Stasiun bawah tanah Shinjuku, pukul 07.32 pagi.
Kerumunan orang menyemut di sepanjang peron. Suara sepatu menjejak lantai bergema bercampur dengan pengumuman otomatis yang tak henti mengalun. Aroma kopi dari termos para pekerja kantoran bercampur bau besi, minyak, dan udara lembab khas jalur kereta bawah tanah.
Di tengah semua itu, seorang pemuda berdiri sendiri—terlalu tenang, terlalu diam.
Namanya Seto Hanakawa, meskipun belakangan ia lebih suka dipanggil Seri. Usianya baru 17 tahun, namun tidak ada yang biasa dari dirinya. Ia seorang jenius—bukan dalam arti yang berlebihan, tetapi dalam arti harfiah. Sejak kecil, ia menguasai banyak bidang: matematika, fisika, komputer, sastra, bahkan seni bela diri. Ia tak pernah bersekolah seperti anak-anak lain. Dididik secara privat oleh guru-guru terbaik yang dibayar dengan kekayaan keluarga Hanakawa yang nyaris tak terbatas.
Namun di balik semua itu, Seri merasa... kosong.
Ia berdiri menunggu kereta ke arah timur, mengenakan seragam formal abu-abu muda dan ransel hitam ramping. Hari ini adalah hari pertamanya di Universitas Saiten—kampus riset elite tempat ia diterima langsung oleh profesor senior di usia yang bahkan belum legal untuk minum alkohol.
Tapi tidak ada rasa antusiasme. Tidak ada kebanggaan.
Seri hanya merasa dunia ini terlalu sempit untuk semua yang ia tahu. Semua yang ia bisa. Ia seperti berada dalam kotak kaca, ditonton, dipuji, tapi tak pernah benar-benar disentuh.
Lalu, kereta datang.
Ia melangkah masuk bersama ratusan orang lain, duduk di kursi pojok dekat jendela, dan menatap pantulan wajahnya di kaca. Tak lama kemudian, pintu menutup. Mesin bergetar. Kereta bergerak memasuki lorong panjang dan gelap.
Dan kemudian...
Cahaya putih menyilaukan segalanya.
Sebuah ledakan dahsyat mengguncang terowongan. Suara logam robek. Teriakan. Api. Tubuh-tubuh beterbangan. Gerbong terangkat dan menghantam langit-langit. Dunia terbalik dalam sekejap.
Tak ada waktu untuk berpikir. Tak ada waktu untuk merasa takut.
Seri hanya melihat kilatan—dan hening.
Lalu... gelap.
---
Kelahiran Kembali
“Oek… oek…”
Tangisan bayi menggema di sebuah ruangan hangat yang dipenuhi cahaya temaram dari lampu sihir.
Di sana, seorang wanita bangsawan tengah memeluk bayi merah yang baru lahir. Di sisi ranjang, seorang pria dengan mata tajam dan jubah kebesaran menyentuh kepala anak itu dengan tangan gemetar.
Namun di balik tangisan bayi itu, terdapat kesadaran yang seharusnya tidak mungkin ada.
Seri—Seto Hanakawa—masih hidup.
Atau lebih tepatnya, ia telah terlahir kembali.
Kali ini, bukan di Tokyo, bukan di Jepang, bahkan bukan di Bumi.
Ia terlahir sebagai Vian von Silford, anak keempat dari Marquess Daniel von Silford, bangsawan tinggi di perbatasan utara Kerajaan Kartia, sebuah dunia yang memiliki sihir, dewa, monster, dan kekuatan-kekuatan kuno.
Kesadaran lamanya tetap utuh. Ia ingat semua: wajah orang tuanya, kematian di kereta, angka-angka persamaan rumit, bahkan bagaimana rasanya menggenggam keyboard komputer.
Namun tubuh ini... adalah milik bayi yang baru dilahirkan.
Ia tidak tahu mengapa ini terjadi, atau siapa yang mengaturnya. Tapi satu hal pasti: hidup ini adalah kesempatan kedua.
---
Anak yang Terlalu Cepat Tumbuh
Tiga tahun pertama hidupnya di dunia baru dijalani Vian dalam diam. Ia berpura-pura menjadi anak biasa—menangis, tertawa, belajar bicara secara perlahan. Tapi saat sendirian, ia mengamati. Ia mencatat. Ia menganalisis bahasa baru, sistem sosial, struktur kekuasaan, dan—yang paling menarik baginya—sihir.
