Api.
Itu adalah ingatan pertamanya. Bukan kehangatan api unggun atau cahaya lembut lilin. Melainkan api yang melahap, yang merenggut, yang mengubah tawa menjadi jeritan dan rumah menjadi abu. Api yang memperlihatkan wajah asli dunia: kejam, tidak peduli, dan membiarkan yang kuat memangsa yang lemah.
Kemudian, datanglah kegelapan.
Kegelapan yang lebih dingin dari kematian itu sendiri. Kegelapan di mana suara tawa jahat menggema, di mana setiap senti harga diri direnggut, dan di mana keadilan mati dalam jeritan yang tak terdengar. Di dalam kegelapan itu, sebuah sumpah terlahir dari sisa-sisa jiwa yang hancur. Sebuah janji yang ditempa oleh rasa sakit dan dikhianati. Janji untuk menjadi api itu sendiri. Api pemusnahan yang akan membakar dunia yang busuk ini hingga tidak ada lagi yang tersisa untuk membusuk.
Dan kini, ia dipanggil.
Di dalam celah dimensi yang bergejolak, di mana realitas robek seperti kain tua, sebuah gerbang merah darah terbuka. Dari dalamnya, ia melangkah keluar. Ignis.
Ia berdiri di hadapan Tuannya, Alaric, sosok bayangan yang duduk di atas takhta obsidian. Alaric adalah arsitek di balik penderitaannya dan juga satu-satunya figur otoritas yang tersisa dalam keberadaannya yang penuh amarah.
Sebuah hologram dari ajudan Alaric yang berwajah pucat berlutut di hadapannya.
"Tuanku, seperti yang Anda duga, unit Crimson Hunt di Stellara telah gagal total. Mereka tidak mampu menangkap Resonator itu ataupun mengambil kembali 'Lyra' dan 'Chroma'."
Figur di atas takhta itu tidak bergerak. "Manusia memang alat yang rapuh," suara Alaric akhirnya terdengar, dalam dan penuh kekecewaan. "Mereka berguna untuk pekerjaan kasar, tapi untuk menghadapi Gema Jiwa yang lain, kita butuh api untuk melawan api."
Ia menoleh ke arah Ignis. "Kau dengar itu, Ignis? Para prajuritku yang lemah telah gagal. Mereka bahkan membiarkan dua 'saudari'-mu dijinakkan oleh seorang anak manusia, diperlakukan seperti hewan peliharaan."
Sebuah seringai pahit dan penuh cemooh terukir di bibir Ignis. "Aku tidak terkejut. Manusia hanya tahu cara gagal." Ia tertawa, suara tawanya terdengar seperti bara api yang bergemeletuk. "Mereka menaruhmu di dalam sangkar emas dan menyebutnya 'perlindungan', sampai mereka tidak lagi membutuhkanmu."
"Tepat sekali," Alaric mengangguk, tampak puas dengan jawabannya. "Anak itu, seorang Resonator, telah membuat mereka lupa akan jati diri mereka. Ia memberi mereka kehangatan palsu dan menyebutnya 'keluarga'."
Kata "keluarga" membuat api di mata Ignis berkobar lebih terang. Itu adalah kata yang telah menjadi abu di mulutnya sejak lama.
"Pergilah ke Stellara," perintah Alaric. "Bakar kebohongan mereka. Hancurkan sangkar emas itu. Tunjukkan pada mereka bahwa satu-satunya kebenaran bagi Gema Jiwa seperti kita adalah kekuatan, dan satu-satunya kedamaian adalah dalam kehancuran total. Tunjukkan pada anak itu apa yang terjadi jika ia mencoba bermain-main dengan api."
Ignis tidak menjawab. Ia hanya membalikkan badan, tangannya terkepal erat. Di punggung tangannya, sebuah pedang besar dua tangan, "Laevateinn", muncul dalam kilatan api. Bilah obsidiannya yang gelap seolah menyerap semua cahaya, hanya menyisakan rune-rune merah yang menyala dengan kebencian.
"Aku tidak butuh perintahmu untuk menghukum para pengkhianat," desisnya. Ia melangkah kembali ke dalam gerbang api, sosoknya yang penuh amarah ditelan oleh nyala api merah darah.
Gerbang itu pun menutup.
Alaric tetap duduk di takhtanya, menatap ke tempat Ignis tadi berdiri. Ia tersenyum dalam bayang-bayang.
"Bakar semuanya, Ignis," bisiknya pada kegelapan. "Bakar mereka hingga hanya ada kebenaran yang tersisa. Dan dari abu itu, aku akan mengambil apa yang menjadi milikku."
Di Stellara, di bawah langit malam yang tenang, tidak ada yang tahu bahwa sebuah meteor kemarahan sedang meluncur ke arah kedamaian rapuh mereka. Sebuah api yang telah lama menunggu untuk membakar dunia.
[PROLOG SELESAI]