Bab 1. Kehangatan yang Berbeda

Bagian 1: Sebuah Janji di Taman

Dua minggu telah berlalu sejak misi di Pelabuhan Kargo Lama. Musim panas di Stellara mencapai puncaknya, membawa serta udara hangat dan langit biru yang tak berawan. Bagi Kael, dua minggu ini adalah periode kedamaian yang berharga, sebuah kesempatan untuk membangun normalitas di tengah kehidupannya yang luar biasa.

Sabtu sore itu, Kael memutuskan untuk menepati janji yang terus ia tunda. Ia mengajak "keluarga"-nya piknik di Taman Pusat Stellara, sebuah oasis hijau yang luas di jantung kota. Elara, tentu saja, yang paling bersemangat. Ia berlarian di depan, mencoba menangkap kupu-kupu holografik yang menjadi penghuni taman.

Kael berjalan santai di belakangnya, diapit oleh dua Phantasm yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Di sebelah kanannya, Lyra berjalan dengan anggun, rambut peraknya berkilauan di bawah sinar matahari. Ia mengenakan gaun musim panas sederhana berwarna biru langit yang dipilihkan Elara, sebuah perubahan yang menyegarkan dari seragam sekolah atau gaun nebulanya. Di sebelah kiri Kael, Chroma berjalan dengan langkah kecil tanpa alas kakinya di atas rumput, matanya yang biru kelabu menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu yang tenang. Ia mengenakan gaun putih simpel dan baret hitamnya, memeluk buku sketsa baru di dadanya.

"Indah…" bisik Lyra, menatap hamparan bunga mawar aneka warna. "Begitu banyak warna. Begitu banyak kehidupan."

"Kau suka?" tanya Kael sambil tersenyum.

Lyra mengangguk, lalu dengan sedikit ragu, ia mengulurkan tangannya dan menyentuh kelopak mawar merah dengan ujung jarinya. "Lembut. Dan hangat. Berbeda dengan cahaya bintangku."

Melihat itu, Kael merasakan dorongan impulsif. Ia dengan lembut meraih tangan Lyra yang bebas. Tangan Lyra terasa dingin seperti biasa, tapi genggaman Kael hangat.

Lyra tersentak kaget, wajahnya langsung merona merah. Ia menatap tangan mereka yang bertautan, lalu menatap Kael dengan mata bertanya.

"Tanganmu dingin," kata Kael, mencari alasan. "Biar kuhangatkan."

Lyra tidak menjawab, tapi ia tidak menarik tangannya. Sebaliknya, ia membalas genggaman Kael dengan erat, jemarinya yang ramping menyelinap di antara jari Kael. Sebuah senyum kecil yang sangat manis terukir di bibirnya saat ia kembali menatap bunga-bunga, kini dengan kebahagiaan yang terpancar jelas.

Chroma, yang berjalan di sisi lain Kael, memperhatikan interaksi mereka. Ia berhenti, lalu dengan gerakan malu-malu, ia mengulurkan tangan kecilnya dan menarik ujung kemeja Kael.

Kael menoleh. "Ada apa, Chroma?"

Chroma tidak berkata apa-apa, hanya menatap tangan Kael yang menggenggam tangan Lyra, lalu kembali menatap Kael.

Kael tertawa kecil, mengerti maksudnya. "Maaf, maaf, tanganku yang satu lagi tidak bisa kosong juga, kan?"

Ia melepaskan genggaman Lyra sejenak, membuat Lyra cemberut, lalu menawarkan kedua tangannya. "Baiklah, baiklah. Satu untuk Putri Kosmik, satu untuk Nona Pelukis. Adil?"

Lyra langsung menyambar tangan kanannya kembali dengan posesif, sementara Chroma dengan ragu-ragu menerima tangan kirinya. Jadilah Kael berjalan di tengah taman, menggandeng dua Phantasm tercantik di dunia di kedua sisinya. Ia merasa seperti protagonis dalam novel komedi romantis, dan ia bisa merasakan tatapan iri dari beberapa pria yang mereka lewati. Wajahnya terasa panas, tapi hatinya terasa hangat.

Mereka menggelar tikar piknik di bawah pohon ek yang rindang. Elara sibuk dengan gelembung sabun, sementara Lyra dan Chroma membantunya menyiapkan bekal yang mereka buat bersama. Saat itulah, Kael melihat Rina berjalan ke arah mereka, mengenakan pakaian kasual—kaus putih dan jeans—yang membuatnya terlihat jauh lebih santai dan mudah didekati daripada biasanya.

"Kukira kau tidak akan datang," sapa Kael.

