Bagian 1
Waktu seolah melambat saat Kael melompat dari platform terbangnya. Angin menderu di telinganya, dan di bawahnya, pemandangan neraka terbentang. Api Ignis menari-nari di antara kerangka beton, sementara cahaya bintang Lyra dan ilusi kelabu Chroma berjuang untuk menahannya. Ia mendarat dengan debuman keras beberapa meter dari Rina, rasa sakit menjalari pergelangan kakinya tapi ia mengabaikannya.
"Kael! Apa yang kau lakukan!? Mundur!" teriak Rina, mencoba bangkit sambil menahan kakinya yang terluka.
"Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian!" balas Kael.
Ignis, yang tadinya berjalan angkuh menuju Rina, kini berhenti. Ia menoleh, dan sebuah senyum kejam yang penuh kemenangan terukir di wajahnya. "Akhirnya, tikus kecil keluar dari sarangnya. Kau datang untuk mati bersama teman-temanmu, Resonator?"
Ia mengangkat pedang Laevateinn-nya, tidak lagi mengarah pada Rina, tapi lurus ke arah Kael.
"Jangan sentuh dia!"
Dari atas, Lyra meraung. Ia mengabaikan badai api yang diciptakan Ignis dan menukik turun, sabit raksasanya siap membelah Ignis menjadi dua.
"Naif!" cibir Ignis. Ia tidak menangkis. Sebaliknya, ia menghentakkan kakinya.
"Eruption Pillar!"
Tepat di jalur turun Lyra, pilar-pilar api dan magma menyembur dari tanah. Lyra terpaksa mengubah arah di udara, kehilangan momentum serangannya dan mendarat dengan kurang sempurna beberapa puluh meter jauhnya.
"Lyra!"
"Aku baik-baik saja!" jawab Lyra, tapi Kael bisa melihat napasnya sedikit terengah. "Apinya… berat."
Kekuatan Ignis yang liar dan tak terkendali sepertinya menekan energi Lyra yang lebih teratur dan harmonis.
Chroma mencoba membantu. Dari posisinya di atas gedung, ia melambaikan kuas besarnya. Dunia di sekitar Ignis mulai luntur lagi, mencoba menjebaknya dalam ilusi.
"Monochrome Canvas."
"Trik yang sama tidak akan berhasil dua kali, Pelukis Kecil!" raung Ignis.
"Heart of the Inferno!"
Ia memukul dadanya. Armor vulkaniknya bersinar merah menyala. Api di sekujur tubuhnya berkobar lebih hebat. Dengan satu teriakan penuh amarah, ia melepaskan gelombang panas yang begitu kuat hingga ilusi Chroma hancur bahkan sebelum terbentuk sempurna. Di atas sana, Chroma terhuyung mundur, buku sketsanya hampir terlepas dari tangannya. Serangan balik mental itu sepertinya menyakitinya.
Kael melihatnya dengan jelas. Mereka kewalahan. Lyra, sang petarung utama, kesulitan menembus pertahanan api Ignis yang brutal. Chroma, sang pengendali medan, tidak efektif melawan kemarahan buta yang tidak peduli pada ilusi. Dan Rina terluka.
Mereka akan kalah jika ini terus berlanjut.
Aku harus melakukan sesuatu, pikir Kael. Bukan hanya berteriak. Aku harus membuktikan kekuatanku.
Ignis menyeringai, melihat keputusasaan di wajah Kael. "Lihatlah, Resonator. Lihatlah 'keluarga'-mu yang tak berdaya. Inilah kebenarannya. Ikatan kalian tidak ada artinya di hadapan api pemusnah!"
Ia mengangkat pedangnya, menyiapkannya untuk satu serangan akhir pada Rina yang masih berusaha bangkit.
"Tidak akan kubiarkan!"
Kael berlari maju, menempatkan dirinya di antara Ignis dan Rina.
"Kael, bodoh! Menyingkir!" teriak Rina.
"Sebuah pengorbanan yang menyentuh hati," cibir Ignis. "Kalau begitu, matilah lebih dulu!"
Ia mengayunkan pedangnya. Sebuah tebasan api melesat ke arah Kael.
Kali ini, Kael tidak hanya berdiri pasrah. Ia menutup matanya, meraih ikatan yang ia rasakan dengan teman-temannya. Ia merasakan keinginan kuat Lyra untuk melindunginya, keinginan yang begitu murni dan terang seperti bintang.
Lyra, pinjami aku kekuatanmu!
"Celestial Aegis!"
Sebuah perisai heksagonal transparan yang berkilauan dengan cahaya bintang muncul di lengan Kael, tepat pada waktunya untuk menahan tebasan api itu.
BLAAM!
Kael terdorong mundur beberapa langkah, lengannya terasa kebas dan perisai itu retak sebelum lenyap. Tapi ia berhasil menahannya. Ia masih berdiri.
