Pada malam itu, aku tidak bisa melihat jelas apa yang terjadi. hanya segelintiran kaca dan sebuah pisau yang terpekat di tanganku, dan cairan merah.
"tidak ... paman!"
Dalam sekejap, aku terbangun dengan suara bel sekolah yang mengakhiri waktu sekolah. Di situ aku hanya melihat tas temanku yang terpajang di mejaku.
Aku hanyalah pria Russia berumur 17 tahun dengan rambut dan mata berwarna oranye seperti wortel─── atau setidaknya itulah cara mereka mendeskripsikan ku.
Tidak lupa aku biasanya memakai topi Russia kebanggaan ku dengan lambang bintang yang berwarna merah.
"Mengapa bocah berandalan ini menaruh
tasnya di atas mejaku, merepotkan saja."
—Sret
Aku mengambil tas ku dan pergi meninggalkan kelas, hanya untuk mendengar kebisingan. Aku menyumbat kedua telingaku, berharap keadaan akan semakin tenang. Tapi hanya mendatangkan kebisingan lagi.
Aku mendatangi asal suara tersebut, akan tetapi itu hanya ruteku yang biasanya. Jadi bukan karena aku ingin melihat, jelas tidak.
Aku menduga ada kejadian kecelakaan atau tawuran dan semacamnya.
Ternyata aku hanya melihat seorang gadis pindahan asia yang berambut hitam dan berkulit putih seperti mayat.
"Payah."
Aku sontak berbisik dalam kejauhan. Wanita itu bodoh, mengapa ia mendatangi sekolah jika waktu sudah beranjak pulang.
"Permisi!"
Pria berjubah hitam dan berseragam sma itu mendobrak tubuhku seperti batu yang tak terlihat, Frederick.
"Ada wanita cantik, menyingkir dari jalanku bung!"
Aku berbalik dan menatapnya dengan tatapan jengkel.
"Apa-apaan?" Jawabku.
"Idiot, kau melupakan tasmu yang tertinggal di mejaku." Aku menjawab dengan nada kesal dan malas.
"Apa?? Tidak dengar." Jawab si bocah tengik (Frederick).
Aku mengabaikannya dan pergi meninggalkan kawasan itu.
Hari mulai gelap dan jarak rumahku masih jauh. Terkadang aku berpikir untuk apa pulang ke rumah jika tidak ada yang menunggu.
Masih ada waktu, aku akan mencari cemilan sebelum hari benar-benar gelap.
Aku memutar rute perjalanan dan melakukan rute area jalan yang berlawanan. Berani berbeda, kataku. Akan tetapi, kota ini tidak seramai kota yang ku tinggal dulu. Walau tujuanku kemari bukan untuk mencari cemilan,
—Sreengg
Kepalaku, mereplika, memori yang belum terjadi. Sakit,
Wanita itu. Ia akan melakukan bunuh diri? Di sungai, tidak. Di pinggiran sungai. Aku berlari bergegas menuju arah gelombang yang di pancarkan otak ku.
Di sana!!
"Hentikan!" Aku menarik wanita itu dari pinggiran sungai yang hendak ia tempatkan. Keadaan sekitar cukup berkabut sehingga sekeras apapun aku meminta tolong.
Tidak ada yang menjawab
"Hei kau!! wanita bodoh." Aku menariknya sekuat tenaga, sehingga ia jatuh dalam dekapanku. Aku menariknya dan mencengkeram tubuhnya dengan air mata yang mengalir, tak sadarkan diri.
Aku menghapus kedua air mataku dan menujukan tatapanku ke wanita berambut hitam pekat, dengan kulit putih yang pucat seperti mayat.
"Kau adalah, si a-anak. Baru itu." Aku berusaha menenangkan suara diriku yang separuh gemetaran bagaikan seekor belalang ini.
"Mengapa kau mencoba bunuh diri?? Apakah kau tidak waras!? Aku tidak tahu kau mengalami masalah apa akan tetapi kau benar-benar bodoh!"
Aku berteriak dengan takut, takut jika ada yang meninggal di depan mataku lagi. Wanita itu terdiam seperti ia sedang mengumpulkan kata-kata.
"Ku bilang jawab aku!" Aku menghentak dan menaikan nada suara dengan tegas.
Akan tetapi, ada sesuatu yang aneh. Ia hanya diam dan menggertak, memutar balik keadaan dengan tangannya yang mendekap bahuku.
"Apa-apaan!?" Aku melepaskan tangannya, akan tetapi ia bahkan mendekapku lebih kencang.
