Bab 3: Duel Dua Warna di Atas Kanvas Kelabu

Bagian 1

Dunia di sekitar Kael terasa lambat dan sunyi, teredam oleh efek apatis dari kekuatan Chroma. Tapi di depan matanya, dua kekuatan dahsyat bersiap untuk meledak. Udara berderak dengan energi yang kontras—cahaya kosmik Lyra yang tajam dan bergejolak melawan aura hampa Chroma yang dingin dan meresap. Kael berdiri di antara keduanya, seorang manusia biasa yang nekat terjun ke dalam pertarungan para dewi kecil.

"Kael! Menyingkir!" Suara Lyra terdengar tajam, penuh kekhawatiran yang bercampur dengan amarah yang terfokus pada Chroma. "Dia berbahaya!"

"Tidak, Lyra! Dengar dulu!" Kael balas berteriak, mencoba menahan rasa sakit di tubuhnya akibat pendaratan darurat tadi. "Dia tidak bermaksud jahat! Dia hanya—"

Terlambat. Chroma, yang mungkin merasa terancam oleh kehadiran Lyra yang agresif atau bingung dengan kemunculan Kael, kembali bergerak. Kuas besarnya menari di udara, melukis simbol-simbol rumit yang bersinar dengan cahaya kelabu.

"Dia datang!" Rina memperingatkan melalui headset, suaranya masih terdengar sedikit berat. "Analisis menunjukkan dia sedang membangun sebuah ilusi skala besar!"

Lyra tidak memberinya kesempatan. Dengan raungan tanpa suara, ia melesat maju, sabit raksasa di tangannya meninggalkan jejak nebula ungu. Ia tidak ragu sedikit pun. Baginya, logikanya sederhana: ada entitas yang menyakiti perasaan Kael (melalui gelombang apatis) dan kini mengancamnya. Entitas itu harus dilenyapkan.

"Stardust Requiem!"

Lyra mengayunkan sabitnya secara horizontal. Tebasan energi kosmik yang dahsyat melesat, merobek aspal dan mengirimkan gelombang kejut yang membuat Kael terhuyung.

Chroma, dengan ketenangan yang menakutkan, hanya mengetukkan ujung kuasnya ke tanah.

"Fading Sketch."

Tepat sebelum tebasan Lyra mengenainya, tubuh Chroma menjadi transparan, seperti sketsa pensil yang dihapus. Tebasan itu melewatinya begitu saja dan menghantam bagian depan sebuah gedung di belakangnya, menciptakan ledakan besar yang meruntuhkan fasad bangunan itu.

"Dia menghindar!" seru Kael.

Chroma muncul kembali beberapa meter di sampingnya, masih dengan ekspresi kosong. Ia mengayunkan kuasnya ke arah Lyra. Kali ini, cat spektral yang keluar bukanlah kelabu, melainkan hitam pekat seperti tinta.

"Portrait of Stillness."

Tinta hitam itu membentuk sebuah bingkai persegi di sekitar Lyra. Dari dalam bingkai, rantai-rantai bayangan melesat keluar, mencoba membelenggu Lyra.

"Mainan seperti ini tidak akan mempan!" Lyra berputar dengan anggun, sabitnya menjadi badai tebasan kecil yang menghancurkan setiap rantai bayangan yang mendekat. "Kau hanya bisa bersembunyi dan bermain trik, hah!?"

Kemarahan Lyra semakin memuncak. Ia mengangkat sabitnya tinggi-tinggi.

"Nova Crash!"

Ia menghantamkan senjatanya ke tanah. Tanah di bawah Chroma retak, dan sebuah lubang gravitasi mini terbentuk, mencoba menarik Chroma ke pusatnya.

Untuk pertama kalinya, sedikit ekspresi muncul di wajah Chroma—kejutan. Ia menusukkan gagang kuasnya ke aspal untuk menahan diri, kakinya yang telanjang nyaris terangkat dari tanah. Dengan susah payah, ia menggoreskan kuasnya ke udara.

"Monochrome Canvas."

