Di bawah langit malam yang dibalut kabut tipis musim semi, kasim muda bernama Yu Fan berdiri di depan sebuah rumah bordil yang katanya "tak terdaftar dalam catatan kekaisaran."
Misi malam ini adalah penggerebekan—resmi, atas nama hukum, meski baginya... hanya karena penasaran.
“Pasti tempatnya jorok...” gumamnya pelan sambil melirik papan nama bertuliskan:
《Paviliun Pisang dan Kerang》
Pasukan kekaisaran bergerak cepat, menyeret pelayan-pelayan berrias tebal dan pelanggan yang belum sempat mengenakan celana mereka.
Yu Fan tidak ikut menyeret orang—itu bukan pekerjaannya. Ia hanya berjalan, melihat-lihat...
Seperti bocah di pasar malam.
Hingga...
Sebuah pintu tertutup di lantai dua menarik perhatiannya.
“Eh? Kenapa kamar ini tidak dibuka?”
Dengan dorongan naluri (dan sedikit ketidaksopanan), Yu Fan menendang pintu itu pelan.
Ciiiit.
Di dalamnya... kosong.
Tapi ranjang besar di tengah ruangan tampak basah. Seolah seseorang—atau lebih dari satu orang—baru saja pergi dengan tergesa.
Dan di atas seprai... ada sesuatu.
Benda itu berkilau kehijauan di bawah cahaya lentera.
Panjang. Mengilat. Dan sangat... menyeramkan.
Bentuknya persis seperti—ya, kamu tahu. Tapi terbuat dari giok murni, dengan ukiran halus seperti sisik naga membungkus batangnya.
Yu Fan mematung.
Ia menelan ludah.
“Apa ini... mainan... atau... senjata spiritual?”
Naluri seorang peneliti aneh muncul. Ia menarik selembar kain dan membungkusnya, menyimpannya dalam lengan jubah...
Lalu pergi diam-diam.
Ia tidak melaporkannya pada siapa pun.
–––
Malam hari.
Di kamarnya, di bawah cahaya lilin dan segelas teh dingin, Yu Fan meletakkan “batang giok” itu di atas meja.
Menatap benda itu dalam diam.
Giok itu—selain kilau hijaunya yang memikat—juga tampak agak... basah.
Permukaannya lengket, diselimuti cairan kental bening yang mulai mengering, meninggalkan bekas tipis seperti embun pagi di atas batu giok.
“Ini… kenapa licin begini…?” gumamnya, setengah jijik, setengah penasaran.
Ia menyeka permukaannya dengan kain, tapi cairan itu malah meninggalkan aroma aneh—manis, tajam, dan... menggoda.
Seperti bunga malam yang keliru mekar di dalam rumah bordil.
“Apa ini... lendir spiritual? Atau... cairan kutukan?”
Sebagai kasim, ia bahkan tidak tahu pasti bagaimana seharusnya benda seperti ini terasa.
Ia hanya pernah melihatnya di lukisan cabul yang disita dari kamar Pangeran Ketiga—itu pun dalam posisi artistik yang membingungkan.
Tapi yang ini...
Terlalu nyata. Terlalu halus.
Bahkan saat disentuh, terasa hangat.
Dan yang lebih buruk—respon tubuhnya ikut aneh.
Ia sudah memeriksanya, menekannya, bahkan mengetuknya dengan sendok perak.
Tidak ada reaksi.
Biasa saja.
“Aku ini gila ya...?” gumamnya.
Ia bersandar untuk memeriksa ukiran di ujung “batang” itu...
…ketika tiba-tiba—KREK!
Kursinya patah.
Tubuhnya jatuh.
Dan benda itu ikut terjatuh—tepat menimpa selangkangannya.
Ada kilat hijau.
Ada rasa hangat.
Sangat hangat.
Lalu...
Gelap.
Yu Fan pingsan.
–––
Pagi berikutnya.
Ia terbangun di atas lantai, tanpa ingat kapan jatuh tertidur.
Tapi saat ia bergerak...
Ia merasakan sesuatu yang tidak biasa.
Sangat tidak biasa.
“Tu—Tunggu... APA INI?!”
Sesuatu di selangkangannya—berdiri.
Tegak. Kokoh. Memberi salam pagi tanpa permisi.
Yu Fan terdiam.
Ia tidak berani menyentuh, apalagi melihat.
Tubuhnya perlahan bangkit dari lantai.
Tapi saat berdiri, ia langsung limbung.
Ada sesuatu yang menggantung—tidak, menyatu— dengan tubuhnya,
tapi beratnya tidak ia kenal.
Seperti membawa senjata yang belum pernah ia gunakan.
Dengan tangan gemetar, Yu Fan perlahan membuka celananya.
Saat ia melihatnya—
Ia terdiam.
Nafasnya tercekat.