Ia mendorongku ke tepi sungai dimana terdapat jembatan kecil yang dapat terhubung dengan daerah perkotaan.
Wanita ini benar-benar tidak waras ...
Kekuatannya melampau kekuatan seorang gadis biasa. Tidak, auranya mengatakan ia bukanlah seorang gadis..
Entah mengapa aku tidak memperhatikannya, akan tetapi matanya yang berwarna merah darah bercak itu, menyala terang saat bulan menjelang purnama. Ia mulai melakukan hal yang aneh terhadapku.
Ia merobek seragam sekolah yang kukenakan dan mengincar bagian tubuh 'leher'.
"Enyahlah wanita mesum!" Aku mendorongnya dan menendang dengan keras, dan berteriak secara lantang.
Usahaku tidak sia-sia, akan tetapi tidak ada yang datang menolongiku. Benar-benar sial hari ini. Setelah aku berlari menuju jembatan yang ada di tepian, aku pulang dalam keadaan seragam sobek dan celana penuh lumpur.
Menjijikan, mengapa hariku di penuhi kesialan?
Pertama, aku mendapat penglihatan yang seharusnya tak kulihat.
Kedua, seorang gadis atau wanita yang satu sekolah denganku adalah wanita yang mesum.
"Menjijikan." Aku mengatakannya sembari memakan mie instan dan menonton acara televisi yang membosankan dan penuh politik.
Malam itu adalah malam yang tidak menyenangkan.
Terakhir, aku beranjak dari sofa dan bergegas tidur. Tanpa melepas seragam dan topi Rusia yang kukenakan. Walaupun lampu sudah memadam. Aku selalu merasa ada yang mengawasiku.
Saat itu waktu berganti pada pagi hari, dengan rutinitas yang sama dengan kegiatan yang membosankan. Tak ingin terlambat, aku segera menggerakkan tubuhku dengan lesu dan malas. Menuju ke kamar mandi.
"Sekolah, sekolah, sekolah." Aku mengeluh walaupun pasta gigi dan odol menempel pada gigiku. Saat aku menatap diriku ke cermin, aku membayangkan kejadian yang tidak menyenangkan pada malam itu.
Aku muntah saat membayangkan, cengkraman tangannya menyentuh bagian tubuhku dan merobek sebagian besar seragam yang ku kenakan. Aku merasa jijik kepada diriku sendiri, sangat memilukan.
Dalam sekejap seluruh tubuhku merasa tidak enak, aku memutuskan untuk tinggal diam di rumah dan tidak mempedulikan keesokan harinya di sekolah. Wanita seperti itu, harus segera di musnahkan.
Mereka hanya menggunakan paras kecantikan untuk menggoda lelaki tampan lalu memanfaatkannya, akan tetapi. Ia sudah keterlaluan.
Belum ada setengah jam aku berusaha menenangkan pikiranku. Frederick si bocah tengik itu menelepon ku. Padahal ini adalah waktu pelajaran pertama.
Aku mengangkatnya dengan harapan ia akan bertanya kepadaku.
"Apa?" Tanyaku.
"Hei bung, kau benar-benar harus melihat ini!" Frederick menjawab.
"Tugas?" Aku bertanya dengan lugas.
"Bukan idiott, si gadis murid baru itu. Ia satu kelas bersama kita kau harus segera melihatnya tom!" Dia berteriak di telepon.
Aku sontak menutupnya dan menutup kedua telingaku. Tidak ingin mendengarkan omong kosong darinya. Aku menjauh dari telepon itu dan duduk di tepian kamarku.
Aku mencoba mengingat kejadian malam terakhir dan mengingat apa motivasi terselubung yang ia inginkan? Nafsu, atau memang karena gila.
Akan tetapi warna mata yang bersinar pada malam terik itu sudah cukup menjelaskan bahwa ia bukan sekedar orang gila. Terlebih dengan kekuatan yang ia miliki.
Aku mencoba mencari jawaban dengan mengacak buku yang ada di kamarku. Akan tetapi, tidak ada mata pelajaran yang menjelaskan kalau wanita dapat memiliki kekuatan 10× lipat lebih kuat daripada pria.
Alasan aku mencari buku ini bukan hanya sekedar mencari jawaban atas wanita itu, aku masih merasa kesal dengan Frederick.
Meskipun ia adalah pemain wanita bagaimana bisa ia tidak menanyakan keadaan atau kabar seorang temannya sendiri?