Bel tanda berakhirnya istirahat bergema di koridor Akademi Kouryou, tapi kelas 11-Sains 4 tidak berubah menjadi seperti biasa. Biasanya, ruangan ini dipenuhi ocehan dan tawa yang memekakkan telinga. Kini, hanya ada bisikan gugup dan sesekali helaan napas yang tertahan.
An Ata merasakan tatapan puluhan mata yang sesekali melirik ke arahnya saat ia berjalan menuju mimbar. Setiap langkah terasa berat, bukan karena kelelahan fisik—meski itu juga ada—tapi karena beban mental yang menumpuk. Mereka curiga, pikirnya sambil meletakkan buku di meja. Tapi curiga pada apa?
Di sudut matanya, ia melihat Kisaragi Jin duduk dengan tenang di bangku nomor 23, tepat di samping jendela. Postur tubuhnya tegap, mata menatap lurus ke depan dengan ekspresi netral yang hampir... kosong. Tidak ada yang aneh dengan pemandangan itu. Seorang murid pindahan yang pendiam, duduk dengan sopan menunggu pelajaran dimulai.
Tapi An Ata tahu yang sebenarnya. Di balik mata hitam itu, tidak ada jiwa. Tidak ada kesadaran. Hanya sebuah program yang menunggu input dari sang master.
"Baiklah, kita lanjutkan materi tentang hukum Newton," An Ata membuka buku fisika dengan gerakan yang ia harap terlihat normal. Tangannya sedikit gemetar—efek samping dari sinkronisasi intens tadi. "Siapa yang bisa menjelaskan perbedaan antara massa dan berat?"
Beberapa tangan terangkat setengah hati. Suasana kelas masih canggung, semua orang masih terpengaruh oleh "insiden" di lapangan tadi. An Ata menunjuk seorang siswa di barisan tengah, memberikan waktu untuk mengumpulkan kembali fokusnya.
Saat siswa itu menjawab, An Ata melakukan scanning cepat terhadap seluruh kelas. Mata mereka masih sesekali melirik ke Jin, ada campuran kagum dan takut dalam tatapan itu. Beberapa siswa berbisik-bisik dengan teman sebangkunya. Hinaori Yuki, si gadis berkacamata yang tadi nyaris jadi korban, duduk dengan wajah yang masih pucat tapi sesekali mencuri pandang ke arah Jin dengan ekspresi... berterima kasih? Atau ada sesuatu yang lain?
Ini bermasalah, An Ata menyadari. Terlalu banyak perhatian. Avatar seharusnya tidak menarik perhatian sebanyak ini.
"Pertanyaan bagus, Tanaka-kun," An Ata menanggapi jawaban siswa tadi, lalu melanjutkan. "Sekarang, mari kita bahas tentang penerapan hukum Newton dalam kehidupan sehari-hari."
Ia berhenti sejenak, matanya menyapu kelas. Sebagian siswa mulai mengendurkan perhatian, tapi masih ada beberapa yang masih gelisah. Ia butuh cara untuk mengalihkan fokus dari Jin, sekaligus menguji apakah koneksi dengan avatarnya masih stabil setelah "pertunjukan" tadi.
"Kisaragi-kun."
Panggilan itu sontak membuat semua kepala menoleh. Jin berdiri dengan gerakan yang fluid dan presisi, seperti robot yang diprogram sempurna. "Ya, Sensei."
"Coba jelaskan bagaimana hukum ketiga Newton—aksi dan reaksi—bisa diterapkan dalam situasi... pertarungan."
Beberapa siswa terkekeh pelan, mengira guru mereka sedang mencoba menghibur atau bahkan mempermalukan murid baru yang dianggap "sombong" itu. Tapi An Ata punya tujuan yang berbeda.
Jin tidak ragu sedetik pun. "Hukum ketiga Newton menyatakan bahwa setiap aksi memiliki reaksi yang sama besar namun berlawanan arah. Dalam konteks pertarungan, ini berarti setiap pukulan yang kita lancarkan juga memberikan dampak balik pada tubuh kita sendiri."
Ia berhenti sejenak, seolah-olah mengorganisir pemikirannya. "Pejuang yang cerdas akan memanfaatkan prinsip ini dengan dua cara. Pertama, dengan menggunakan tulang dan otot yang lebih kuat untuk menyerang titik lemah lawan—misalnya, menggunakan siku untuk menyerang tulang rusuk. Kedua, dengan mengarahkan gaya reaksi ke tanah atau struktur yang stabil, seperti menggunakan kuda-kuda yang benar saat memukul."
Keheningan total menyelimuti kelas. Jawaban itu terlalu detail, terlalu presisi, terlalu... profesional untuk seorang murid SMA biasa.
An Ata merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Sial. Terlalu sempurna lagi. Ia baru saja membuat kesalahan yang sama seperti pagi tadi.