Dunia di sekitar mereka bergetar. Realitas itu sendiri seolah menjadi kanvas. Gedung-gedung yang hancur, mobil-mobil yang rusak, bahkan langit—semuanya mulai luntur dan melebur menjadi sapuan kuas cat air kelabu. Ini bukan lagi sekadar menghilangkan warna, ini adalah manifestasi reality marble—dimensi saku di mana Chroma adalah penguasanya.

"Kael, keluar dari sana!" teriak Rina. "Dia menciptakan wilayah kekuasaannya! Aturan fisika bisa berubah di dalam sana!"

Kael merasakan tarikan gravitasi dari serangan Lyra melemah saat realitas di sekitarnya ditulis ulang. Pertarungan kini berpindah ke dunia lukisan Chroma.

Di dalam kanvas monokrom itu, pemandangannya sureal. Garis-garis tidak lagi lurus, perspektif menjadi kacau. Lyra tampak sedikit bingung dengan perubahan mendadak ini.

"Dunia yang membosankan," desisnya. "Akan kuhancurkan bersama denganmu!"

Tapi saat ia mencoba melesat maju, gerakannya terasa lebih lambat, lebih berat. Di dalam dunianya, Chroma memiliki kendali atas ruang dan gerak.

Chroma memanfaatkan kesempatan itu. Ia melayang sedikit di udara, kuasnya kini bergerak dengan kecepatan dan presisi yang menakutkan. Ia "melukis" puluhan salinan dari sabit Lyra di udara, yang kemudian melesat ke arah Lyra dari segala penjuru.

"Tiruan murahan!" Lyra menggeram, memutar sabitnya untuk menangkis serangan bertubi-tubi itu. Setiap benturan menghasilkan dentuman yang teredam di dunia yang aneh ini.

Kael menyaksikan pertarungan itu dengan hati yang berat. Ini salah. Mereka seharusnya tidak bertarung. Lyra bertarung karena cemburu dan ingin melindunginya. Chroma bertarung karena ketakutan dan terpojok. Keduanya sama-sama "anak hilang".

Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Berteriak tidak lagi efektif. Ia harus masuk lebih dalam, ke sumber emosi mereka berdua.

Ia menutup matanya, mengabaikan pertarungan sengit di dekatnya. Ia mencoba meraih resonansi dari kedua Phantasm itu sekaligus.

Dari Lyra, ia merasakan badai api—amarah, proteksi, dan sedikit rasa takut kehilangan.

Dari Chroma, ia merasakan lautan es—kehampaan, ketakutan akan penilaian, dan di dasar lautan itu, sebuah kerinduan yang membeku.

Kael adalah milikku! —Gema emosi dari Lyra.

Jangan lihat aku… jangan nilai aku… biarkan aku sendiri… —Gema emosi dari Chroma.

Bagaimana cara mendamaikan api dan es?

Bagian 2

Pertarungan semakin intens. Lyra, meskipun gerakannya melambat, mulai beradaptasi. Kekuatan kosmiknya yang mentah mulai merusak "kanvas" Chroma. Setiap tebasannya tidak hanya menghancurkan ilusi, tapi juga merobek realitas itu sendiri, menciptakan retakan-retakan kecil di mana warna-warna dunia nyata mulai merembes masuk.

Chroma, menyadari dunianya mulai rusak, menjadi semakin putus asa. Lukisannya menjadi lebih liar dan abstrak. Tanah di bawah kaki Lyra tiba-tiba berubah menjadi rawa tinta yang mencoba menelannya, sementara langit menurunkan hujan bilah-bilah cat yang tajam.

"Kael!" Lyra berteriak, saat ia harus melompat mundur untuk menghindari rawa tinta, memberinya sedikit celah. "Aku akan mengakhiri ini sekarang!"

Energi mulai berkumpul di sabitnya, bersiap untuk serangan pamungkas yang bisa menghancurkan seluruh dimensi saku ini—dan mungkin juga sebagian besar kota bersamanya.

Kael tahu ia kehabisan waktu.

Ia membuka matanya. Tidak ada waktu untuk diplomasi yang hati-hati. Ia harus mengambil risiko.

Ia tidak berlari ke arah Lyra untuk menenangkannya. Ia juga tidak berlari ke arah Chroma untuk menghiburnya.

