Bagian 1
Suasana di ruang rapat markas Ordo Chronosentinel terasa tegang. Di atas meja holografik, buku harian bergambar milik Grecia terbuka secara digital, halaman terakhirnya yang memilukan menjadi pusat perhatian. Kael, Rina, dan Komandan Kirana berdiri mengelilingi meja itu dalam diam. Di layar lain, rekaman dari "seni yang hidup" di studio Volkov diputar ulang, sebuah fenomena yang masih coba dianalisis oleh para teknisi terbaik Ordo.
"Jadi, kesimpulannya jelas," Komandan Kirana akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar berat. "Phantasm 'Chroma' adalah manifestasi dari gema emosional seorang gadis bernama Grecia, anak angkat sekaligus murid dari almarhum Vincent Volkov. Pemicunya adalah kombinasi dari penyakit, keputusasaan, dan perasaan gagal yang mendalam."
Rina mengangguk, matanya menatap kosong pada gambar di buku harian itu. "Kritik ayah… itu adalah pemicu terakhirnya. Dia tidak tahu betapa rapuhnya Grecia saat itu."
"Dan fenomena di studio," lanjut Komandan Kirana, "kami menyebutnya 'Resonansi Residual'. Emosi kuat yang tertinggal dari dua seniman—ayahmu dan Grecia—terpicu oleh kehadiran penyusup dan emosi kuatmu, Rina. Tempat itu telah menjadi semacam Phantasm tingkat Echo tersendiri, sebuah 'penjaga' yang melindungi kenangan di dalamnya."
Kael, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Jadi, apa langkah kita selanjutnya? Chroma sudah tenang, tapi masalah intinya belum selesai. Kerinduannya pada 'pengakuan' ayahnya masih ada. Jika kita tidak menyelesaikannya, dia bisa kembali tidak stabil."
Ini adalah inti dari dilema mereka. Bagaimana cara memberikan penutupan pada jiwa yang ayahnya sudah tiada?
"Ada satu hal yang bisa kita coba," kata Rina tiba-tiba, matanya menunjukkan secercah tekad baru. "Di buku harian itu, Grecia bilang dia tidak bisa menyelesaikan lukisan potret ayah. Lukisan itu… mungkin masih ada di studio."
Komandan Kirana menatapnya. "Kau ingin kembali ke sana?"
"Ya," jawab Rina tegas. "Jika lukisan itu ada, dan jika kita bisa 'menyelesaikannya' untuknya, mungkin itu bisa memberikan kedamaian yang ia cari." Ia kemudian menoleh pada Kael. "Tapi aku tidak bisa melakukannya sendiri. Aku butuh bantuanmu. Aku butuh resonansimu untuk 'merasakan' apa yang ingin dilukis oleh Grecia."
Permintaan itu sangat personal. Rina, sang agen logis, kini meminta bantuan pada Kael dalam sebuah misi yang sepenuhnya didasarkan pada emosi dan seni. Ini adalah perubahan besar dalam karakter Rina.
"Tentu saja aku akan membantumu," jawab Kael tanpa ragu.
Bagian 2
Malam itu, Kael kembali ke apartemen dengan perasaan campur aduk. Ia menemukan Elara dan Lyra sedang menonton film animasi di ruang keluarga, sementara Chroma duduk di karpet, dikelilingi oleh kertas-kertas gambar.
"Bagaimana misinya, Kael?" tanya Lyra, langsung menghampirinya.
"Kami menemukan petunjuk," jawab Kael. Ia kemudian berjongkok di depan Chroma.
Gadis kecil itu mendongak. Di tangannya ada sebuah pensil warna biru. Ia sedang mencoba menggambar lagi.
"Chroma," Kael memulai dengan lembut, "kami menemukan buku harianmu."
Tubuh Chroma menegang sedikit.
"Kami tahu tentang lukisan ayahmu. Lukisan yang tidak sempat kau selesaikan," lanjut Kael. "Besok, aku dan Rina akan pergi ke studio untuk mencarinya. Kami… kami ingin mencoba menyelesaikannya untukmu."
Chroma menatapnya, matanya yang biru kelabu mulai berkaca-kaca.
"Maukah kau ikut dengan kami?" tanya Kael. "Maukah kau menunjukkan pada kami… bagaimana seharusnya lukisan itu terlihat?"
Ini adalah sebuah risiko. Membawa Chroma kembali ke tempat yang penuh dengan kenangan traumatis bisa memicu ketidakstabilannya. Tapi Kael merasa ini adalah satu-satunya cara. Penyembuhan harus datang dari Chroma sendiri.
Setelah hening yang panjang, Chroma mengangguk sangat pelan.
