan kepala, pura-pura membaca apa yang dia ketik.

"Eh, ini chat sama pacar ya?" tanyaku iseng.

Rei mendengus pelan. "Aku nggak punya pacar."

"Ya... siapa tahu ada yang lagi PDKT?" godaku lagi.

Rei hanya mendengus pelan tanpa menanggapi. Aku memutuskan untuk nggak maksa... untuk sekarang.

Tiba-tiba, seseorang menepuk bahu Rei dari belakang. Kami berdua menoleh. Seorang wanita dengan senyum manis berdiri di sana.

"Hai," sapanya dengan nada ceria.

Rei mengangkat alis, tampak bingung. "What?"

"Aku lihat kamu dari tadi... Aku tertarik sama kamu. Boleh minta nomornya?" Wanita itu tersenyum makin lebar.

Aku menoleh ke Rei, menunggu reaksinya.

Ekspresinya tetap datar, Rei memasukkan ponselnya ke dalam saku dan menjawab santai, "Aku nggak punya ponsel."

Aku hampir nggak bisa menahan tawa. Wanita itu jelas melihat ponsel di tangan Rei beberapa detik yang lalu, dan sekarang wajahnya memerah—antara malu dan kesal.

"Oh... oke." gumam wanita itu sebelum berbalik pergi dengan langkah terburu-buru.

Aku akhirnya nggak tahan dan tertawa pelan. "Serius, Rei? Nggak punya ponsel?"

Rei hanya mengangkat bahu, seolah hal tadi bukan apa-apa. "Aku nggak suka ngasih nomor ke orang asing."

Kami sampai di konter. Aku memesan ice americano, sedangkan Rei memilih latte.

"Ini aku yang traktir." kataku, berusaha terlihat santai.

Rei menoleh singkat. "Terserah."

Aku menahan senyum. Ya ampun, kenapa sikap cueknya ini malah bikin makin suka?

Setelah membayar, aku sengaja menyinggung soal tadi. "Populer juga, ya, kamu? Bahkan orang asing berani minta nomor kamu."

"Aku nggak peduli soal itu, aku bukan tipe orang yang ngasih info pribadi ke sembarang orang." jawabnya datar.

Aku mengangguk pelan, lalu memberanikan diri berkata, "Kalau aku gimana? Aku bukan orang asing kan?"

Rei melirik ke arahku, ekspresinya masih sama—datar. "Kamu kan udah punya nomorku. Memangnya mau apa lagi?"

Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat menggoda. "Gimana kalau makan malam berdua?"

Belum sempat Rei menjawab, tiba-tiba nomor pesanan kami dipanggil.

"509!" seru barista di belakang konter.

Rei langsung berjalan ke sana, mengambil dua gelas kopi kami. Saat dia berbalik, barista yang tadi—seorang wanita dengan senyum ramah—memanggil lagi.

"Aku boleh minta nomor kamu nggak?" katanya, nadanya lebih pelan kali ini.

Aku nyaris batuk menahan tawa.

Rei menoleh sekilas ke barista itu dan dengan ekspresi super datar dia menjawab, "Nomor pesanan kami 509."

Wajah barista itu langsung berubah, jelas nggak nyangka bakal dapat jawaban setegas itu. Aku menahan tawa. Rei emang selalu cuek, tapi tadi… cara dia nolak si barista itu? Gila, lucu banget.

Begitu kami keluar dari kafe, masing-masing bawa kopi, Rei tetap jalan santai di sampingku. Ekspresinya datar kayak biasa, seolah kejadian barusan nggak berarti apa-apa. Tapi justru itu yang bikin aku makin pengin godain dia.

“Barista-nya patah hati tuh,” godaku sambil nyengir. “Kayaknya dia nggak nyangka kamu bakal setega itu.”

Rei menoleh sebentar, lalu menyeruput kopinya tanpa menjawab. Datar banget. Tapi telinganya agak merah. Ketahuan.

"Tapi tadi... soal wanita yang minta nomor kamu," lanjutku, kali ini lebih hati-hati. "Kenapa kamu bilang kamu nggak punya ponsel, padahal jelas-jelas kamu lagi pegang ponsel?"

Rei mengangkat bahu. "Aku udah bilang tadi, kan. Aku males aja ngasih nomor ke orang yang nggak aku kenal. "

Aku pura-pura tersinggung. "Terus kenapa dulu kamu kasih nomor kamu ke aku?"

"Itu karena... kamu bos aku."

Aku tertawa pendek. "Cuma karena itu?"

Rei mengangkat alis. "Memangnya kenapa lagi?"

Aku menatapnya dengan senyum menggoda. "Gimana kalau aku bilang aku tertarik sama kamu?"

Rei menatapku sekilas, lalu menyesap kopinya lagi dengan tenang. "Kalau gitu, aku anggap kamu cuma lagi bercanda."

Aku menghela napas, setengah frustrasi. Baru sadar, ngadepin Rei itu jauh lebih susah dari rapat dewan direksi atau klien paling rewel sekalipun, tapi anehnya... aku justru suka tantangan ini.

Kami berjalan berdampingan balik ke kantor. Aku sempat melirik—ekspresinya tetap datar, langkahnya tenang, tapi entah kenapa, selalu bikin aku penasaran. Dua hari tanpa lihat dia bakal kerasa panjang banget, tapi minggu depan... aku nggak akan tinggal diam. Aku bakal bikin dia lihat aku bukan cuma bosnya.