Di sana, berdiri dengan gagahnya, sebuah batang yang jelas-jelas bukan milik kasim biasa.
Bahkan bukan milik pria biasa.
Sedikit berkilau kehijauan di bawah cahaya pagi,
urat-uratnya berdenyut halus,
dan pola sisik naga terlihat samar melingkar di pangkalnya.
Satu kata melintas di benaknya:
Sempurna.
“…Ini… aku?” gumamnya pelan.
Tangannya terulur, ragu.
Begitu menyentuhnya, ia hampir mundur—hangat. Hidup.
Bukan sekadar tempelan ilusi.
“Hiks…”
Matanya membasah.
Air mata jatuh begitu saja, menetes ke lantai kayu.
Yu Fan menunduk, memegangi pinggang,
menangis seperti bayi.
“Setelah sekian lama… setelah bertahun-tahun aku hidup sebagai penjaga harem tanpa alat perang…
Sekarang aku kembali...”
Ia jatuh duduk di lantai, tubuh bergetar.
“Terima kasih… siapa pun kau… roh giok… dewa kemaluan… leluhur para batang…”
Ia mengangkat wajah ke langit-langit, dramatis,
seolah sinar ilahi menembus atap kamar.
Tiba-tiba ia tertawa pelan.
Lalu tertawa keras.
Lalu menangis lagi.
“Bagaimana aku akan menjelaskannya ke dokter istana?!
Bagaimana aku menjelaskannya ke Putri?!
Bahkan... bagaimana aku menjelaskannya ke... diriku sendiri?!”
Ia menunduk lagi.
“Tenang, Yu Fan. Tarik napas. Jangan panik.
Mungkin ini cuma mimpi.
Atau... semacam teknik ilusi dari sihir jahat.
Ya! Nanti sore juga hilang.”
Tapi saat ia berdiri, batang itu tetap berdiri bersama dirinya.
Dan entah kenapa...
Tubuhnya terasa lebih hangat.
Lebih kuat.
Jantungnya berdetak pelan tapi mantap,
seolah aliran energi lembut mengalir dari bawah perutnya ke seluruh tubuh.
–––
Tok tok tok!
“Senior Yu Fan? Sudah bangun?
Hari ini giliran Anda mendampingi Putri belajar puisi!
Sudah hampir pertengahan jam macan!”
Suara nyaring seorang kasim muda terdengar dari balik pintu.
Yu Fan membelalak.
“Astaga—Putri! Aku lupa hari ini tugasku!”
Ia menoleh ke bawah.
Masih tegak.
Bahkan… lebih tegak dari sebelumnya,
seolah batang giok itu tahu akan ada wanita muda dan lembut dalam satu ruangan dengannya.
“JANGAN SEKARANG!!” bisiknya putus asa sambil menepuk-nepuk bagian bawah perutnya, seolah bisa dinegosiasikan.
Tidak berhasil.
Ia melompat ke arah lemari, mengaduk pakaian.
Tapi setiap jubah resmi kasim yang ia kenakan tampak… tidak sesuai bentuk tubuh barunya.
Meski sudah dilapisi ganda, tonjolan di bawah tetap berontak dari etiket istana.
“Ini terlalu vulgar…
Ini terlalu ketat…
Ini terlalu tipis…”
Tok tok tok!
“Senior? Anda baik-baik saja?”
“YA! AKU CUMA… SEMBAHYANG PAGI!”
Ia mencabut seutas tali dari gulungan sprei di sudut kamar dan, tanpa pikir panjang, mengikat erat batang itu ke paha kirinya.
“Maaf ya, kamu, tapi ini darurat negara…”
Ikatan itu tidak sempurna, tapi cukup menahan posisi agar tidak menghadap dunia luar.
Ia mengenakan tiga lapis jubah, lalu berdiri di depan cermin kecil, menilai penampilannya.
Hasilnya…
Seperti kasim yang menyelundupkan terong naga.
Yu Fan menarik napas dalam-dalam.
“Tenang. Kamu kasim. Kamu profesional. Kamu suci. Kamu…
ASTAGA jangan membengkak LAGI!”
Setelah beberapa detik meditasi kilat, ia menarik napas panjang dan membuka pintu.
Senyumnya tegang.
“Maaf. Barusan... sedikit refleksi hidup.”
Kasim muda menatapnya bingung, lalu melirik ke arah perut bawah Yu Fan.
“Senior, jubah Anda agak… menggembung?”
Yu Fan menyeringai kaku.
“Ah, itu... lipatan jubah. Model baru. Gaya Beihan.”
“Wah… modis sekali.”
“Ya, ya. Ayo, kita ke aula putri.”
Di dalam hatinya, Yu Fan hanya berharap:
Semoga Putri tidak terlalu banyak bergerak.
Dan semoga, batang giok ini... tidak punya emosi sendiri.