Tawaran Menggiurkan Pengusaha Kaya

Sore itu, beberapa hari setelah Anjani menemukan gambar-gambar vulgar di buku Joni, ia sedang bersantai di rumah bersama suaminya, Burhan. Mereka sedang menikmati kebersamaan ditemani teh hangat dan kue-kue kecil. Kedua anak mereka terdengar riang bermain sepeda di luar, tawa mereka sesekali menembus jendela rumah kontrakan. Anjani duduk di sofa, membalas beberapa pesan WhatsApp dari rekan kerjanya, sementara Burhan di sampingnya asyik menjelajahi video-video lucu di TikTok. Suasana rumah terasa tenang, hanya diisi suara tawa Burhan yang sesekali pecah dan ketukan jemari Anjani di layar ponsel.

"Yang," Burhan mendengung manja, mematikan layar ponselnya dan menyenggol lengan Anjani. "Malam ini kayaknya enak, ya..."

Anjani tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Enak apa, Mas?"

"Itu lho... kuda-kudaan," Burhan berbisik nakal, mendekatkan wajahnya ke telinga Anjani. "Sudah lama kan?"

Anjani terkekeh pelan. "Mas ini ada-ada saja. Nanti malam anak-anak tidur di kamar kita, kan?"

"Bisa diatur. Nanti kita suruh mereka tidur lebih awal di kamar sebelah. Lagipula, kan kamu sudah janji mau goyangin Mas kalau ada waktu luang begini," goda Burhan, tangannya mulai merayap di lengan Anjani.

Anjani mengangguk kecil, membiarkan senyum geli tersungging di bibirnya. "Iya, Mas."

"Tapi sebelumnya," lanjut Burhan dengan mata berbinar, "kamu menari-nari dan goyang-goyang dulu di depanku, ya? Biar Mas makin semangat!"

Anjani merona tipis. "Ih, Mas... malu tahu," gumamnya pelan. Ia merasa sedikit kikuk dengan permintaan itu, meski Burhan sering mengatakannya.

Melihat Anjani yang seolah enggan, Burhan lantas merajuk. Ia menarik tangannya dari lengan Anjani, memajukan bibir, dan menatap istrinya dengan tatapan memelas. "Yah, Yang... masak gitu aja malu? Kan biar Mas makin 'on'. Biar Mas bisa lihat itu lho, yang bikin Mas selalu kebayang-bayang kamu, kalau kamu lagi asyik bergoyang. Dijamin Mas langsung tegang!"

Anjani mengerutkan kening, pura-pura tidak mengerti. "Itu lho apa, Mas?" tanyanya, mencoba memancing Burhan.

Burhan hanya tersenyum nakal. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia justru mencolek pelan dada Anjani yang tertutup daster, membuat Anjani sontak terkesiap dan memukul lengannya pelan.

Anjani hanya bisa tersipu, tak mampu menolak sepenuhnya permintaan suaminya yang terkadang kekanak-kanakan namun juga penuh gairah itu. Ia hanya menggelengkan kepala pelan, namun senyum di bibirnya tak juga hilang. "Apa sih bagusnya lihat aku joget-joget bugil begitu, Mas?" tanyanya, suaranya pelan dan merendah.

Burhan tertawa kecil, matanya memancarkan gairah. "Bagus banget, Yang! Kalau pantatmu itu bergoyang-goyang di depan Mas, rasanya gemas banget, pengen langsung Mas tampar! Plak! Nanti kamu suaranya 'ahhh, ahhh' gitu, kan? Dijamin Mas langsung pengen mak jleb, Yang!" Ia kembali mencoba mencolek pinggang Anjani, yang langsung dihindari dengan senyum malu-malu.

"Ih, Mas! Sakit tahu kalau ditampar!" Anjani merengek manja, mengerucutkan bibirnya.

Burhan hanya tertawa. "Mana ada sakit, Yang. Itu kan tamparan sayang!" Ia mendekat, merangkul Anjani, menarik tubuh istrinya lebih dekat. "Lagipula, nanti habis Mas tampar, kan Mas cium-cium deh bekas yang ditampar." Burhan berbisik, tangannya meluncur perlahan dari pinggang Anjani, menyusuri lekuk paha atasnya, lalu berhenti di antara kedua pangkal pahanya, menggerak-gerakkan jarinya secara nakal di sana. "Biasanya langsung basah, kan? Jadi licin deh!"

Tiba-tiba, ponsel Anjani berdering nyaring, membuat keduanya sedikit terlonjak kaget. Anjani buru-buru melirik layar ponselnya, menampilkan nomor tak dikenal. Ia segera menarik tangan Burhan yang masih bermain-main di antara pangkal pahanya, lalu mengangkat alis sedikit terkejut. Ia ragu sejenak, namun akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.