Keheningan melanda medan perang. Ignis menatapnya dengan mata terbelalak, tidak percaya. Rina, Lyra, dan Chroma juga sama terkejutnya.
"A-apa… itu tadi?" gumam Ignis. "Kekuatan 'Nyanyian Kosmik'… dari seorang manusia?"
Kael mengatur napasnya, merasakan sisa-sisa energi Lyra mengalir di tubuhnya. Rasanya hangat dan kuat. "Sudah kubilang, Ignis. Kekuatanku adalah mereka."
Kemarahan di wajah Ignis bercampur dengan kebingungan. Ini di luar pemahamannya. Ia meraung dan menyerang lagi, kali ini dengan rentetan bola api.
"Blazing Barrage!"
Kael tahu ia tidak bisa menahan serangan sebanyak itu. Perisainya hanya untuk satu serangan besar. Ia butuh cara lain.
Pikirannya beralih ke Chroma. Ia teringat ketenangan Chroma, kemampuannya untuk "tidak berada di tempat yang seharusnya". Ia meraih ikatan itu.
Chroma, tunjukkan padaku caranya!
"Fading Step!"
Saat bola-bola api itu hampir mengenainya, Kael mengambil langkah ke samping. Gerakannya terasa aneh, seperti sedikit meleset dari kenyataan. Beberapa bola api melewatinya begitu saja, seolah ia hanya bayangan. Ia berhasil menghindari sebagian besar serangan itu, hanya satu yang menyerempet bahunya, meninggalkan luka bakar kecil.
"Dia… dia menghindar?" Ignis semakin marah dan bingung. "Bagaimana!? Gerakannya lambat!"
Ia tidak mengerti. Kael tidak menjadi lebih cepat. Ia hanya menjadi lebih sulit untuk "dikenai", seolah ia adalah sketsa yang terus-menerus dihapus dan digambar ulang.
Bagian 2
Gema di Tengah Kobaran Api
Kael berdiri tegak di hadapan Ignis. Di lengannya masih tersisa jejak cahaya bintang, dan di sekitar kakinya ada aura kelabu yang samar. Ia terluka, terengah-engah, tapi ia tidak lagi terlihat seperti manusia tak berdaya.
"Aku tidak ingin bertarung denganmu, Ignis," kata Kael, suaranya tenang. "Aku ingin bicara denganmu."
"Bicara!?" Ignis tertawa mengejek, tapi ada nada keraguan dalam tawanya. "Setelah semua ini, kau pikir kita bisa bicara? Dunia tidak bekerja seperti itu!"
"Dunia memang kejam," Kael mengakui, membuat Ignis sedikit terkejut. "Aku tahu itu. Dan aku merasakan apa yang terjadi padamu. Rasa sakitmu… kemarahanmu… aku merasakannya."
Kael mulai berjalan perlahan mendekati Ignis. "Kau benar. Kau dikhianati. Kau ditinggalkan. Tidak ada yang menolongmu. Kemarahanmu itu… nyata. Dan kau berhak merasakannya."
Setiap kata yang diucapkan Kael seolah menjadi retakan kecil di armor kemarahan Ignis. Untuk pertama kalinya, seseorang mengakui penderitaannya, bukan hanya mengecam kehancuran yang ia sebabkan.
"A-apa yang kau tahu!?" bentak Ignis, tapi suaranya sedikit bergetar. Ia mundur selangkah.
"Aku mungkin tidak tahu semuanya," kata Kael, kini hanya berjarak beberapa meter darinya. "Tapi aku tahu ini: api yang kau gunakan untuk membakar dunia… itu juga membakar dirimu sendiri dari dalam. Aku bisa merasakannya."
Kael mengulurkan tangannya yang tidak terluka. "Kau tidak harus menanggungnya sendirian lagi, Aelia."
Mendengar nama manusianya disebut, dunia Ignis seolah berhenti. Nama itu—sebuah gema dari kehidupan yang telah direnggut darinya—menjadi kunci yang membuka pintu bendungan emosi yang telah ia tekan dengan api selama ini.
"Jangan… sebut nama itu!" teriaknya.
Saat ia berteriak, resonansi emosi yang luar biasa kuat meledak darinya, dan Kael tiba-tiba terlempar ke dalam lautan ingatan Ignis.
Flashback dimulai.
Kael tidak lagi berdiri di medan perang beton. Ia berada di sebuah distrik yang ramai namun miskin, penuh dengan tawa anak-anak dan aroma masakan rumahan. Ia melihat seorang gadis remaja dengan rambut merah menyala—Aelia—sedang membagikan roti kepada anak-anak jalanan, matanya berbinar dengan semangat keadilan. Ia melihat Aelia memimpin protes damai di depan sebuah pabrik yang membuang limbah beracun ke sungai mereka. Ia adalah pahlawan kecil bagi komunitasnya.
