Bab 1 – Menantu Tak Berguna

Hujan deras mengguyur kota. Di bawah langit malam yang muram, guntur menggelegar, menggetarkan jendela-jendela rumah megah keluarga Haryono.

Seorang pria muda berdiri di depan pintu. Rambutnya basah kuyup, kaus polosnya menempel di tubuh kurusnya. Di tangan kanannya, sebuah plastik putih berisi obat batuk.

“Berapa kali saya bilang, Ares? Jangan pulang malam terus! Kamu pikir ini rumah kos?!”

Suara itu memecah keheningan.

Fernando Haryono, mertua Ares, berdiri di tengah ruang tamu. Wajahnya merah padam, dasi kerjanya belum sempat dilepas, matanya memancarkan kemuakan yang tak tersembunyi.

Ares hanya menunduk. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

“Sudah dua tahun kamu numpang hidup di sini, dan apa yang kamu lakukan? Kerja? Enggak! Bantu bisnis keluarga? Enggak! Bahkan jadi supir pun kamu tolak!” Fernando menunjuk langsung ke wajahnya. “Kamu laki-laki atau benalu?!”

Ares hanya menghela napas pelan. Obat di tangannya sudah mulai dingin.

“Ayah, kumohon jangan begitu...” suara lembut terdengar dari belakang Fernando. Celina, wanita cantik berambut panjang dan bermata sendu, berdiri ragu di anak tangga. “Ares ke luar buat beli obat. Untuk aku. Aku tadi batuk-batuk, dia yang nyariin obat meski hujan.”

Fernando menoleh tajam ke putrinya. “Obat? Pukul berapa sekarang? Kamu pikir saya bodoh?! Dia pasti keluyuran entah ke mana!”

Di sudut ruangan, dua pria—Dion dan Kevin, kakak ipar Ares—terbahak sambil memainkan ponsel mereka.

“Kalau buat beli obat aja tiga jam, mungkin dia tersesat ya, Kak?” sindir Kevin, sambil cekikikan.

Ares menatap mereka sebentar. Pandangan matanya tenang, nyaris kosong. Tapi dalam hatinya, petir menggeliat liar.

“Dulu, satu lambaian tanganku bisa menghancurkan gunung. Sekarang, bahkan suara pun aku simpan.”

Tapi bukan karena takut.

Karena dia tahu... dunia ini belum siap. Dan dia pun belum siap kehilangan Celina—satu-satunya alasan dia tetap bertahan di dunia fana.

“Ares,” Fernando mendekat, kini berdiri tepat di depannya. “Kalau kamu punya harga diri, kamu keluar dari rumah ini malam ini juga. Jangan tunggu diusir.”

Ares mengangkat wajahnya perlahan. Hujan masih menetes dari rambutnya. Mata hitamnya menatap Fernando, tanpa gentar.

“Kalau itu yang Ayah mau... saya akan pergi.” Suaranya tenang. Terlalu tenang.

Celina terkejut. “Ares, tunggu—”

Tapi Ares sudah membalikkan badan, melangkah keluar rumah, dan menutup pintu perlahan di belakangnya.

Langit memekik. Petir menyambar—tapi anehnya... sambaran itu seperti mengikuti langkah Ares, menyusuri trotoar di belakangnya.

Dan di bawah suara gemuruh itu, terdengar bisikan lirih:

“Langit belum melupakanmu, Kaisar Petir... waktumu akan datang.”

---

Langkah kaki Ares menggema di trotoar yang basah. Hujan belum juga reda, tapi dia tidak peduli.

Setiap tetes air hujan yang menyentuh kulitnya seperti membangkitkan ingatan.

Ingatan akan langit yang terbakar, peperangan antar dewa, dan benteng terakhir Skyrealm yang jatuh.

Dua tahun lalu, Ares si Kaisar Petir memilih untuk menyegel kekuatannya dan meninggalkan dunia langit, turun ke bumi demi menebus kesalahan yang tak bisa ia maafkan. Tapi hari ini... dunia seperti memanggilnya kembali.

Saat ia berjalan menyusuri gang kecil di belakang kompleks rumah mewah itu, udara tiba-tiba berubah. Bukan sekadar dingin karena hujan, tapi terasa menusuk. Menyesakkan.

Langkah Ares terhenti. Matanya menyipit.

Di depan, di balik bayangan gelap gang, muncul siluet seseorang. Berpakaian jubah hitam robek, wajah tersembunyi di balik tudung. Tapi yang paling aneh, dia tidak basah sama sekali. Hujan tak menyentuhnya.

Makhluk itu berbicara dengan suara berbisik, namun terdengar jelas di telinga Ares:

“Kau terlalu lama tinggal di dunia lemah ini, Zhar-El... Kaisar Langit Pengkhianat.”

Ares mengepalkan tangannya. Udara di sekitarnya bergetar ringan. Listrik statis mulai menari di ujung jarinya.

Zhar-El. Nama lamanya. Nama sebelum ia menjadi Ares. Sebelum ia memutuskan untuk turun ke bumi dan menyembunyikan identitasnya.

“Skyrealm meradang tanpa tuan. Dan gerbang antara dunia mulai retak... Kami datang untukmu. Kami akan membawa kehancuran bersamamu.”

Makhluk berjubah itu melangkah maju, dan seketika, bayangan hitam melesat ke arah Ares seperti panah kegelapan.

Refleks, Ares mengangkat satu tangan. Petir kecil—hampir tak terlihat—menyambar dari telapak tangannya dan menghantam serangan itu.

Boom!

Semburan api kecil dan asap muncul, cukup untuk membuat makhluk itu terlempar ke belakang.

“Bilang pada tuanmu,” ucap Ares dengan suara rendah dan tegas, “Aku belum mati. Dan saat waktunya tiba… langit akan bergemuruh kembali.”

Makhluk itu menghilang dalam kabut, tapi sebelum lenyap, dia meninggalkan satu kata:

“Sayaka.”

Ares terpaku. Nama itu membuat dadanya berdesir. Wajah seseorang dari masa lalu, seseorang yang dulu dia percaya... dan kini mungkin mengkhianatinya.

Langit masih bergemuruh.

Tapi kini, bukan hanya hujan.

Celah antara langit dan bumi benar-benar mulai terbuka.