"Aku sedang patroli di sekitar sini," jawab Rina, sebuah alasan yang jelas dibuat-buat. Matanya melirik ke arah Chroma yang sedang mencoba menyusun sandwich menjadi bentuk bintang. "Aku hanya… memastikan semuanya baik-baik saja."

"Duduklah, Rina. Kami punya banyak sandwich," kata Kael sambil tersenyum.

Rina ragu sejenak, lalu duduk di tepi tikar, menjaga sedikit jarak. Chroma, melihatnya datang, mengambil salah satu sandwich berbentuk bintang yang berhasil ia buat dan menyodorkannya pada Rina.

"...Untukmu… Kakak," bisiknya.

Rina terpaku menatap sandwich itu, lalu ke wajah Chroma yang penuh harap. Dengan gerakan yang hampir tak terlihat, ia mengambil sandwich itu. "...Terima kasih," balasnya pelan, lalu memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan senyum kecilnya.

Kael memandang mereka semua—Elara yang tertawa, Lyra yang mencoba menjelaskan pada seekor tupai tentang struktur galaksi, Chroma yang berbagi makanannya dengan Rina, dan Rina yang perlahan mulai membuka diri. Ini adalah potret keluarganya. Sebuah lukisan yang penuh dengan warna-warni yang aneh dan indah. Ia berharap momen seperti ini bisa bertahan selamanya.

Bagian 2: Panas yang Datang Tanpa Diundang

Kedamaian itu bertahan hingga sore hari. Saat mereka sedang membereskan peralatan piknik, Kael merasakan sesuatu. Gelombang panas yang aneh dan singkat, hanya berlangsung beberapa detik sebelum menghilang.

"Kalian merasakannya?" tanya Kael.

"Apa? Angin sepoi-sepoi?" tanya Elara, tidak menyadari apa-apa.

Tapi Rina dan Lyra langsung waspada.

"Bukan angin," kata Rina, matanya menyapu sekeliling. "Anomali termal. Sangat lemah."

"Panas," Lyra menambahkan, hidungnya sedikit berkerut. "Seperti napas naga yang jauh. Tidak menyenangkan."

Ponsel Rina bergetar. Ia mengangkatnya ke telinga, ekspresinya langsung berubah serius. "Dimengerti."

Ia menutup telepon dan menatap Kael. "Itu pos komando. Ini bukan yang pertama. Selama 48 jam terakhir, ada beberapa laporan anomali panas sporadis seperti ini di seluruh kota. Tidak ada Rift, tidak ada kerusakan besar. Hanya… panas yang datang dan pergi."

Hati Kael mencelos. Perasaan damai yang tadi ia nikmati kini menguap, digantikan oleh firasat buruk. Peringatan dari pemimpin Crimson Hunt kembali terngiang di benaknya. Sang Penguasa Api.

"Mungkinkah ini Phantasm baru?" tanya Kael.

"Kemungkinan besar," jawab Rina. "Tapi polanya tidak biasa. Ini seperti pengintaian. Atau pemanasan sebelum pertunjukan utama."

Mereka memutuskan untuk segera kembali ke apartemen. Suasana ceria piknik telah lenyap, digantikan oleh ketegangan yang tak terucapkan.

Malam itu, Kael tidak bisa tidur nyenyak. Ia terus memikirkan anomali panas itu. Sekitar tengah malam, ia terbangun karena merasa haus. Saat berjalan ke dapur, ia melihat cahaya redup dari ruang keluarga.

Di sana, di depan jendela besar yang menghadap ke kota, Lyra dan Chroma berdiri berdampingan, menatap kegelapan.

"Kalian belum tidur?" tanya Kael pelan.

"Tidak bisa," jawab Lyra tanpa menoleh. "Udara terasa 'salah'. Seperti ada sesuatu yang menahan napas, menunggu untuk berteriak."

"Panas," Chroma menambahkan dengan satu kata, tangannya tanpa sadar memeluk dirinya sendiri.

Kael berdiri di antara mereka, meletakkan tangannya di bahu mereka masing-masing. "Apapun itu, kita akan menghadapinya bersama-sama."

Saat ia mengatakan itu, di kejauhan, di salah satu distrik industri yang sepi, sebuah bola api kecil meledak di puncak sebuah gedung, menerangi langit malam sejenak sebelum padam. Tidak ada yang melaporkannya. Itu terlalu kecil, terlalu cepat.

Tapi bagi tiga orang di apartemen itu, itu adalah sebuah sinyal.

Api itu telah dinyalakan. Dan ia sedang mendekat.