Keinginan

Aku menaiki anak tangga─── demi tangga dan membuka pintu yang mengarah ke lapangan tertumpuk salju itu. Cuaca hari ini benar-benar dingin.

Hari yang normal di Russia, aku benci dengan cuaca ini. Alih-alih berdiri aku memilih duduk di pojokkan dan menghangatkan diri, menggunakan keset sekolah sebagai sapu tangan.

Jika aku masuk ke dunia kerajaan, mungkin tindakan kecil ini tergolong tindakan rakyat jelata. Aku tertawa, menghibur diri. Tak lama kemudian aku terkaget ketika mendapati wanita itu berdiri di sampingku.

Apa yang di inginkan nya kali ini?

Aku melempar keset itu dan beranjak pergi, sebelum ia menarik kerah hoodie ku.

"Jangan pergi."

Kali ini ia menggenakan topeng dengan senyum gigi yang mengerikan. Dia menarik kerah hoodieku dengan kuat dan membuat tubuhku tidak berdaya.

"Sudah kuduga kau bukan manusia biasa, padahal aku sudah menghapus memori kemarin itu."

Aku berusaha untuk melepaskan diri tetapi tidak ada gunanya, karena seorang manusia tidaak dapat menang melawan Monster.

"Apa yang kau inginkan? Aku tidak memiliki apa-apa, monster cabul."

"Monster? kaum kami akan tersinggung jika kau memanggil kami seperti itu. Mungkin bisa membunuhmu."

Dia melepaskan kerah hoodieku dan membiarkan ku pergi. Aku dengan cepat berlari menuju tangga terdekat. dalam satu lapangan terdapat empat lokasi tangga. Aku memilih yang paling pojok kanan, walau berkarat tetapi dekat dan tepat.

Sangking cepatnya aku tidak menyadari pintu tangga yang ku tuju adalah pintu darurat. Dan benar saja, pintunya tidak memiliki tangga. Apakah aku akan mati? Tidak, jika mati seharusnya aku mengalami ingatan atau replika yang sama seperti saat dua kejadian itu.

Namun tetap saja, aku terjatuh dalam lantai yang jauh ke atas atap ruangan laboratorium. Dimana banyak kerumunan di bawah.

Aku tidak dapat merasakan rasa sakit apapun, sebelum beberapa menit kemudian aku merasakan sakit yang luar biasa panas di telungkup lutut kiriku.

Aku ... tidak dapat merasakan kakiku. Bentuk atap laboratorium itu bundar dan aku merasa tubuhku tergelincir seakan-akan atapnya licin terkena air hujan.

Sepertinya aku akan jatuh lagi. Sebelum, ia menangkapku dalam dekapannya. Dalam keadaan masih menggenakan topeng mengerikan itu, aku merasa malu sekaligus ingin beranjak pergi.

Akan tetapi kaki sebelah kiriku memberitahu bahwa keadaan tidak dapat berjalan sesuai yang ku inginkan. Kali ini aku menyesal sudah blak-blakan bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu.

Terlebih ia mendekapiku terlalu lama, seakan ingin membawaku di tempat yang ia tujui.

"Wah! Gadis itu seperti pangeran yang memopong putri kerajaan."

"Mereka cocok mementaskan drama sekolah!"

Teriak salah satu gadis di dalam laboratorium yang memegang ponselnya kemudian memotretku dan wanita ini.

"Hey! lihat ini cepat, osis kita menggendong seorang pria."

"Menggemaskan bukan?"

Ckrek

Suara video rekaman dan foto terus berbunyi. Aku harap ia segera beranjak pergi, atau paling tidak lepaskan aku sendirian. Akan tetapi aku tidak bisa berjalan.

Dengan pasrah aku menutupi wajahku di dekapan tubuhnya, merasa malu.

"Gemasnyaa!"

Diamlah, ini bukan lelucon. Aku benar-benar patah tulang.

Sontak wanita itu melangkah dengan cepat, memopongku dengan posisi memegang pundak dan lututku yang mungkin patah. Ia bergerak menuju ruang kesehatan, sepertinya.

Disana para guru sedang rapat jadi meninggalkan kami berdua dengan posisi yang canggung. Sepertinya aku saja, monster seperti dia tidak memiliki perasaan.