"Halo, dengan Bu Anjani?" suara seorang pria terdengar ramah di ujung telepon.

"Iya, saya Anjani. Maaf, ini dengan siapa ya?" tanya Anjani, sedikit bingung.

"Saya Budi, Bu. Bapaknya Joni, murid Ibu di SMK. Maaf mengganggu sore-sore begini," Pak Budi memperkenalkan diri. "Saya dapat nomor Ibu dari sekolah. Saya dengar Ibu guru baru di sana dan mengajar pelajaran eksakta. Betul begitu, Bu?"

"Oh, iya betul, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Anjani menjawab, kini rasa terkejutnya bercampur dengan firasat aneh begitu nama "Joni" disebut.

"Begini, Bu. Saya ingin menawarkan Bu Anjani untuk mengajar les privat anak saya, Joni. Pelajaran matematika, fisika, dan biologi. Jujur saja, Joni ini anak yang kurang semangat belajarnya, Bu. Pelajaran di sekolah nampaknya banyak yang tertinggal. Saya khawatir sekali dengan masa depannya."

Anjani terdiam sejenak. Nama "Joni" sontak membuatnya teringat pada buku sketsa yang ditemukannya tempo hari. Perasaan tak nyaman langsung menyelimuti. Namun, ia tak langsung menolak. "Maaf, Pak Budi, kalau boleh saya tahu, memangnya Joni tidak pernah belajar di rumah, Pak?" tanya Anjani hati-hati.

Pak Budi menghela napas. "Bagaimana ya, Bu? Jujur, kami sebagai orang tua juga bingung. Dia itu lebih sering mengurung diri di kamar. Kami kurang tahu juga dia itu belajar atau tidak."

"Oh, begitu ya, Pak." Anjani menanggapi. "Kalau begitu, mungkin kegiatan di luarnya terlalu banyak, ya, Pak? Atau mungkin dia terbawa keasyikan dengan teman-teman mainnya?" Anjani mencoba menerka, sambil mengingat Joni yang terlihat kurang fokus di kelas.

"Justru itu, Bu," jawab Pak Budi. "Joni ini sebenarnya anak yang penyendiri. Temannya terbatas sekali. Hanya ada empat orang saja."

"Penyendiri? Oh, begitu ya, Pak?" Anjani sedikit terkejut. "Joni nggak pernah keluar main sama anak-anak lain gitu, Pak?"

"Tidak, Bu. Kalaupun keluar rumah, ya hanya berlima itu, dan itu pun harus atas izin saya atau ibunya." Pak Budi menjelaskan dengan nada prihatin. "Teman-teman Joni itu dari sekolah mana saja, Pak, kalau boleh tahu?" tanya Anjani penasaran.

"Sepengetahuan saya sih, Bu, dari sekolah yang sama juga. Ada beberapa anak dari kelas lain juga di SMK," jawab Pak Budi, meski tak menyebutkan nama-nama spesifik. "Selebihnya, Joni lebih sering mengurung diri di kamarnya. Mungkin memang terlalu banyak gadget yang kami berikan, Bu. Dia anak yang cukup eksklusif, tidak mau bergaul dengan anak-anak lain selain empat temannya itu."

"Gadget apa saja yang Bapak berikan ke Joni, Pak?" tanya Anjani, rasa penasarannya semakin besar.

"Macam-macam, Bu. Laptop gaming paling canggih, tablet digital, kamera DSLR, bahkan ada drone juga. Pokoknya apa saja yang dia mau, kami belikan," jawab Pak Budi, terdengar sedikit bangga namun juga pasrah.

Anjani mengernyit. "Oh, jadi Joni itu seorang gamer ya, Pak?"

"Bukan, Bu," sanggah Pak Budi cepat. "Joni itu sukanya di bidang seni. Dia suka fotografi, Bu, juga video editing. Dan yang paling sering, dia itu suka menggambar di komputer."

Mendengar kata "menggambar di komputer", Anjani merasakan desiran aneh di perutnya. Pikiran langsung melayang pada buku latihan Joni yang penuh dengan gambar-gambar vulgar dan erotis itu. Sebuah firasat buruk kembali menyelimutinya. Anjani membayangkan layar komputer Joni yang mungkin dipenuhi dengan sketsa-sketsa tubuh wanita tanpa busana, dengan pose-pose yang tak senonoh, atau bahkan pemandangan-pemandangan yang jauh lebih eksplisit dari apa yang ia temukan di bukunya. Mungkin ada fantasi-fantasi terlarang yang tergambar dengan detail mengerikan di sana, hasil dari imajinasi liar Joni yang tak terbatasi.

