Senja yang tak bertanya

Pintu otomatis terbuka dengan suara desis ringan.

Liam melangkah keluar dari ruang belakang supermarket, tas selempangnya menggantung di bahu, dan senja yang menggantung di langit menyambutnya dengan warna oranye yang pudar.

Di belakangnya, sang manajer, seorang wanita paruh baya dengan suara hangat namun tegas, memanggil,

"Liam, sudah mau pulang?"

Liam menoleh sambil tersenyum sopan.

"Iya, Bu. Rak sudah dibereskan, stok masuk juga sudah saya cek. Shift saya selesai."

"Baguslah kalau begitu," sahut sang manajer.

Di sampingnya, seorang pegawai muda dengan rambut sebahu dan wajah ramah sedang bersiap menggantikan shift malam.

Liam melempar senyum ringan padanya, dan gadis itu membalas dengan anggukan kecil, sambil menunduk sedikit.

Tak ada percakapan lain-hanya kesibukan dan rutinitas yang meluncur seperti arus tanpa riak.

Di dalam ruangan itu, semua orang bergerak dengan tujuan masing-masing, tapi terasa kosong. Seperti mereka berjalan karena harus, bukan karena ingin.

Liam melangkah keluar.

Jalanan mulai lengang, dan hawa sore mulai mendingin. Seperti biasa, ia memasang headset, memutar lagu yang entah kenapa selalu sama, dan menapaki trotoar yang mulai akrab dilalui tiap hari.

"Hari ini juga... tidak ada yang berubah," gumamnya dalam hati.

Hidupnya, seperti shift kerja yang berganti, hanya bergulir. Tidak menyakitkan, tidak menyenangkan. Hanya... berlalu.

Sesampainya di bait-kosan kecil dua lantai dengan dinding tipis dan suara tetangga yang kadang ikut masuk tanpa permisi-Liam menjatuhkan diri di kasur tipis di kamarnya.

Dia melihat langit-langit. Tak ada bintang di situ. Tapi matanya seperti mencari sesuatu.

Ia membuka ponsel, scroll medsos sebentar, lalu meletakkannya lagi.

"Apa memang harus terus seperti ini?" pikirnya tiba-tiba.

Pikiran yang rumit dan terombang-ambing muncul entah dari mana. Ia mengernyit, merasa bingung dan termenung. Tapi setelahnya... hening.

Ia menutup mata, dan dunia mulai memudar...