Napas Kael tercekat di tenggorokannya, udara terasa berat dan penuh partikel aneh yang berkilauan. Pemandangan di hadapannya adalah sesuatu yang seharusnya hanya ada dalam fiksi ilmiah terliar. Separuh dari distrik komersial yang beberapa saat lalu ramai oleh lalu lalang manusia kini seperti dirobek paksa dari realitas, digantikan oleh kawah berasap yang memancarkan cahaya nila yang berdenyut-denyut mengerikan. Puing-puing bangunan melayang tak beraturan di udara seolah menentang gravitasi. Namun, bukan kehancuran skala besar itu yang membuat mata Kael terpaku, melainkan sosok yang berdiri tenang di pusat anomali tersebut—seorang gadis, diselimuti selubung cahaya rembulan pucat, rambut peraknya yang panjang menari lembut ditiup angin spektral yang tak terasa oleh Kael. Di tangannya yang ramping tergenggam sabit raksasa, bilahnya melengkung elegan dan memancarkan kilau gelap serupa galaksi jauh, seolah ditempa dari inti bintang yang telah mati, menebarkan aura dingin yang mengancam dan sunyi, namun penuh dengan potensi kehancuran tak terbayangkan.
"Ah—" Desahan lirih itu lolos dari bibir Kael, menghilang ditelan gemuruh samar dari kawah. Kehadiran gadis itu begitu luar biasa hingga menekan semua objek lain dalam pandangannya. Gaunnya, seperti ditenun dari benang cahaya bintang dan sutra malam, berkilauan dengan partikel debu kosmik, memancarkan cahaya lembut yang kontras dengan sabit mengerikan di tangannya. Namun, kecantikan gadis itu sendiri, dengan mata biru safirnya yang menyimpan kedalaman semesta dan kesedihan yang tak terperi, bahkan melampaui semua itu.
Pandangan, perhatian, bahkan detak jantung Kael—semua tercuri pada saat itu. Begitu... berlebihan; begitu abnormal; begitu intens; cantik.
"Si—Siapa..." Dengan bingung, Kael akhirnya bersuara, kata-katanya serak. Bahkan jika tenggorokannya akan hancur karena pertanyaan lancang itu, ia harus tahu.
Gadis itu perlahan mengalihkan pandangannya ke bawah, mata safirnya yang dingin bertemu dengan tatapan Kael.
"...Namamu?" Suaranya, membawa pertanyaan dari relung hatinya, menggetarkan udara.
Namun.
"—Aku tidak punya nama," dengan tatapan sendu yang menyayat, gadis itu menjawab.
"..."
Saat itu.
Kedua pasang mata itu bertemu—kisah Kaelen Vance telah dimulai.