"Oh, begitu ya, Pak," gumam Anjani, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

"Omong-omong, Bu," kata Pak Budi, suaranya kembali ke topik semula. "Lesnya dua kali seminggu, setiap hari Rabu dan Jumat, mulai pukul 20.30 sampai 22.30."

"Maaf, Pak Budi, saya biasanya tidak menerima les di malam hari," jawab Anjani, pandangannya melirik Burhan yang kini menghentikan aktivitas TikTok-nya, menunggu kelanjutan percakapan.

Pak Budi terdengar menghela napas panjang. "Bu Anjani, saya dengar Bu Anjani ini guru yang luar biasa. Berprestasi, dan sangat pintar dalam mengajar eksakta, padahal Bu Anjani masih guru baru. Saya benar-benar sangat berharap, Bu, Ibu mau meluangkan waktu untuk Joni. Dia benar-benar butuh bantuan Ibu."

"Bagaimana ya, Pak?" Anjani masih ragu.

"Kalau Ibu mau, Bu," suara Pak Budi terdengar memohon, "untuk honornya, saya berani bayar tinggi, Bu! Bagaimana kalau Rp 1.000.000 per pertemuan? Itu sudah bersih untuk Ibu. Tolonglah, Bu, demi masa depan Joni..."

Mendengar angka fantastis itu, mata Burhan langsung terbelalak, bergeser dari layar ponselnya ke wajah Anjani dengan isyarat mata penuh persetujuan. Tawaran honor yang cukup menggiurkan itu membuat Burhan langsung bersikeras agar Anjani menerimanya.

"Anjani, terima saja. Kan lumayan buat tambahan," bisik Burhan, nyaris memaksa.

Anjani masih tampak ragu. "Maaf, Pak Budi, kalau boleh saya tahu, rumah Bapak di daerah mana, ya? Sepertinya jam segitu sudah larut malam," tanyanya, mencoba mencari alasan lain untuk menolak.

"Oh, rumah saya di daerah Lembah Anggrek, Bu," jawab Pak Budi menyebutkan nama daerah yang cukup jauh dari tempat tinggal Anjani. "Memang agak jauh dari sekolah, Bu."

Mendengar nama itu, Burhan langsung membisikkan sesuatu ke telinga Anjani. "Lembah Anggrek? Wah, itu kan daerah yang sangat eksklusif, Yang. Cuma ada beberapa rumah mewah saja di sana."

Anjani menghela napas. "Wah, Lembah Anggrek? Itu jauh sekali, Pak."

Burhan dengan cepat menimpali, "Nggak masalah, Sayang! Nanti Mas yang antar jemput kamu. Jangan khawatir!" Ia menatap Anjani dengan senyum penuh semangat, seolah honor yang ditawarkan Pak Budi lebih dari cukup untuk mengatasi masalah jarak.

"Jadi bagaimana, Bu Anjani? Apa Ibu bersedia membantu Joni?" tanya Pak Budi lagi, suaranya penuh harap.

Anjani melirik Burhan yang terus-menerus mengangguk dan memberi isyarat. Dengan setengah hati dan sedikit keraguan, ia akhirnya menjawab, "Iya, Pak Budi. Saya bersedia."

"Alhamdulillah! Terima kasih banyak, Bu Anjani! Sampai jumpa hari Rabu nanti, ya!" ujar Pak Budi dengan nada gembira, lalu menutup telepon.

Begitu telepon terputus, Burhan langsung melompat dari sofa, wajahnya berseri-seri. "Mantap, Yang! Rp 1.000.000 sekali pertemuan! Dua kali seminggu sudah Rp 2.000.000! Sebulan... wah, bisa buat beli motor baru nih!" Ia saking girangnya sampai lupa dengan obrolan intim mereka sebelumnya, fokusnya kini sepenuhnya pada potensi honor Anjani yang menggiurkan.

Meskipun Anjani sudah menyetujui, jauh di lubuk hatinya, keraguan masih menggerogoti. Apakah ini keputusan yang benar? Mengajar anak laki-laki di malam hari, di daerah terpencil yang katanya hanya ada beberapa rumah mewah... Apakah ini akan aman? Ia mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran negatif itu. Lingkungan rumah, mestinya kan lingkungan yang aman dari kenakalan remaja, pikirnya berusaha meyakinkan diri. Namun, tetap saja, bayangan gambar-gambar vulgar dalam buku Joni kembali muncul, membuat perutnya bergejolak. Apa yang sebenarnya akan Anjani hadapi di Lembah Anggrek nanti?