Keesokan harinya, tim kecil itu kembali ke Volkov Atelier. Kali ini, mereka tidak menyelinap. Ordo telah memasang perimeter keamanan yang ketat di sekitar gedung untuk mencegah serangan Crimson Hunt.
Kael, Rina, Lyra, dan Chroma melangkah masuk ke dalam studio yang kini terasa sakral. "Hantu-hantu seni" itu tetap diam, seolah merasakan niat damai mereka.
Rina memandu mereka ke ruang kerja di lantai dua. Di sana, tersandar di sudut yang gelap, mereka menemukannya. Sebuah kanvas besar yang ditutupi kain, berbeda dari yang mereka lihat kemarin.
Dengan napas tertahan, Rina membuka kain itu.
Di atas kanvas, terpampang sebuah potret Vincent Volkov yang baru setengah jadi. Sketsanya sudah selesai, menunjukkan sosoknya yang berwibawa dengan tatapan tajam. Beberapa warna dasar sudah diaplikasikan, tapi sebagian besar kanvas masih kosong. Inilah mahakarya terakhir Grecia yang gagal.
Chroma mendekati lukisan itu, jemari kecilnya yang transparan nyaris menyentuh kanvas. Air mata kelabu mulai mengalir lagi di pipinya.
"Aku… tidak bisa…" bisiknya. "Warnanya… salah."
"Kalau begitu, ajari kami," kata Rina, suaranya lembut namun mantap. Ia mengambil palet dan kuas milik ayahnya yang tergeletak di dekat sana. "Aku mungkin tidak punya bakat sepertimu atau ayah, tapi aku putrinya. Aku akan mencoba."
Ia menoleh pada Kael. "Kael, rasakan. Apa yang dia inginkan? Warna apa yang hilang?"
Kael menutup matanya, memfokuskan resonansinya pada Chroma dan lukisan di depannya. Ia tidak merasakan warna, tapi ia merasakan emosi yang seharusnya dilukiskan.
"Bukan hanya potret biasa," kata Kael. "Dia… dia tidak ingin melukis sosok 'maestro' Vincent Volkov. Dia ingin melukis 'ayah'."
Ia merasakan kerinduan Chroma. "Dia ingin melukis kehangatan di matanya saat dia tersenyum, bukan tatapan tajamnya saat mengkritik. Dia ingin melukis warna kebanggaan, bukan hanya warna realisme."
Rina memahami. Ini bukan tentang teknik, ini tentang perasaan.
"Chroma," Rina berlutut di samping adik angkatnya. "Aku akan memegang kuasnya. Tapi kau yang memandu tanganku. Mari kita selesaikan ini. Bersama."
Chroma menatap Rina, lalu ke Kael, lalu ke Lyra yang berdiri menjaga di dekat pintu. Ia tidak lagi sendirian.
Dengan anggukan gemetar, ia menyentuh tangan Rina yang memegang kuas.
Dan proses melukis yang paling aneh pun dimulai. Rina memegang kuas, Kael menjadi penerjemah emosi, dan Chroma menjadi pemandu jiwa.
"Lebih hangat," bisik Kael. "Di sekitar matanya, tambahkan sedikit warna emas, seperti cahaya matahari pagi."
Rina, dengan tangan yang kaku pada awalnya, mulai menggoreskan kuasnya, mengikuti arahan Kael dan getaran yang ia rasakan dari tangan Chroma.
"Senyumnya," lanjut Kael, "bukan senyum lebar. Hanya tarikan kecil di sudut bibir. Warna kepuasan yang tenang."
Perlahan tapi pasti, lukisan itu mulai berubah. Potret seorang maestro yang dingin dan mengintimidasi berubah menjadi potret seorang ayah yang hangat dan penuh kasih.
Saat goresan terakhir diaplikasikan, sebuah cahaya lembut memancar dari lukisan itu.
Chroma menatap mahakaryanya yang kini telah selesai. Ia tidak lagi menangis. Untuk pertama kalinya, sebuah senyum tulus yang kecil dan rapuh merekah di bibirnya.
"Ayah…" bisiknya.
Tubuhnya mulai bersinar dengan cahaya biru pucat yang damai. Ia tidak lenyap. Sebaliknya, sosoknya menjadi lebih solid, lebih nyata. Tetesan air mata kelabunya berubah menjadi kristal biru kecil yang jatuh ke lantai. Kuas Apatis-nya tidak pernah muncul lagi.
Lunanima Core di dalam dirinya telah stabil sepenuhnya. Ia telah menemukan kedamaiannya.
Gema emosional dari seorang anak yang hilang telah disembuhkan.