“Mimpi itu seperti pintu— dan aku tak tahu, apakah yang masuk itu aku... atau sesuatu yang keluar.”
Malam begitu sunyi. Hanya rintik hujan yang menari di atas genteng, menciptakan simfoni yang pelan dan terus-menerus.
Di dalam kamar kos yang sempit dan sedikit pengap, seorang pria tampak gelisah di atas tempat tidurnya. Liam, bergerak-gerak seperti kepanasan meski suhu malam cukup dingin. Jendela terbuka, angin masuk, tapi keringat tetap membasahi pelipisnya.
Apa yang sebenarnya ia rasakan?
Dalam tidurnya, Liam berlari. Mengejar sesuatu—tidak, bukan sesuatu. Bintang. Sebuah bintang yang bersinar terang di langit kelam.
Ia terus berlari, menembus kabut dan tanah tanpa bentuk. Namun, seberapa cepat pun ia melangkah, bintang itu menjauh… meninggalkan jejak cahaya yang perlahan memudar, lalu hilang.
Kaki Liam melemas. Bruk. Ia terjatuh. Tidak ada rasa sakit, hanya kelelahan. Kelelahan yang... nyata.
Deng-dong. Deng-dong.
Liam terbangun, mendesah pelan. Bel kos-nya ditekan berulang kali. Matanya mengerjap malas.
Dengan langkah gontai, ia membuka pintu.
“Siapa sih pagi-pagi gini…”
Di balik pintu berdiri seorang pria jangkung dengan rambut pendek acak-acakan dan wajah yang menyebalkan—Alan, teman SMA Liam yang kini entah kenapa muncul begitu saja.
“Yo!” Alan menyapa riang sambil menepuk bahu Liam keras-keras.
Liam mengerang pelan. “Ada apa sih? baru bangun, nih…”
“Ya makanya, jangan tidur terus. Gua takut lo nyatu sama kasur,” Alan nyengir usil.
“Berisik.” Liam membalas datar, matanya masih setengah terpejam. “ngapain ke sini pagi-pagi gini? Lagian, ini jam berapa sih?”
Ia menguap panjang, lalu melirik jam dinding. “baru jam delapan pagi, loh!"
Saking ngantuknya, ia hampir tak menyadari Alan tidak sendirian.
Di belakang Alan, berdiri seorang wanita yang langsung mencuri perhatian siapa pun yang melihat nya—tinggi, anggun, dengan rambut pirang keemasan dengan model Layer nya, juga kulit putih kekuningan, dan mata hijau emerald yang tajam. Ada aura tegas tapi agak nakal di balik sorotannya.
“Maaf ya, Liam…” katanya pelan sambil menyikut Alan yang masih tertawa sendiri.
Alan meringis, “Aduh, aduh, ya ya, gua jelasin deh. Jadi inget nggak, minggu depan kan ada reuni kelas?”
Liam mengangkat alis, setengah ingat.
“Si Alan ini, tiba-tiba jadi panitia,” sambung wanita itu. “Kami mau belanja kebutuhan, susun agenda, dan... yah, kamu mau ikut?”
Liam menatapnya sesaat, lalu menjawab datar, “Aku mungkin nggak datang.”
Wanita itu, yang dikenalnya sebagai Vita, pacar Alan yang katanya 'sekadar bantu' walaupun sebenarnya bukan urusan dia lagian juga Vita bukan alumni sekolah tersebut, hanya saja pacar nya itu yang terus memaksa nya.
Alan langsung memotong, “Eh serius? Biasanya lo dateng walau cuma duduk diem, terus pulang. Masa sekarang ogah total?”
Liam menghela napas. “Bilang aja aku sibuk. Nyari duit buat bayar kos.”
Ia menguap lagi, lalu menutup pintu perlahan.
“Jaga Alan baik-baik, Vita,” tambahnya tanpa menoleh dan langsung menutup pintu, tanpa membiarkan mereka membalas
Liam menjatuhkan diri ke kasur, berguling perlahan sambil menatap kosong ke langit-langit.
Bukan rasa kantuk yang menariknya kembali, tapi pikirannya yang belum tenang.
Bayangan mimpi tadi masih tersisa—perasaan mengejar sesuatu yang terus menjauh, lalu lenyap begitu saja.
Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskan pelan.
“Apa sih yang sebenarnya di pikiran ku ini?” gumamnya dalam hati.
Tak ingin larut lebih jauh, Liam memejamkan mata.
Shift-nya memang belum mulai, dan dunia di luar bisa menunggu sebentar.