Kerajaan Kartia memiliki sistem pendidikan magis yang terstruktur, namun penuh batasan birokrasi. Sihir diajarkan dalam bentuk mantra formal dan penggunaan tongkat atau alat bantu. Tapi Vian menyadari sesuatu: dunia ini belum menyentuh potensi penuh dari kekuatan itu.
Di usia tiga tahun, ia sudah mampu membaca. Di usia empat, ia menguasai seluruh isi perpustakaan rumahnya—dari sejarah kerajaan, teori sihir dasar, hingga jurnal militer. Ia mulai bereksperimen diam-diam, mencoba memanipulasi aliran mana tanpa mantra. Dan berhasil.
Ia menciptakan sihir diam.
Sesuatu yang bahkan para penyihir istana anggap mustahil tanpa alat bantu tingkat tinggi.
---
Hari Pembaptisan
Pada usia lima tahun, semua anak bangsawan menjalani Baptisan Suci—sebuah ritual untuk menerima berkat dari para dewa. Berkat ini menentukan potensi magis, bakat bertarung, bahkan jalan hidup seseorang.
Sebagian besar anak hanya menerima satu atau dua berkat. Tiga dianggap sangat langka. Empat? Hampir tidak pernah terdengar.
Namun saat Vian berdiri di altar kuil besar dan para pendeta mulai membacakan doa...
Langit berubah.
Petir berkilat di tengah siang. Cahaya tujuh warna jatuh dari langit dan melingkupi tubuhnya. Tubuhnya melayang, dan seolah waktu membeku.
“Tak mungkin…” gumam salah satu pendeta. “Tujuh dewa…”
Vian menerima berkat dari ketujuh dewa utama dunia ini.
Seluruh ibu kota gempar. Raja mengirim utusan. Para akademisi memohon untuk meneliti tubuhnya. Para bangsawan ingin menjodohkan anak-anak mereka dengannya.
Namun Vian, yang masih memiliki pola pikir Seto, tahu satu hal: kekuatan besar selalu datang dengan harga yang lebih besar.
Jadi ia memalsukan statusnya. Ia menyembunyikan berkat-berkatnya dari dunia, dan membuat tampilannya terlihat biasa saja.
Bagi semua orang, ia hanya anak yang “berbakat baik”—bukan “utusan ilahi”.
---
Munculnya Nama Besar
Pada usia tujuh tahun, ia menyelamatkan Putri Kerajaan dari serangan monster kelas tinggi saat sebuah pesta kerajaan diadakan di wilayah perbatasan. Ia menggunakan teleportasi tanpa mantra untuk memindahkan sang putri keluar dari bahaya, lalu membunuh monster itu dengan sihir api yang ia kembangkan sendiri.
Kisahnya menyebar seperti api. Lagu-lagu tentang anak ajaib mulai dinyanyikan para bard.
Pada usia dua belas tahun, ia menjadi petualang peringkat A—peringkat yang biasanya hanya dicapai oleh veteran berusia 30-an ke atas. Ia mengalahkan penyihir pemberontak, menjinakkan naga kecil, dan bahkan membantu memperbaiki jaringan pertahanan sihir kerajaan.
Namun meskipun ia terus bertumbuh, satu hal tetap ia jaga: kerendahan hati dan jarak dari pusat kekuasaan.
Ia tahu... dunia ini tidak stabil.
Ia tahu... ada kekuatan yang bangkit di balik bayangan.
Ia tahu... ia bukan satu-satunya yang datang dari dunia lain.
---
Tapi Ini Bukan Kisah Tentang Vian
Kalian mungkin mengira ini adalah kisah tentang anak jenius yang bereinkarnasi ke dunia fantasi, lalu tumbuh menjadi pahlawan dan menyelamatkan dunia.
Itu hanya setengah dari cerita.
Karena pada hari yang sama ketika Seto Hanakawa meninggal di kereta bawah tanah Tokyo...
Seseorang lain juga berada di gerbong itu.
Seseorang yang tidak jenius. Tidak berbakat. Tidak punya harta, tidak punya nama.
Seseorang yang biasa.
Dan ia juga terlahir kembali di dunia yang sama—di Kerajaan Kartia.
Namun dengan keadaan yang jauh berbeda...