Ia menatapku,

Aku segera mengalihkan pandangan dan tidak ingin mengatakan sepatah─── kata pun. Walau ia menyelamatkan ku, ia lah yang pertama menyebabkan aku dalam kejadian itu.

Sebenarnya apa yang ia pikirkan? Membuatku lumpuh agar ingin berbicara dengannya, atau mungkin setiap monster membuat hidangannya lumpuh agar semakin nikmat saat di makan? Menakutkan.

Ia melepaskan topeng itu dan meletakkannya di meja, di samping kasur tidurnya berada. Aku bukan tipe orang yang pandai bersosialisasi jadi kalau ingin berdiam diri berjam-jam pun aku tetap tidak peduli.

Yah, walaupun aku ingin mengetahui alasannya. Ia segera beranjak pergi,

"Tunggu!"

Aku menarik jaket osisnya dan mungkin terlalu menarik ....

Aku pura-pura batuk dan menutupi mulutku dengan kerah hoodie lalu berbicara.

"Mengapa? Kau menyelamatkan ku."

"...."

Dia tidak menjawab,

"Aku bilang jawab, mengapa kau tidak membunuh ku? Jika ingin meneror hidup ku lebih baik bunuh saja."

Aku bernapas dengan tergesa-gesa, padahal aku tidak melakukan aktivitas berat sekalipun. Kondisi tubuhku benar-benar lemah.

"Aku tidak ingin membunuhmu, selain itu merepotkan ... jika belum meminum darah aku tidak memiliki kekuatan."

Aku teringat, pada malam itu saat matanya yang berwarna hitam pekat lalu berubah menjadi merah. Di saat itu ia juga mengeluarkan gigi atau semacam taring, yang panjang.

Aku melepaskan genggamanku dan menatap lemas. Aku ingat jelas sesosok makhluk yang menghisap darah manusia, akan tetapi aku melupakan jenisnya.

"Vampir."

Jawab dia seakan-akan bisa membaca pikiranku. Aku membalas,

"Mengapa kau mengincarku? Hanya karena darah?"

Aku melontarkan pertanyaan, walau sebenarnya aku ingin melontarkan beribu-ribu pertanyaan karena satu saja tidak cukup.

"Rumit."

"Jangan hanya mengatakan rumit, kau yang menyebabkan kakiku seperti ini. Setidaknya bertanggung jawablah!"

"...."

"Baik, maafkan aku."

Aku menghela napas, 'maaf?'. Kata maaf tidaklah cukup untuk membalas kakiku yang sudah cacat dikarenakan dia.

"Tanggung jawab macam apa yang kau inginkan? Uang, atau asuransi."

"...."

"Akan tetapi, jika seperti ini berarti kau tidak bisa kabur. Benar begitu rambut oranye?"

Ujar wanita berambut hitam pekat dan pendek itu.

Entah pertanyaan macam apa yang ia tanyakan karena jelas-jelas aku tidak bisa kabur. Kalau untuk masalah finansial aku sendiri bingung, padahal masih banyak hal-hal yang ingin aku capai.

Akan tetapi dengan kakiku yang retak atau mungkin patah ini mungkin aku tidak akan bisa berjalan seumur hidupku. Tanpa sadar aku meneteskan air mata, tetes─── demi tetes.

Walau aku adalah laki-laki akan tetapi, aku ingin menangis. Di saat ini juga,

"Aku minta maaf sudah menakutimu malam kelam itu, Alfrein."

Akan tetapi ekspresi wajahnya tidak menggambarkan rasa penyesalan, apakah orang Jepang memiliki kebiasaan memanggil nama dari belakang?

"Aku bertanggung jawab penuh atas kecelakaan hari ini, apakah perlu aku membawamu ke rumah?"

Ia melangkah dan menempatkan kedua tangannya di sekitar pundak dan pinggang belakangku. Aku mendorongnya dan mengesampingkan pinggangku lalu melihat wajahku di kaca.

Sialan, warna wajah ku berubah menjadi merah.

Memang sempat aku merasa jantungku berdenyut cepat, akan tetapi ia adalah orang yang sama dan membuatku trauma hari itu. Aku tidak akan memaafkannya.

Dia mengangguk dengan pelan dan dengan gestur─── mengerti.

"Aku akan bertanggung jawab akan finansial korban, apakah ada nomor orang tua yang bisa di hubungi?"

Aku terdiam dan tidak menjawab pertanyaan wanita itu.