"Kadang hidup itu terus berjalan... Bukan karena kita tahu kemana, tapi karena tak ada tempat untuk berhenti."
Setelah mengabaikan Alan dan Vita, Liam masih tergeletak di kasurnya, benar-benar seperti seorang pemalas, bukan? Sekilas, seolah-olah dia telah berubah menjadi tanaman dengan kasur sebagai tanahnya.
Matahari mulai malu malu, ketika sang bulan akan datang. Liam terbangun dari tidurnya, seperti ponsel yang tiba-tiba lag-diam, kosong, dan bingung. Dalam pikirannya, dia bergumam, "Tidur yang cukup nyenyak." Liam menguap lebar. Diamnya membuatnya heran karena kali ini dia tidak mengalami mimpi yang jelas seperti biasanya.
Meskipun hal ini wajar bagi kebanyakan orang, bagi Liam, ini tidak biasa. Atau mungkin, Liam-lah yang tak normal.
Liam mulai bersiap untuk pergi ke tempat kerjanya, meskipun hanya sekadar supermarket, karena shift malamnya sudah dimulai.
Dia mengenakan pakaian biasa dan tidak lupa memasang headset di telinganya sepanjang perjalanan. Hiruk pikuk kota berlalu lalang, dan setiap orang seperti wadah yang mengalir untuk mendapatkan bagiannya. Liam pun termasuk dalam kategori wadah tersebut.
Setibanya di supermarket, Liam masuk lewat pintu belakang dan bersiap untuk memulai pekerjaannya. Ya, benar-dia hanya seorang kasir. Gadis yang sebelumnya mengisi posisinya mulai berpindah tugas. Meskipun mereka sering bertemu dan saling menatap, hubungan mereka hanya sebatas sapaan biasa, seperti hembusan nafas di pagi yang dingin.
Seorang wanita menepuk bahu Liam. "Bagaimana kabarmu, Liam?" tanyanya sambil melirik Liam dari kepala hingga ujung kaki."Hah, masih sama seperti biasanya," jawab Liam datar, seolah menjawab pertanyaannya sendiri.
Gadis yang belum pergi itu, hanya mendengar dan melihat percakapan singkat antara Liam dan manajernya. Dia mencari momen yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal.
"Saya pergi dulu, Bu Manager. Stok barang yang baru sudah dipindahkan dan disortir di gudang," ucapnya sambil memberikan senyuman dan anggukan kecil sebelum pergi.
Bu Manager menanggapi, "Gadis yang benar-benar baik dan cantik, ya? Apalagi dengan wajah imutnya yang polos."Liam hanya menjawab datar, "Iya, iya," sambil fokus mengisi stok di rak yang kosong.
Bu Manager tampak heran. "Aneh juga pegawai ku ini. Kalian sudah cukup lama bekerja di sini, tapi masih seperti orang yang baru kenal satu dua hari. Apa mungkin kalian sebenarnya satu orang yang sama?" ujarnya sambil tertawa.
"Ah, padahal, kau bisa mencari kesempatan dengan wanita cantik seperti dia," lanjutnya sambil menyenggol bahu Liam."Atau mungkin kau sebenarnya menyukai laki-laki?" candanya sambil tertawa lebar.
Liam menjawab datar, "Kalau wanita cantik, wanita yang di sebelahku ini juga cantik."
Bu Manager memerah, entah karena malu atau sekadar kalah adu sindiran. Ia berbalik sambil mengomel pelan, meninggalkan Liam yang kembali fokus menata rak.
Di luar, malam mulai menebalkan dirinya. Lampu-lampu kota menyala satu per satu, seperti bintang yang enggan menunggu langit gelap sempurna.
Sementara itu, di sudut kota yang berbeda...
...sepasang kekasih tengah mengatur napas setelah menembus padatnya jalanan. Alan dan Vita baru saja menyelesaikan belanja-tas-tas plastik memenuhi bagasi mobil mereka, dan malam yang dingin tak cukup membekukan obrolan ringan di antara keduanya.
Sekitar pukul tujuh malam, mereka tiba di restoran yang telah disepakati oleh panitia reuni.
Alan memarkirkan mobil Audi A3-nya di depan restoran, lalu mematikan mesin sambil menyandarkan kepala di jok belakang.
"Kau yakin ini tempat pertemuannya?" tanya Vita sambil melirik ke arah bangunan yang tampak agak terlalu formal untuk sekadar rapat reuni.
"Pasti benar, lihat saja... Sherlock-nya," jawab Alan dengan nada bangga yang tidak menyakinkan, menunjuk Google Maps di ponselnya yang barusan ngelag.
Vita mengangkat alis. "Kau ini..." gumamnya sambil menggelengkan kepala, setengah geli, setengah pasrah.
Mereka turun dari mobil, membawa beberapa kantong belanjaan yang tadi dibeli-snack, tisu, dan kertas-kertas agenda yang masih terlipat seperti laporan korupsi warga Konoha.
Restoran itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa meja terisi. Lampu gantung yang temaram memantulkan cahaya hangat ke lantai kayu, menciptakan suasana yang agak nostalgik-seolah menyambut cerita masa lalu yang akan diulang.
Di pojok ruangan, sebuah meja besar sudah disiapkan. Ada lima orang yang duduk di sana, tiga pria dan dua wanita, sibuk dengan catatan dan secangkir kopi yang asapnya mengepul seperti waktu yang sedang dilupakan.
Vita melirik Alan, lalu berbisik, "Mereka kelihatan lebih siap daripada kita."
Alan nyengir. "Nggak apa-apa. Kita bawa snack, mereka bawa rencana. Itu namanya tim yang sempurna." Vita mencubit lengannya pelan.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan otak nya itu? Bawa snack ke restoran, bener bener deh.
Mereka pun melangkah menuju meja itu.
Dan malam pun berjalan, seperti cerita yang perlahan mengikat satu demi satu simpul masa lalu.
Namun di balik canda reuni dan gelak ringan malam itu, Liam tetap tak datang. Ia tetap di dunianya sendiri-dengan kasir, headset, dan bayangan mimpi yang entah ke mana hilang.