Suara alarm.
Kazuki membuka mata di kamar apartemennya yang sederhana. Dinding polos. Tak ada foto keluarga. Meja belajar rapi, hanya ada satu benda mencolok: sebuah buku catatan berwarna hitam pekat.
Ia bangkit perlahan, mandi, sarapan cepat, dan keluar. Kamera mengikuti langkah kakinya melintasi jalan setapak ke sekolah.
> Narasi Kazuki (monolog batin):
"Dunia ini terasa palsu. Tapi orang-orang tidak sadar. Mereka tertawa, belajar, mencintai... padahal mereka hanya berjalan dalam cerita yang sudah ditulis."
Kazuki duduk di bangku paling belakang dekat jendela, memandangi langit. Siswa lain ramai berbicara, tertawa, hidup.
Gurunya masuk, tapi suaranya terdengar seperti bisikan di telinga Kazuki—tak berarti.
> "Kazukiiii, kamu dengar nggak?!"
"Eh?"
"Astaga, kamu tuh diem terus kayak NPC! Hidup dong!"
Gadis cerewet bernama Mika, teman sekelas yang sok akrab, mencolek bahunya. Kazuki hanya menatap, lalu kembali menulis sesuatu di bukunya:
Setelah sekolah, Kazuki pergi ke lantai 3 yang kosong. Perpustakaan tua. Di sana ia membuka sebuah buku kuno yang diam-diam ia temukan seminggu lalu.
Saat ia menyentuh halaman ke-99, tiba-tiba:
Langit sore di SMA Tensei Gakuen. Bangku Kazuki kini kosong. Di atas mejanya, buku catatan hitam terbuka, halaman terakhirnya tertulis dengan huruf bercahaya:
> 「THRONE ACKNOWLEDGED」
「ACCESS GRANTED」
Sebuah hembusan angin meniup halaman itu, seperti membalik kisah yang akan segera dimulai.
Dimensi Cahaya Tak Berujung]
Kazuki tersadar di tempat kosong putih keperakan. Tidak ada tanah. Tidak ada langit. Hanya dirinya... dan cahaya bersinar dalam bentuk wanita.
Suara lembut bergema, namun penuh kuasa.
> Dewi:
"Kazuki Araragi."
"Dunia memanggilku dengan banyak nama. Tapi bagimu... aku hanyalah suara dari atas takhta."
Tudung cahaya. Tapi matanya yang tak terlihat menatap Kazuki seolah menembus waktu dan hati.
> Dewi:
"Dunia ini tidak rusak karena kejahatan.
Tapi karena kebenaran yang kehilangan arah.*
Keadilan yang disulap jadi alat penindasan.*
Cahaya yang digunakan untuk membakar mereka yang berbeda.*"
Kazuki menatap diam. Hening. Tapi di balik itu, pikirannya berputar cepat.
> Dewi:
"Engkau bukan pedang.
Engkau adalah bayangan yang membungkus pedang.*
Engkau tak datang membawa terang.*
Tapi hadir... untuk menyaringnya.*"
Seketika, langit dimensi itu retak. Dari celahnya, lingkaran hitam-ungu muncul, berputar seperti mata langit.
> Dewi (lanjut):
"Turunlah ke tempat yang bukan dunia.
Tempat para raja tak pernah menginjak.*
Tempat kekuatan diuji bukan oleh musuh, tapi oleh dirimu sendiri.*"
> "Namanya... Dugoun.
Sebuah Tanah awal.
Tempat kau mengingat siapa dirimu sebelum menjadi penentu.*"
Kazuki tak bertanya. Hanya satu langkah ia ambil ke depan—dan tubuhnya langsung tersedot ke dalam lingkaran itu, seperti jatuh ke laut tenang.
Kazuki membuka mata. Ia kini berdiri di tengah dataran hitam berbatu. Langit ungu gelap. Tak ada matahari. Tapi segalanya terlihat jelas.
Bayangan Kazuki mulai bergerak sendiri.
Dari tanah, muncul wujud-wujud gelap menyerupai dirinya sendiri, namun dengan ekspresi haus darah.
Kazuki menatap mereka. Diam. Tapi tangannya mengepal.
Kazuki tidak merespons. Tangannya menggenggam udara kosong dan di sana, cahaya ungu kehitaman mulai membentuk senjata. Ujungnya tajam, seperti tombak bercabang. Senjata itu berdenyut, hidup. Seolah ia sendiri sedang bernapas.
> Kazuki:
"Aku tidak butuh pengikut.
Aku hanya perlu satu hal—mereka yang cukup kuat untuk berdiri di sisiku tanpa diperintah."
> Narasi (Dewi):
"Latihlah tanganmu, kuatkan niatmu...
Karena musuh pertama seorang raja bayangan...
Adalah dirinya yang terdalam."