Menari

Area loker sepatu di pintu keluar Akademi Kouryou telah berubah menjadi sebuah colosseum dadakan. Udara terasa berat, penuh dengan testosteron dan antisipasi kekerasan. Siswa-siswa yang hendak pulang kini membentuk lingkaran besar, menjaga jarak aman, ponsel mereka terangkat, siap merekam pertunjukan yang akan segera dimulai.

Di pusat arena, Kisaragi Jin berdiri tenang. Di hadapannya, Hayato tersenyum, senyum seekor hiu yang telah menyudutkan mangsanya. Lebih dari selusin anggota 'Kuda Besi' mengelilingi Jin, menutup semua rute pelarian.

"Murid pindahan," Hayato memulai, suaranya bergema di antara deretan loker logam. "Kau membuat kesalahan besar kemarin. Kau pikir bisa datang ke sini, memukul anak buahku, dan pergi begitu saja?"

Jin hanya menatapnya, ekspresi wajahnya tidak berubah. "Mereka sampah yang berisik. Aku hanya membersihkannya."

Jawaban itu memancing tawa dingin dari Hayato. "Percaya diri sekali. Kau tahu siapa aku?"

"Tidak relevan," jawab Jin singkat.

Saraf di pelipis Hayato berkedut. Kesombongan yang tenang ini jauh lebih memprovokasi daripada perlawanan yang panik. "Baiklah. Biar kuajari kau pelajaran pertama di Kouryou: Hierarki." Ia memberi isyarat dengan dagunya. "Habisi dia."

Empat preman rendahan menerjang pertama, sebuah gelombang tanpa strategi.

Dari balik pilar di kejauhan, An Ata menghela napas. Mulai. Pemanasan yang membuang-buang energi.

Jin tidak mundur. Ia menyambut gelombang itu. Tangannya bergerak seperti kabut, menepis sebuah tinju liar, jari-jarinya secara akurat menekan titik saraf di bawah ketiak si penyerang, membuatnya lumpuh sesaat. Kaki kanannya menyapu rendah, sebuah gerakan dasar dari Silat, membuat penyerang kedua tersandung dan menabrak temannya sendiri.

Ia memutar tubuhnya, menghindari sebuah tendangan dari samping. Dengan punggung tangannya, ia menghantam tenggorokan penyerang ketiga, memotong pasokan udaranya dan membuatnya terbatuk hebat. Penyerang keempat, yang terakhir, ragu-ragu sejenak. Jeda itu adalah sebuah undangan. Jin melesat maju, telapak tangannya menghantam dada si penyerang dengan teknik pukulan sawit. Dampaknya tidak terlihat dramatis, tapi lawannya langsung terlempar ke belakang, menabrak deretan loker dengan bunyi DENTAM! yang keras, meninggalkan penyok yang cukup dalam pada pintu logam itu.

Empat orang tumbang dalam lima detik. Kerumunan penonton menahan napas.

Hayato tidak terkejut. Ia justru tersenyum lebih lebar. "Tidak buruk. Ternyata bukan sekadar bocah sombong." Ia melirik dua orang kepercayaannya yang berdiri di sisinya. "Gozan, Kaito. Giliran kalian."

Dua sosok itu melangkah maju, kontras yang sempurna. Gozan adalah raksasa setinggi hampir dua meter dengan bahu selebar lemari. Setiap langkahnya membuat lantai bergetar. Ia tidak membawa senjata; otot-ototnya yang menonjol di balik seragamnya yang ketat adalah senjatanya. Di sebelahnya, Kaito lebih pendek, kurus, dan bergerak seperti seekor musang. Ia terus melompat-lompat kecil di tempat, seolah menyimpan terlalu banyak energi kinetik di tubuhnya.

Gozan, si 'Benteng Berjalan'. Kekuatan fisik murni. Lambat, tapi satu pukulannya bisa meremukkan tulang, analisis An Ata dalam benaknya, rasa pening mulai menyerang. Kaito, si 'Angin Puyuh'. Spesialis Taekwondo, sangat cepat dan lincah. Kombinasi yang merepotkan.

"GRRAAAHH!" Gozan menyerang lebih dulu, lengannya yang besar mengayun seperti gada, menargetkan kepala Jin.

Jin tidak menahannya. Itu bodoh. Ia merendahkan tubuhnya, membiarkan ayunan maut itu lewat sejengkal di atas kepalanya. Dengan posisi rendah, ia melesat masuk, tangannya mencengkeram lengan Gozan yang masih bergerak maju karena momentum. Dengan satu putaran pinggul yang sempurna, ia memutar tubuhnya, menggunakan berat badan Gozan sendiri untuk membantingnya ke lantai dalam sebuah bantingan judo yang sempurna.

BRAKK!