"Jawaban yang... komprehensif," An Ata berkata dengan nada yang ia harap terdengar netral. "Silakan duduk. Sekarang, mari kita fokus pada contoh yang lebih praktis dalam kehidupan sehari-hari..."
Ia cepat-cepat melanjutkan pelajaran, mencoba mengalihkan perhatian dari Jin. Tapi ia tahu, jawaban barusan hanya akan membuat lebih banyak mata memperhatikan avatarnya.
Ruang klub lama di gedung belakang Akademi Kouryou selalu dipenuhi aroma asap rokok dan debu. Sinar matahari sore menyusup melalui tirai lusuh, memberikan cahaya redup pada interior yang sudah lama tidak dirawat. Di tengah ruangan, sebuah sofa kulit usang menghadap ke meja kayu yang penuh dengan goresan dan noda.
Hayato Sakamoto duduk santai di sofa itu, pisau lipat di tangannya berkilau saat ia putar-putar dengan jari-jarinya. Rambut pirangnya yang bleach terlihat hampir putih di bawah cahaya senja. Mata sipitnya yang dingin menatap Kenji yang berlutut di hadapannya dengan wajah penuh memar.
"Jadi," Hayato angkat bicara dengan suara rendah yang terdengar seperti geraman, "kau dan dua orang idiot lainnya dihajar oleh satu murid pindahan?"
"Hayato-san, dia bukan manusia biasa!" Kenji memelas, darah kering masih terlihat di sudut bibirnya. "Gerakannya seperti... seperti ninja di film-film! Kami bahkan tidak bisa menyentuhnya!"
Hayato berhenti memutar pisaunya. Ruangan menjadi hening, hanya terdengar suara detak jam dinding yang sudah hampir rusak. "Kenji," ia berkata pelan, "di sekolah ini, aku yang menentukan siapa predator dan siapa mangsa."
Ia berdiri, langkahnya yang perlahan menggema di lantai kayu. "Tidak peduli dia ninja, yakuza, atau bahkan hantu. Fakta bahwa dia berani menyentuh anggota Kuda Besi berarti dia sudah menantang otoritasku."
Hayato berjalan menuju jendela, menatap keluar ke halaman sekolah yang mulai sepi. "Ini bukan lagi soal uang keamanan dari gadis berkacamata itu. Ini soal reputasi. Soal membuktikan bahwa di Akademi Kouryou, hanya ada satu raja."
Ia membalikkan badan, menatap Kenji dengan tatapan yang membuat pemuda itu bergidik. "Kumpulkan semua yang bisa bertarung. Hari ini, setelah pulang sekolah, kita akan menyambut murid baru itu dengan... pelajaran orientasi."
Jam makan siang. Kantin Akademi Kouryou dipenuhi dengan hiruk-pikuk siswa yang mencari makan siang, tapi An Ata memilih untuk tetap berada di kelas. Ia mengeluarkan sebungkus roti melon dari tasnya dan menatapnya dengan ekspresi yang sedikit frustasi.
Sinkronisasi intensif membakar kalori seperti olahraga berat, ia mengeluh dalam hati. Tapi An Ata yang sebenarnya bahkan tidak berkeringat.
Jin duduk di bangkunya, membaca buku matematika dengan konsentrasi yang sempurna. Tidak butuh makan, tidak butuh istirahat, tidak butuh sosialisasi. Avatar yang ideal, jika bukan karena masalah "perhatian berlebihan" yang terus bertambah.
"Ano... Kisaragi-kun?"
Suara lembut itu membuat An Ata menoleh. Hinaori Yuki berdiri di samping meja Jin dengan sebuah kotak bento di tangannya, wajahnya memerah padam.
Oh, tidak, An Ata mendesah dalam hati. Masalah baru.
Jin mengangkat kepala dari bukunya. "Ya, Hinaori-san?"
"I-ini..." Hinaori menyodorkan kotak bento dengan gerakan yang gemetar. "Sebagai ucapan terima kasih karena... karena tadi pagi..."
An Ata cepat-cepat menganalisis situasi. Menerima hadiah dari Hinaori akan menciptakan koneksi emosional yang tidak diinginkan. Tapi menolak dengan kasar akan membuat Jin terlihat seperti orang yang tidak berperasaan, yang bisa menciptakan masalah sosial yang berbeda.
Melalui koneksi mental, ia mengirimkan instruksi yang kompleks ke Jin. Tolak dengan sopan. Buat dia merasa dihargai tapi jangan berikan harapan. Jaga jarak tapi jangan sampai menyakiti perasaannya.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Hinaori-san," kata Jin dengan senyum tipis yang terlihat tulus tapi distant. "Tapi aku tidak bisa menerima ini. Aku melakukan itu karena memang seharusnya dilakukan, bukan karena mengharapkan imbalan."