Lalu, pemandangan berubah menjadi malam yang penuh api. Pabrik itu meledak. Jeritan menggantikan tawa. Aelia berlari di antara kobaran api, mencoba menyelamatkan seorang anak kecil yang terperangkap, tapi sebuah balok baja yang jatuh menghalangi jalannya. Ia hanya bisa menatap ngeri saat bangunan itu runtuh. Kael bisa merasakan keputusasaan dan kemarahan Aelia yang tak berdaya.
Pemandangan berganti lagi. Aelia, dengan wajah penuh jelaga dan mata bengkak karena menangis, menyerahkan setumpuk dokumen kepada seorang petugas polisi. Bukti bahwa ledakan itu disengaja. Petugas itu mengangguk, berjanji akan menindaklanjutinya. Beberapa hari kemudian, Aelia melihat petugas yang sama sedang makan malam dan tertawa bersama direktur pabrik yang seharusnya ia selidiki. Pengkhianatan itu terasa seperti belati es yang menusuk jantungnya.
Pemandangan terakhir adalah yang paling gelap. Aelia, seorang diri, menyelinap ke markas para penjahat itu. Ia tertangkap. Kael tidak melihat apa yang mereka lakukan padanya, tapi ia merasakan semuanya melalui resonansi. Rasa sakit yang tajam, dinginnya lantai beton, tawa-tawa yang menghina, dan bagaimana semangatnya yang membara perlahan diremukkan menjadi bara keputusasaan.
Ia melihat Aelia terbaring di sudut ruangan yang gelap, tubuhnya hancur, tapi matanya masih menyala dengan api terakhir.
"Jika menjadi cahaya hanya akan membuatmu dipadamkan… maka aku akan menjadi api yang membakar segalanya," Kael mendengar sumpah terakhir dari jiwa Aelia.
Flashback berakhir.
Kael tersentak kembali ke realitas, napasnya terengah-engah seolah ia sendiri yang baru saja mengalami semua itu. Air mata mengalir di pipinya tanpa ia sadari. Ia kini benar-benar mengerti.
Di hadapannya, Ignis jatuh berlutut, pedangnya terlepas dari genggamannya dan jatuh ke tanah dengan dentang yang keras. Ia menangis tersedu-sedu, bukan lagi tangisan kemarahan, tapi tangisan duka yang mendalam dari seorang gadis bernama Aelia.
"Sekarang kau tahu," isaknya, tidak berani menatap Kael. "Sekarang kau tahu betapa kotornya dunia ini. Betapa tidak bergunanya kebaikan."
Lyra dan Chroma, yang juga merasakan gema dari flashback itu melalui Kael, menatap Ignis dengan ekspresi baru. Bukan lagi tatapan pada musuh, melainkan tatapan penuh simpati dan kesedihan. Bahkan Rina, yang menyaksikan dari jauh, tampak terguncang.
Kael berjalan mendekat dan berjongkok di depan Ignis. Ia tidak mengatakan "semuanya akan baik-baik saja" atau kebohongan manis lainnya.
"Ya, aku tahu," katanya dengan suara serak. "Dan itu tidak adil. Apa yang terjadi padamu… itu tidak akan pernah bisa dimaafkan."
Ia mengulurkan tangannya. "Tapi kau salah tentang satu hal. Kebaikan tidak pernah tidak berguna. Lihatlah di sekelilingmu."
Ignis perlahan mengangkat kepalanya yang basah oleh air mata. Ia melihat Lyra dan Chroma yang berdiri di belakang Kael, siap melindunginya. Ia melihat Rina yang mengarahkan tim medis untuk mendekat dengan hati-hati. Mereka semua, dengan cara mereka sendiri, menunjukkan kebaikan hati di tengah medan perang.
"Apinya tidak harus padam, Aelia," kata Kael lagi, lebih lembut. "Tapi kau bisa memilih apa yang akan ia bakar. Kau bisa menjadi api yang menghangatkan, bukan hanya menghancurkan. Kau bisa menjadi mercusuar bagi mereka yang tertindas, seperti yang selalu ingin kau lakukan."
Ia mengulurkan tangannya sekali lagi. "Kau tidak sendirian lagi. Bergabunglah dengan kami. Jadilah bagian dari keluarga kami."
Ignis menatap tangan Kael yang terulur. Ia menatap wajah tulus Kael, wajah penuh simpati Lyra, wajah tenang Chroma, dan wajah Rina yang penuh pengertian.
Setelah bertahun-tahun terbakar oleh kebencian, untuk pertama kalinya, ia merasakan kehangatan yang berbeda. Kehangatan sebuah harapan.
Dengan tangan gemetar, ia meraih tangan Kael.
Dan saat itu, api hitam kemerahan di sekujur tubuhnya perlahan meredup, berubah menjadi nyala api oranye keemasan yang tenang dan hangat. Pertarungan telah berakhir. Penyembuhan baru saja dimulai.