Bagian 1
Dua hari setelah insiden di Museum Seni Pusat, apartemen Kael telah mencapai tingkat keramaian yang baru dan membingungkan. Jika sebelumnya hanya ada Lyra sebagai bayangan pendiam yang setia, kini ada tambahan Chroma, sebuah lubang hitam keheningan yang artistik.
Pagi itu, Kael sedang berjuang di dapur, mencoba membuat sarapan untuk empat orang dengan selera yang sangat berbeda. Elara, seperti biasa, meminta panekuk dengan sirup cokelat melimpah. Kael sendiri lebih suka roti panggang sederhana dengan telur. Lyra, setelah bereksperimen, memutuskan bahwa ia hanya menyukai makanan yang "berbentuk seperti bintang atau bulan". Dan Chroma… Chroma tidak meminta apa-apa. Ia hanya akan duduk dan menatap makanan apa pun yang diletakkan di depannya selama beberapa menit sebelum memakannya dengan sangat lambat.
"Kael, ini bintangnya kurang runcing," protes Lyra pelan sambil menunjuk telur ceplok yang Kael coba bentuk menggunakan cetakan kue.
"Maaf, maaf, cetakannya agak penyok," Kael menghela napas. Ia melirik ke meja makan. Elara asyik dengan konsolnya, sementara Chroma duduk diam di kursinya, sebuah buku sketsa terbuka di pangkuannya, tangannya yang kecil memegang sebatang pensil warna biru.
Tiba-tiba, terjadi sebuah insiden kecil. Lyra, saat mencoba meraih botol sirup untuk Kael (karena Kael adalah satu-satunya yang boleh menyentuh "nektar kosmik"-nya), tidak sengaja menyenggol gelas air di depan Chroma. Gelas itu terbalik, menumpahkan air ke atas buku sketsa Chroma.
"Ah!" seru Elara.
Lyra membeku, matanya melebar karena panik. "A-aku tidak sengaja…"
Chroma menatap halaman sketsanya yang kini basah kuyup. Gambarnya, sebuah potret Kael yang sedang tersenyum, luntur menjadi noda warna yang kabur. Keheningan yang mencekam menyelimuti meja makan. Chroma tidak menangis, tidak juga marah. Ia hanya menatap karyanya yang rusak dengan mata kosong, dan seluruh ruangan seolah menjadi lebih dingin.
Kael segera mengambil lap dan mencoba mengeringkan halaman itu, tapi sudah terlambat. "Tidak apa-apa, Chroma. Nanti kita bisa beli buku sketsa yang baru. Kau bisa menggambarnya lagi, kan?" Kael mencoba menghibur.
Chroma tidak menjawab. Ia hanya menutup buku sketsanya, bangkit dari kursinya, dan berjalan ke sudut ruangan, duduk memeluk lututnya. Ia kembali menjadi cangkang yang kosong.
Lyra menatap Kael dengan ekspresi sangat bersalah. "Kael… aku… merusaknya."
"Bukan salahmu, Lyra. Itu kecelakaan," Kael menenangkannya sambil mengusap kepalanya. Tapi ia tahu, bagi Chroma, itu bukan sekadar gambar yang rusak. Itu adalah pengingat akan kegagalan, akan ketidaksempurnaan yang sangat ia takuti.
Suasana sarapan yang canggung itu diselamatkan oleh dering ponsel Kael. Panggilan dari Rina.
"Halo?"
"Kael, ini aku. Kau ada waktu setelah sarapan? Komandan Kirana ingin bertemu kita di markas," suara Rina terdengar seperti biasa, datar dan profesional.
"Ya, tentu. Ada perkembangan?"
"Banyak. Ini tentang 'Chroma'. Datanglah ke titik penjemputan biasa dalam satu jam. Sendirian."
"Dimengerti," Kael menutup telepon. Ia menatap ke arah Chroma yang masih meringkuk di sudut, lalu ke Lyra yang masih tampak murung. Keluarga barunya ini benar-benar sebuah pekerjaan rumah yang besar.
Bagian 2
Satu jam kemudian, Kael sudah berada di ruang rapat Ordo Chronosentinel, duduk berhadapan dengan Komandan Kirana dan Rina. Layar holografik besar di antara mereka menampilkan semua data yang telah dikumpulkan tentang Phantasm Chroma.
"Seperti yang kau laporkan, Tuan Vance," Komandan Kirana memulai, "emosi inti dari 'Chroma' adalah kerinduan yang mendalam, yang terkait dengan sosok ayah."
Ia menampilkan gambar spektral yang ditemukan Kael di dinding gang. "Dan berdasarkan kesaksianmu serta fakta bahwa targetnya adalah pameran Vincent Volkov, kami sampai pada satu hipotesis."
"Bahwa Phantasm ini… memiliki hubungan dengan ayahku," Rina menyelesaikan kalimat itu, suaranya pelan dan berat.