"Tapi aku ingin..." Hinaori mulai memprotes.
"Kebaikan hatimu sudah lebih dari cukup sebagai terima kasih," Jin memotong dengan lembut. "Aku akan lebih senang jika kau menikmati bento itu sendiri. Kau yang membuatnya, kan?"
Hinaori terdiam sejenak, wajahnya merah semakin menjadi. "I-iya... Baiklah, kalau begitu..." Ia mundur selangkah. "Tapi... jika kau butuh bantuan apa pun, jangan ragu untuk bertanya."
Setelah Hinaori kembali ke bangkunya, An Ata merasa sedikit lega. Handled with care. Bagus.
Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari ujung matanya, ia melihat beberapa siswa perempuan yang berbisik-bisik sambil menatap ke arah Jin. Ada yang tertawa kecil, ada yang memerah wajahnya. Beberapa siswa laki-laki menatap dengan campuran kagum dan iri.
Popularity spike, An Ata menyadari dengan perasaan jengkel. Ini akan menjadi masalah besar.
Bel pulang sekolah berbunyi dengan nada yang terdengar sedikit sumbang—mungkin sistem audio sekolah yang sudah tua. An Ata membereskan barang-barangnya dengan gerakan yang cepat dan efisien. Ia ingin segera pulang ke apartemennya, melepas koneksi dengan Jin, dan beristirahat dari semua drama yang tidak perlu ini.
Tapi saat ia berjalan menyusuri koridor menuju pintu keluar, ia melihat pemandangan yang sudah ia antisipasi sejak tadi siang.
Di dekat area loker sepatu, sebuah kerumunan siswa berkumpul dalam formasi yang jelas bukan kebetulan. Di tengah-tengah mereka, Hayato berdiri dengan sikap casual tapi mengintimidasi. Rambut pirangnya yang bleach terlihat lebih mencolok di bawah lampu koridor. Di belakangnya, belasan siswa yang jelas-jelas bukan tipe yang fokus pada akademik.
Dan di tengah-tengah itu semua, sendirian, berdiri Kisaragi Jin.
An Ata berhenti di balik pilar, mengamati situasi dengan perasaan yang campur aduk antara lelah dan jengkel. Predictable, pikirnya. Hama selalu kembali dalam jumlah yang lebih besar.
Ia bisa melihat beberapa siswa lain yang berdiri di kejauhan, menonton dengan campuran takut dan penasaran. Tidak ada guru yang terlihat—ini adalah wilayah "tidak resmi" di mana otoritas sekolah biasanya tidak mau campur tangan.
Hayato melangkah maju, pisau lipat di tangannya berkilau. "Kau pasti Kisaragi Jin, murid pindahan yang baru," katanya dengan nada ramah yang palsu. "Aku Hayato. Ketua dari Kuda Besi. Aku pikir kita perlu berkenalan."
Jin tidak menjawab, hanya menatap Hayato dengan tatapan datar yang sama seperti yang ia tunjukkan sepanjang hari.
An Ata merasakan denyutan di pelipisnya. Energi mental yang tersisa setelah sinkronisasi pagi tadi sudah menipis. Kontroling Jin untuk pertarungan lain akan menguras habis cadangan energinya dan mungkin menyebabkan backlash yang serius.
Tapi apa pilihan lain? ia bertanya pada diri sendiri. Membiarkan avatar hancur? Menarik perhatian dengan campur tangan langsung?
Hayato tersenyum dingin. "Aku dengar kau sudah berkenalan dengan beberapa teman kami tadi pagi. Sayang sekali, mereka tidak sempat memberikan sambutan yang... layak."
An Ata menganalisis situasi dengan cepat. Lima belas lawan. Hayato terlihat lebih berbahaya dari trio pagi tadi—gerakannya menunjukkan seseorang yang berpengalaman dalam kekerasan. Lingkungan yang terbatas, banyak saksi, dan energi yang terbatas.
Sistem di sekolah ini, ia berpikir dengan jengkel, benar-benar tidak efisien. Cost-benefit ratio dari menjaga ketertiban... terlalu tidak seimbang.
Tapi saat ia memperhatikan lebih teliti, ia menyadari sesuatu. Hayato tidak berdiri seperti orang yang yakin akan kemenangan. Ada ketegangan di pundaknya, cara ia memegang pisau sedikit terlalu erat. Ia gugup.
Dia sudah mendengar laporan tentang pertarungan pagi tadi, An Ata menyimpulkan. Dia tahu ini bukan lawan yang mudah. Tapi pride dan reputasi memaksanya untuk tetap maju.
Saat itulah An Ata mendapat ide. Mungkin ada cara untuk menyelesaikan ini tanpa pertarungan skala besar yang akan menarik lebih banyak perhatian...