Ia berlari ke arah yang berlawanan, ke pusat alun-alun yang kini menjadi medan pertempuran mereka. Ia berdiri di titik di mana ia bisa dilihat oleh keduanya.

"HENTIKAN!" teriaknya, kali ini bukan hanya dengan suara, tapi dengan gelombang emosi murni yang ia lepaskan dari dalam dirinya. Sebuah permohonan yang tulus.

Keduanya tersentak dan berhenti sejenak, menatapnya.

Kael menatap Lyra terlebih dahulu. "Lyra! Aku tahu kau ingin melindungiku! Terima kasih! Aku tidak akan pernah melupakan itu! Tapi cara ini salah! Dengan menghancurkannya, kau menjadi sama seperti mereka yang ingin menyakitimu!"

Kemudian, ia beralih ke Chroma. "Dan kau! Aku tahu kau takut! Aku tahu kau hanya ingin sendirian! Tapi lari dan bersembunyi di dunia tanpa warna ini tidak akan menghilangkan rasa sakitmu! Itu hanya akan menguburnya!"

Kata-katanya, yang dipenuhi resonansi emosional, seolah menjadi warna pertama di dunia kelabu itu.

Lyra goyah, energi di sabitnya sedikit meredup. "Tapi… dia menyakitimu…"

"Tidak," Kael menggeleng. "Dia hanya ketakutan. Sama sepertimu dulu, saat kita pertama kali bertemu. Ingat?"

Mendengar itu, tatapan Lyra melunak. Ingatan akan kehampaan dan ketakutannya sendiri membuatnya merasakan sedikit empati.

Kael kemudian menatap Chroma. "Aku tidak akan menilaimu. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin melihat lukisanmu. Lukisan yang sebenarnya. Lukisan yang ingin kau tunjukkan pada ayahmu."

Mendengar kata "ayah", tubuh kecil Chroma bergetar hebat. Kanvas monokrom di sekitar mereka mulai beriak tidak stabil.

"Aku… tidak punya… lukisan…" bisiknya, suara pertama yang Kael dengar darinya. Suaranya pecah dan penuh keputusasaan. "Semuanya… tidak cukup baik… Ayah… tidak pernah…" Kalimatnya terputus oleh isak tangis yang tertahan.

Itulah intinya. Tragedi seorang seniman cilik yang merasa karyanya tidak pernah cukup baik untuk orang yang paling ia kagumi, ayahnya sendiri. Keputusasaannya begitu besar hingga ia memutuskan untuk menghapus semua warna dan emosi, karena jika tidak ada apa-apa, maka tidak akan ada penilaian, tidak akan ada kegagalan.

"Itu tidak benar," kata Kael dengan lembut. "Setiap goresan kuasmu, setiap tetes catmu… itu adalah bagian dari dirimu. Itu semua berharga."

Ia melangkah maju perlahan, mendekati Chroma.

Lyra, melihat ini, tidak lagi mencoba menyerang. Ia hanya berdiri waspada, siap melindungi Kael jika terjadi sesuatu.

"Biarkan aku melihat," Kael mengulurkan tangannya. "Bukan dunia kelabu ini. Tapi dunia yang ada di dalam hatimu. Dunia yang ingin kau lukis."

Chroma menatap tangan Kael yang terulur. Ia menatap Kael, lalu ke Lyra yang kini diam. Ia tampak seperti anak kecil yang dihadapkan pada pilihan yang mustahil. Terus bersembunyi dalam kehampaan yang aman, atau mengambil risiko untuk percaya pada seseorang.

Dengan tangan gemetar, ia perlahan menurunkan kuas besarnya.

Dan saat ujung kuas itu menyentuh tanah, dunia monokrom di sekitar mereka pecah seperti kaca, kembali ke realitas kota Stellara yang rusak.

Chroma berdiri di sana, di tengah puing-puing, menangis dalam diam, air mata kelabu mengalir di pipinya.

Pertarungan telah berakhir. Pertarungan yang sesungguhnya—pertarungan untuk menyembuhkan sebuah hati—baru saja akan dimulai.