Lantai keramik retak di bawah beban tubuh raksasa itu. Tapi Gozan, seperti monster, sudah mulai bangkit, hanya sedikit pusing. Sebelum ia sempat berdiri penuh, Kaito sudah menyerang dari udara, melancarkan serangkaian tendangan kapak dan tendangan memutar yang cepat.

Jin kini menari. Kakinya bergerak lincah, menghindari setiap tendangan dengan selisih setipis kertas. Ini bukan lagi perkelahian brutal, ini adalah sebuah pertunjukan seni bela diri tingkat tinggi. Ia menghindari tendangan tinggi Kaito, tangannya melesat seperti ular, mencengkeram pergelangan kaki lawan di udara. Dengan teknik kuncian dari Jiujitsu, ia memutar sendi itu, memaksa Kaito jatuh dengan canggung.

Gozan kembali menyerang. Kali ini Jin tidak membantingnya. Ia menepis pukulan itu, jarinya dengan cepat mengunci sendi siku Gozan, lalu dengan lututnya ia menghantam titik lemah di belakang paha lawannya. Keseimbangan Gozan goyah, dan ia terpaksa berlutut.

Kombinasi Silat dan Jiujitsu. Kelincahan dan kuncian. Efisiensi di atas kekuatan kasar. Itulah gaya bertarung Kisaragi Jin.

Melihat kedua letnannya dilumpuhkan dengan begitu mudah, wajah Hayato mengeras. Ia mengeluarkan pisaunya, kilau dingin bilahnya memantulkan cahaya lampu. "Cukup main-mainnya."

Kerumunan bergidik. Pertarungan tanpa senjata sudah biasa, tapi begitu pisau keluar, artinya sudah berbeda.

Di balik pilar, An Ata merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena jengkel. Senjata. Ini akan meningkatkan konsumsi energi untuk manuver menghindar. Biaya lagi.

Hayato menerjang, tusukannya cepat dan mengarah ke perut Jin. Jin melangkah ke samping, bilah pisau itu hanya menggores sisi seragamnya. Hayato memutar pisaunya, mengubah tusukan menjadi sabetan horizontal. Jin melompat mundur, menjaga jarak.

Analisisnya berjalan cepat. Hayato bukan petarung terlatih seperti Gozan atau Kaito. Ia petarung jalanan. Gerakannya liar, tidak terduga, dan mematikan.

"Hanya bisa lari, hah?!" ejek Hayato sambil terus menekan.

Jin berhenti. Tepat saat Hayato kembali menusuk, ia tidak menghindar. Ia justru maju, tangannya bergerak dalam sebuah blok gunting yang presisi, menjepit pergelangan tangan Hayato yang memegang pisau. Dengan tangan kirinya, ia menghantamkan sisi telapak tangannya ke siku Hayato, memaksa sendinya tertekuk ke arah yang salah.

KRAK!

Pisau itu jatuh berdeentingan di lantai. Hayato menjerit kesakitan, lengannya terkulai lemas. Jin tidak memberinya waktu untuk pulih. Satu tendangan kuat ke ulu hati membuat Hayato terbungkuk, kehabisan napas. Sebagai penutup, Jin melayangkan tendangan memutar dengan tumitnya, menghantam pelipis Hayato dengan keras.

BRUK!

Sang ketua 'Kuda Besi' tumbang, pingsan sebelum tubuhnya menyentuh lantai.

Keheningan total menyelimuti area loker. Selusin anggota 'Kuda Besi' membeku, tidak berani bergerak. Kisaragi Jin berdiri di tengah, dikelilingi oleh tubuh-tubuh yang pingsan, napasnya sedikit pun tidak terengah. Ia melirik kerumunan, matanya yang dingin seolah berkata, "Siapa selanjutnya?".

Tidak ada yang berani menjawab.

Seorang gadis berkacamata dengan tanda pengenal pers sekolah di lehernya, dengan gemetar mengangkat kamera dan mengambil beberapa foto.

An Ata bersandar di pilar, memijat pelipisnya yang terasa seperti mau pecah. Penglihatannya sedikit kabur. Pertarungan yang panjang dan intens. Konsumsi energinya di luar dugaan.

Kemenangan total. Dominasi absolut. Pikirannya mencoba menganalisis hasil. Tapi konsekuensinya...

Ia melirik kerumunan yang kini menatap Jin dengan campuran rasa takut dan hormat. Ia melihat gadis pers sekolah itu. Reputasi Jin akan menyebar seperti api besok. Ia tidak akan lagi menjadi murid pindahan misterius. Ia akan menjadi penguasa baru yang tak terbantahkan di angkatan kelas dua.

An Ata menutup matanya, merasakan gelombang kelelahan yang luar biasa.

Bagus. Sekarang dia jadi selebriti. Merepotkan, merepotkan, merepotkan.