"Tepat," Komandan Kirana mengangguk. "Kami telah memeriksa arsip lama ayahmu. Tidak ada catatan resmi tentang anak angkat atau murid yang tinggal bersamanya. Tapi kami menemukan sesuatu yang lain."
Sebuah entri jurnal digital muncul di layar. Itu dari buku harian pribadi Vincent Volkov, ditulis sekitar enam tahun yang lalu.
14 Mei. Grecia menunjukkan lukisan barunya hari ini. Warnanya masih mentah, tekniknya masih kurang. Tapi matanya… ada badai di dalam matanya. Sebuah bakat murni yang liar dan belum terasah. Aku harus lebih keras padanya. Aku tidak boleh membiarkan potensi sebesar itu layu karena pujian yang dangkal.
"Grecia…" Kael membacanya pelan.
"Kami tidak menemukan nama itu di database kependudukan mana pun," kata Rina. "Kemungkinan itu nama panggilan, atau nama yang diberikan ayahku padanya."
"Entri jurnal ini berhenti tiba-tiba beberapa bulan setelah itu," lanjut Komandan Kirana. "Dan setelah tanggal itu, karya-karya ayahmu menjadi lebih gelap, lebih muram. Seolah-olah 'cahaya'-nya telah hilang. Kami yakin, sesuatu yang tragis telah terjadi pada gadis bernama Grecia ini."
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Kael.
"Kalian berdua adalah kunci untuk memecahkan misteri ini," jawab Komandan Kirana. "Rina, sebagai putrinya, kau memiliki akses dan mungkin ingatan yang bisa membantu. Dan Kael, sebagai Resonator, kau bisa merasakan gema emosional yang tertinggal."
Ia menatap mereka berdua dengan serius. "Saya memberi kalian misi resmi: selidiki studio lama Vincent Volkov. Tempat itu telah disegel sejak kematiannya. Cari apa pun yang bisa memberi kita petunjuk tentang siapa Grecia, apa yang terjadi padanya, dan mengapa ia menjadi Phantasm."
Misi ini terasa sangat berbeda. Bukan lagi tentang menghentikan ancaman, tapi tentang menggali luka lama. Terutama bagi Rina.
"Apakah kau baik-baik saja dengan ini, Rina?" tanya Kael saat mereka berjalan keluar dari ruang rapat.
Rina terdiam sejenak, menatap ke koridor yang panjang dan steril. "Aku seorang agen Ordo. Ini adalah misi. Emosi pribadi tidak relevan."
Jawaban itu terdengar dingin, tapi Kael bisa melihat tangannya yang terkepal erat di sisinya. Ini jauh lebih dari sekadar misi baginya. Ini adalah tentang ayahnya.
Mereka diantar ke sebuah area penyimpanan khusus di mana barang-barang dari studio Vincent Volkov disimpan. Seorang petugas menyerahkan sebuah kotak berisi kunci-kunci tua dan sebuah kartu akses.
"Studio itu berada di Distrik Seniman Lama, tidak jauh dari lokasi kemunculan pertama Chroma," kata petugas itu. "Sudah lama tidak ada yang masuk ke sana."
Saat Kael dan Rina bersiap untuk berangkat, Kael teringat sesuatu.
"Tunggu sebentar," katanya pada Rina. Ia berjalan ke sebuah terminal komunikasi dan melakukan panggilan video ke apartemennya.
Layar menampilkan wajah Elara. "Ada apa, Kak?"
"Elara, tolong berikan teleponnya pada Lyra sebentar."
Layar berganti, menampilkan wajah Lyra yang sedikit cemas. "Kael?"
"Lyra, aku akan pergi sebentar dengan Rina untuk sebuah misi. Tolong jaga Chroma dan Elara, ya?"
Lyra mengangguk. "Cepat kembali."
"Pasti," Kael tersenyum. "Oh, dan bisakah kau melakukan sesuatu untukku? Coba ajak Chroma menggambar lagi. Katakan padanya, tidak apa-apa jika gambarnya luntur atau tidak sempurna. Yang penting adalah mencoba lagi. Katakan padanya… aku menantikan lukisan barunya."
Lyra terdiam sejenak, lalu mengangguk lagi, kali ini dengan lebih mantap. "Akan kusampaikan."
Setelah menutup panggilan, Kael merasa sedikit lebih lega. Ia mungkin sedang pergi menjalankan misi untuk menyembuhkan masa lalu Chroma, tapi di rumah, ia meninggalkan misi lain untuk Lyra: membantu menyembuhkan masa kini Chroma.
"Ayo pergi, Rina," kata Kael.
Rina mengangguk. Bersama-sama, mereka melangkah menuju mobil, menuju sebuah studio yang terbengkalai, tempat di mana potret sebuah keluarga yang belum selesai menunggu untuk diungkap.